-- Julius Pour*
Teuku Jacob mempunyai dua pilihan saat akan masuk universitas di Pulau Jawa pada pekan kedua Januari 1950, Jakarta atau Yogyakarta?
"Di Jakarta universitasnya terkenal, tetapi saat itu dosennya masih banyak sarjana Belanda. Sementara di Yogyakarta, di bekas Ibu Kota Revolusi, sudah pasti semuanya Republiken. Maka saya sengaja memilih kuliah di Universitas Gadjah Mada."
Teuku Jacob (lahir di Peureulak, NAD, 6 Desember 1929) adalah rombongan pertama pelajar Daerah Istimewa Aceh yang dikirim pemda untuk melanjutkan pendidikan, sesudah perundingan KMB akhir Desember 1949. Mungkin tidak banyak yang tahu, meski anak bangsawan, sejak remaja Jacob Republiken.
Sebagai Tentara Pelajar Resimen Aceh, selama perang kemerdekaan, dia ikut memanggul senjata selama perang kemerdekaan di Kutaraja (kini Banda Aceh). Ia lalu membantu John Lie dan Sudomo, saat kedua pelaut yang kelak menjadi laksamana TNI AL itu menyelundupkan senjata dari Phuket di Thailand untuk dipakai pasukan Republik melawan Belanda di Front Sumatera Utara. Mengingat selama dua kali agresi militer Belanda tidak bisa menyentuh Aceh, menjadikan Aceh sebagai satu-satunya wilayah Republiken sampai saat pengakuan kedaulatan.
Bahkan, sebagai pelajar demobilisan, semula Jacob ingin masuk fakultas sosial politik. Akhirnya, semalam sebelum kapal yang akan dinaikinya bertolak menuju Jawa, ibunya berhasil membujuknya untuk kuliah di fakultas kedokteran. "…Ibu berpendapat, ilmu kedokteran tetap bermanfaat untuk masyarakat, baik dalam situasi perang maupun damai."
Ternyata, setelah masuk FK UGM timbul masalah. Sebagai pengidap asma, Jacob tidak tahan menghadapi bau mayat. "Maka saya lalu memilih jurusan antropologi ragawi. Kaitan dengan mayat masih ada, namanya saja kuliah di kedokteran, bagaimana mungkin bisa lepas dari mayat. Namun, di jurusan itu urusannya mayat lama yang tidak lagi berbau…" Justru karena memilih jurusan ini, sebuah cakrawala baru lalu terbentang luas, yang nantinya berhasil mengangkat namanya mendunia setelah dia tumbuh menjadi salah seorang pakar amat berpengaruh dalam sejarah evolusi umat manusia.
Jejak manusia purba
Tahun 1962 Jacob menemukan jejak manusia purba di lembah Sungai Cemoro, Kelurahan Sangiran, utara Solo. Meski padang purbakala itu sudah dikenal sejak akhir abad XIX, antara lain dengan penemuan fosil Homo erectus oleh Von Koningswald, penelitian Jacob tentang fosil Sangiran berhasil menyingkap banyak bukti untuk menjelaskan misteri missing link pada mata rantai evolusi manusia, celah antara Phitecantropus sampai tumbuh menjadi Homo.
Jacob membuktikan, manusia Sangiran, Homo soloensis, sama sekali tidak kanibal, sudah bisa bertutur, mulai memanfaatkan api, dan tidak hidup dalam gua. Sebuah jembatan amat bermakna dalam melacak sejarah pertumbuhan manusia. Sejak pendahulu mereka muncul dari Benua Afrika jutaan tahun silam sampai berkelana di pedalaman Jawa ribuan tahun lalu serta menurunkan Homo sapiens sekarang ini.
Setelah lulus S-1 FK UGM tahun 1956, Jacob dikirim untuk meraih gelar MS di Howard University Graduate School, Washington DC (1960), lalu MD di Providence Hospital (1961) dan PhD di Rijkuniversiteit, Utrecht di negeri Belanda (1967).
Bakat menulisnya disalurkan sejak tahun pertama kuliah di Yogyakarta dengan memimpin majalah Gadjah Mada dan mendirikan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI). Ormas ekstra kampus yang nantinya merger dengan Serikat Pers Mahasiswa (SPM) dari Jakarta, menjadi wadah baru, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Manusia Flores
Akhir tahun 2004 terjadi perdebatan tentang temuan fosil kerangka manusia setinggi satu meter di Liang Bua, Pulau Flores, NTT. Peter Brown dari Australia mengklaim temuannya spesies baru manusia, hidup 13.000 tahun lalu, dan diberi nama Homo floresiensis dengan sebutan populer Hobbit, mengacu manusia katai dalam film Lord of the Rings. Laporannya lalu ditayangkan CNN dan ikut menandai terbitnya edisi perdana bahasa Indonesia majalah National Geographic April 2005 dalam judul sangat tendensius, "Orang Kerdil dari Dunia yang Hilang".
Jacob membantah klaim itu.
Dia, yang juga meneliti kerangka Liang Bua di Laboratorium Bio-Paleoantropologi UGM, menegaskan, "Fosil itu sama sekali bukan spesies baru manusia. Ia subspesies Homo sapiens berasal dari ras Austrokolomelanesid yang kebetulan menderita kelainan tubuh akibat terkena gangguan penyakit."
Namun, ukuran tubuhnya?
Jacob bersama kru BBC segera terbang ke Flores dan menunjukkan bahwa di Rampasasa, Kecamatan Ruteng, hanya sekitar satu kilometer dari Liang Bua, ada komunitas masyarakat dengan tinggi badan rata-rata di bawah 1,40 meter. Artinya, "…Katai bukan ciri spesies baru manusia. Di sana, Homo sapiens katai hingga kini masih ada dan bermasyarakat." Jacob tidak pernah menyebut kerdil. Dia memakai istilah katai sebab proporsi tubuh penduduk itu benar, hanya ukurannya lebih kecil dari rata-rata masyarakat Indonesia.
Perdebatan itu kini telah berakhir. Masyarakat ilmuwan dunia mendukung pendapat Jacob. Apalagi, Peter Brown tidak mampu menambahkan bukti-bukti lain untuk mendukung klaimnya. Posisinya kian melemah karena dia bukan pakar dalam bidang terkait. Sementara itu, rekam jejak Jacob dalam bidang bersangkutan amat jelas sehingga mempunyai otoritas untuk memberikan penilaian, apakah suatu temuan fosil manusia purba atau manusia masa kini. Otoritas yang terbangun berkat minat, disiplin ilmu berikut talenta dan usaha yang tidak pernah kenal lelah dalam upayanya melacak jejak manusia purba.
Saya masih selalu ingat saat mengantar Jacob dan Koningswald ke padang perburuan purbakala Sangiran akhir tahun 1980-an. Mereka saling berkelakar dengan menyebut diri "The Last of Mohawks". "Orang lain sibuk berusaha pergi ke bintang, tinggal kami-kami yang masih tersisa dan setia menyisir tanah dan menggali bumi, hanya untuk menemukan secuil jejak dan sekeping sisa leluhur manusia…".
Rabu (17/10) sore pukul 17.45, persis saat matahari senja sedang tenggelam di langit barat, Teuku Jacob menyusul Koningswald. Dekan FK UGM 1975-1979 dan Rektor UGM 1981-1986 serta Mahaguru emeritus UGM itu tutup usia di RSUP Sardjito, Yogyakarta, sesudah dua minggu dirawat dan lima hari terakhir berada di ruang ICU.
Teuku Jacob meninggalkan padang purbakala Sangiran sekaligus wilayah Indonesia untuk disisir kembali, agar bisa ditemukan lebih banyak lagi bukti untuk mengurai missing link sekitar keberadaan kita di planet Bumi.
* Julius Pour, Wartawan dan Penulis Biografi
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment