Jakarta, Kompas - Masyarakat adat menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur.
Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing sering kali diabaikan. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya.
Dodi Rokhdian, salah satu penggiat Yayasan Sokola yang berfokus pada pendidikan anak-anak suku terasing, seperti Suku Anak Dalam di Jambi, Senin (10/8), mengatakan, komunitas adat sering dipandang sebagai masyarakat yang tidak beradab dan liar. Penilaian itu terjadi karena kemodernan dimaknai secara sempit oleh pemerintah dan masyarakat sebagai meninggalkan cara-cara hidup tradisional. Padahal, hidup tradisional belum tentu buruk dibandingkan kehidupan modern.
”Seperti dalam hak pendidikan untuk anak-anak suku terasing, terlihat sekali sistem pendidikan nasional tidak menghargai kekhususan yang ada di masyarakat,” ujar Dodi.
Perspektif budaya
Pada peringatan Hari Internasional Komunitas Adat Dunia setiap 9 Agustus, Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan, komunitas adat didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. UNESCO yakin bahwa pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya.
Pembangunan, kata Koichiro, jangan dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal soal Keragaman Budaya pada tahun 2001.
Mengakui hak
Deklarasi PBB soal Hak Asasi Masyarakat Adat Tahun 2007 mengakui hak-hak komunitas adat untuk berkembang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan mereka. Pada saat ini penting untuk mengakuinya sebagai refleksi adanya hubungan antara budaya, pembangunan, dan identitas.
Komunitas adat yang ada di dunia mewakili 5 persen penduduk dunia. Kenyataan itu menunjukkan kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan perubahan sambil tetap melanjutkan nilai-nilai dan cara hidup yang unik.
Komunitas adat itu mesti diakui sebagai penjaga keragaman budaya dan keragaman hayati. ”Kita mesti melindungi dan mempromosikan ekspresi keragaman budaya, baik dalam bentuk-bentuk tradisional maupun kontemporer, dengan penekanan khusus pada komunitas adat,” kata Koichiro.
Mengabaikan komunitas adat berarti membunuh ekspresi keragaman budaya. Dalam beberapa generasi saja, 50 persen dari 7.000 bahasa yang digunakan di dunia kemungkinan akan punah. Situasi ini kritis untuk komunitas adat yang memiliki 5.000 bahasa di 70 negara di enam benua dan sekitar 75 persen di antaranya masih eksis. (ELN)
Sumber: Kompas, Selasa, 11 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment