-- Ferry Santoso
PULAU Nipah merupakan satu dari 19 pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya di antara Pulau Batam dan Pulau Karimun. Di bagian utara, di perairan Selat Philip, Pulau Nipah berbatasan dengan negara Singapura.
Pulau Nipah seluas 60 hektar di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipah merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Singapura, dan selesai direklamasi akhir tahun 2008. Pemerintah Indonesia akan mengembangkan pulau ini dengan zonasi pertahanan, ekonomi terbatas, dan konservasi. (Kompas/Ferry Santoso)
Pulau seluas sekitar 1,5 hektar saat air laut pasang ini sebelum direklamasi berupa karang saja, tidak berpenghuni, dan nyaris ”tenggelam” bila air laut pasang. Saat air laut surut, luas Pulau Nipah menjadi 60-an hektar.
Meskipun berbatasan dengan Singapura, tahun 1960-an para nelayan dari wilayah Kepulauan Riau leluasa melintas di perairan Singapura. Sebaliknya, nelayan-nelayan dari Singapura—sebagian besar juga merupakan orang Melayu—dapat memasuki perairan Indonesia.
Menurut Musa Jantan (68), warga Pulau Belakang Padang, Batam, tahun 1960-an nelayan lokal dapat menjual langsung hasil tangkapan laut ke pulau-pulau di Singapura, seperti Pulau Sekijang, Semakau, dan Senang.
Akan tetapi, menurut Musa, Penasihat Lembaga Adat Melayu Batam, tahun 1980-an Singapura mulai memperketat pengawasan wilayah perairannya. Mobilitas nelayan Riau pun semakin terbatas. Pulau-pulau yang dulu lahan penghidupan nelayan kian hari ditinggalkan karena mobilitas nelayan berkurang. Lambat laun, kerawanan perbatasan itu semakin terasa.
Apalagi Singapura terus mereklamasi wilayah, seperti di daerah Tuas, dan Jurong, termasuk di pulau-pulau seperti Pulau Semakau dan Pulau Sentosa. Di sisi lain, sampai akhir 2008, batas wilayah perairan Indonesia-Singapura belum juga disepakati.
Nilai strategis
Pada 10 Maret 2009, Pemerintah RI dan Singapura menandatangani perjanjian batas wilayah laut di antara kedua negara untuk segmen barat. Perundingan untuk menyepakati batas laut di atas Pulau Nipah. (Kompas, 11/3).
Kesepakatan itu memiliki arti penting bagi Indonesia. Apalagi Indonesia sudah diakui dunia internasional sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 dengan UU No 17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS.
Arti pentingnya adalah bahwa ”secuil” Pulau Nipah yang tidak terlihat di dalam peta Indonesia itu memiliki nilai strategis di bidang pertahanan. Keberadaan pulau Nipah—yang hampir lenyap saat air laut pasang sebelum direklamasi—menunjukkan betapa penting pulau terluar sebagai titik batas wilayah NKRI, termasuk titik tolak perundingan batas wilayah.
Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa Pulau Nipah direklamasi sejak 2004. Dari sekian banyak pulau terluar di Indonesia, hanya Pulau Nipah yang direklamasi secara besar-besaran. Pulau Nipah jadi simbol pertahanan di wilayah perbatasan.
Direktur Rawa dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Jaya Murni mengungkapkan, biaya reklamasi Pulau Nipah sejak 2004 mencapai Rp 365 miliar.
Saat ini ada beberapa bangunan di Pulau Nipah. Misalnya, Pos TNI Angkatan Laut (AL), rumah kosong untuk istirahat, dermaga, jalan kecil yang mengitari sebagian Pulau Nipah, mercusuar, dan beberapa bangunan sementara untuk para pekerja. Pada umumnya, Pulau Nipah masih berupa lahan kosong dan gersang. Tanaman sangat sedikit karena baru ditanam.
Menurut Jaya, pemerintah merencanakan mengembangkan tiga zonasi di Pulau Nipah, yaitu pertahanan, kegiatan ekonomi terbatas, dan konservasi. Untuk zonasi pertahanan, pemerintah tetap menempatkan pos TNI AL dan dermaga TNI AL. Untuk zonasi ekonomi, kemungkinan dibuat tempat transit kapal-kapal tanker untuk pengisian bahan bakar, air, dan kebutuhan pokok. Untuk zonasi konservasi, ditanam tanaman bakau.
Dengan pengelolaan seperti itu, diharapkan Pulau Nipah makin memiliki fungsi pertahanan, fungsi ekonomi, ataupun konservasi.
Mampu mengelola
Sebagai negara kepulauan, Pemerintah Indonesia seharusnya mampu menunjukkan kemampuan mengelola wilayah laut sesuai ketentuan UNCLOS. Bahkan, pemerintah pusat, termasuk pemerintah daerah, perlu memprioritaskan kebijakan yang berbasis negara kepulauan. Misalnya, sektor minyak dan gas bumi di lepas pantai, sektor perikanan, pariwisata, pengelolaan pulau-pulau tak berpenghuni, dan industri pelayaran nasional.
Dengan meratifikasi UNCLOS, Pemerintah Indonesia dimungkinkan mendapat perlakuan khusus dari dunia internasional melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam putusan Mahkamah Internasional, tahun 2002, pada kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, Malaysia menyatakan pihak Indonesia tidak memiliki perhatian terhadap Sipadan dan Ligitan. Bahkan, Malaysia menyatakan, Indonesia ”tidak menunjukkan eksistensi (presence) di wilayah itu, tak berupaya mengelola pulau, tidak membuat UU, dan tidak membuat peraturan atas kedua pulau itu”.
Sebaliknya, untuk menunjukkan eksistensi, Malaysia mengontrol pengambilan penyu dan pengumpulan telur penyu. Pengumpulan telur penyu dianggap aktivitas ekonomi paling penting selama bertahun-tahun.
Dari argumentasi Malaysia itu terlihat bahwa di Sipadan dan Ligitan—dua pulau kecil di ujung Nunukan, Kalimantan Timur—sudah terdapat aktivitas ekonomi.
Karena itu, pengelolaan pulau terluar harus lebih konkret melalui pembangunan ekonomi di daerah yang lebih luas.
Sumber: Kompas, Rabu, 12 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment