Wednesday, August 12, 2009

Nasionalisme di Tapal Batas: Tak Indonesia Hilang di Hati...

-- Kenedi Nurhan

Sri Mersing lagulah Melayu
Dinyanyikan anak tanah seberang…

SENANDUNG lagu ”Sri Mersing” terdengar sayup dan sendu. Di Nongsa, Batam, pada malam berawan cerah di pengujung Juli lalu, seberkas cahaya keperakan timbul-tenggelam di laut lepas, bagai dipermainkan ombak Selat Melaka yang terlihat hitam.

Leman (41) duduk termangu dengan segelas kopi di tangan. Pandang matanya lekat menatap gemerlap cahaya yang berpendar di seberang lautan. ”Itu Singapura. Kalau langit cerah seperti sekarang, memandang gemerlap cahaya dari ’Negeri Pulau’ di tanah seberang itu kadang-kadang bisa jadi semacam pengobat kegelisahan hidup sehari-hari yang kian berat dan melelahkan,” kata Leman, pekerja di satu industri manufaktur di Pulau Batam, saat ditemui di kawasan pantai Nongsa, Juli lalu.

Sejurus Leman terdiam. Ia terbuai akan masa kecilnya. Gemerlap cahaya lampu itu tiba-tiba mengingatkan Leman pada ribuan cahaya kunang-kunang di rerimbunan bakau tak jauh dari kampung halamannya, desa nelayan di Pulau Lingga. ”Kunang-kunang paling suka bertengger di pohon teruntum,” kata Leman. Celakanya, kini pohon teruntum sudah kian menipis. ”Kata orang, habis diangkut ke seberang selat, bersama pasir-pasir yang dikeruk untuk menambah luas negeri mereka.”

Tentu saja kunang-kunang dari masa kecil Leman (nama sebenarnya Sulaiman) tidak bermetamorfosa menjadi gerlap cahaya di Negeri Pulau itu, mengikuti pohon-pohon teruntum yang diangkuti ke sana. Juga bukan jelmaan jutaan kubik pasir yang dikeruk dari pulau-pulau di kawasan ini untuk pembangunan di negara tetangga itu.

Bukan! Cahaya keperakan yang terpancar dari gedung-gedung bertingkat di Negeri Pulau itu menyiratkan kemajuan sebuah peradaban. Singapura adalah kota paling atraktif di Asia Tenggara. Sementara di kampung Leman di Pulau Lingga, juga di ratusan pulau berpenghuni lainnya di Kepulauan Riau—di luar Batam dan kawasan eksklusif di bagian utara Bintan—waktu seperti berhenti.

Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, saja masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satunya bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati. Itu pun sangat sederhana.

Memasuki kota Daik, mereka yang tahu bahwa di sinilah dulu pernah berdiri pusat kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Bintan-Johor-Pahang niscaya akan terperangah. Kecuali bekas reruntuhan Istana Damnah, serta Masjid Sultan yang masih berdiri, jejak kejayaan masa silam itu sudah hilang ditelan waktu.

Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa kumpulan rumah panggung di atas rawa. Tak ada kendaraan angkutan umum kecuali ojek sepeda motor. Tak ada tempat belanja kecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan hanya kedai kecil. Penginapan pun amat bersahaja dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

Tidak seperti di Kalimantan, Papua, dan NTT, garis perbatasan Indonesia di wilayah Kepulauan Riau dengan empat negara tetangga (Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) hanya berupa laut dan selat. Tak ada patok-patok di tapal batas antarnegara sehingga apa yang disebut perbatasan tak ubahnya garis imajiner.

Akan tetapi, karakteristik realitas sosial kemasyarakatan berikut penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan ditinggalkan dalam proses pembangunan itu kerap jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.

Lihatlah kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang kehilangan darah segarnya setelah kekayaan perut bumi mereka (baca: timah) disedot habis, lalu ditinggalkan. Perekonomian Singkep pun runtuh. Masyarakat di sana—juga yang tinggal di pulau-pulau sekitar Singkep, termasuk Lingga—yang semula menjadikan Singkep sebagai tumpuan, ikut terpukul. Migrasi ke Batam dan Bintan akhirnya jadi pilihan.

Data yang diperoleh Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menunjukkan bahwa setelah PT Timah ”hengkang” dari pulau ini, jumlah penduduk Singkep terus berkurang. ”Sejak 1993, rata-rata penduduk Pulau Singkep yang semula tercatat 37.686 jiwa berkurang 1.000 jiwa tiap tahun karena pindah ke Pulau Batam.”

Di Batam, mereka berharap mendapat pekerjaan di sektor industri. Namun, di tempat baru ini mereka kalah bersaing. Kebanyakan di antara mereka justru jadi penganggur, sebagian jadi buruh bangunan.

Sementara Pulau Lingga yang dulu pernah jadi pusat Kesultanan Melayu, yang wilayah kekuasaannya hingga ke Johor, Negeri Sembilan, dan Pahang di Tanah Semenanjung (Malaysia) serta Tumasik (Singapura), setelah hampir 65 tahun Indonesia merdeka terlihat kian miskin dan dilupakan.

Apatah lagi Natuna dan Anambas yang berada jauh di Laut China Selatan. Kalau saja kawasan perairan bawah laut wilayah ini tidak mengandung cadangan minyak yang begitu kaya, barangkali tak ada yang mau menolehnya.

Akan halnya Batam dan Bintan, bagi masyarakat lokal, keberadaan kawasan industri tak memberi banyak peluang sejahtera. Bahkan, pada era otonomi seperti sekarang, skenario besar yang terlihat justru terkesan sebagai proyek pemerintah pusat di daerah yang menempatkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari sistem kapitalisme global.

Di dua pulau ini, perubahan besar memang terjadi. Lebih-lebih sejak pemerintah pusat menetapkan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan akhir 1970-an dikelola secara khusus. Akan tetapi, posisi masyarakat lokal selalu di pinggiran: sekadar jadi penonton!

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar ”properti”, di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini sesungguhnya tak pernah surut. Walau per kehidupan mereka sehari-hari bersinggungan dengan warga-bangsa yang berdiam di seberang Selat Melaka, dalam urusan nasionalisme, Jakarta tetap jadi acuan.

Ini sebuah karunia. Kualitas keindonesiaan mereka tak pantas diragukan. Kendati setiap malam menyaksikan tayangan televisi Singapura dan Malaysia tanpa harus pakai parabola, mereka tetaplah ”penjaga” nilai-nilai kebangsaan di tapal batas.

Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat ”tak Melayu hilang di Bumi” pada masa silam, masyarakat Kepulauan Riau sekarang pun masih bisa berkata lantang: tak Indonesia hilang di hati! Tapi, sampai kapan?

Sumber: Kompas, Rabu, 12 Agustus 2009
-- Kenedi Nurhan

Sri Mersing lagulah Melayu
Dinyanyikan anak tanah seberang…

SENANDUNG lagu ”Sri Mersing” terdengar sayup dan sendu. Di Nongsa, Batam, pada malam berawan cerah di pengujung Juli lalu, seberkas cahaya keperakan timbul-tenggelam di laut lepas, bagai dipermainkan ombak Selat Melaka yang terlihat hitam.

Leman (41) duduk termangu dengan segelas kopi di tangan. Pandang matanya lekat menatap gemerlap cahaya yang berpendar di seberang lautan. ”Itu Singapura. Kalau langit cerah seperti sekarang, memandang gemerlap cahaya dari ’Negeri Pulau’ di tanah seberang itu kadang-kadang bisa jadi semacam pengobat kegelisahan hidup sehari-hari yang kian berat dan melelahkan,” kata Leman, pekerja di satu industri manufaktur di Pulau Batam, saat ditemui di kawasan pantai Nongsa, Juli lalu.

Sejurus Leman terdiam. Ia terbuai akan masa kecilnya. Gemerlap cahaya lampu itu tiba-tiba mengingatkan Leman pada ribuan cahaya kunang-kunang di rerimbunan bakau tak jauh dari kampung halamannya, desa nelayan di Pulau Lingga. ”Kunang-kunang paling suka bertengger di pohon teruntum,” kata Leman. Celakanya, kini pohon teruntum sudah kian menipis. ”Kata orang, habis diangkut ke seberang selat, bersama pasir-pasir yang dikeruk untuk menambah luas negeri mereka.”

Tentu saja kunang-kunang dari masa kecil Leman (nama sebenarnya Sulaiman) tidak bermetamorfosa menjadi gerlap cahaya di Negeri Pulau itu, mengikuti pohon-pohon teruntum yang diangkuti ke sana. Juga bukan jelmaan jutaan kubik pasir yang dikeruk dari pulau-pulau di kawasan ini untuk pembangunan di negara tetangga itu.

Bukan! Cahaya keperakan yang terpancar dari gedung-gedung bertingkat di Negeri Pulau itu menyiratkan kemajuan sebuah peradaban. Singapura adalah kota paling atraktif di Asia Tenggara. Sementara di kampung Leman di Pulau Lingga, juga di ratusan pulau berpenghuni lainnya di Kepulauan Riau—di luar Batam dan kawasan eksklusif di bagian utara Bintan—waktu seperti berhenti.

Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, saja masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satunya bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati. Itu pun sangat sederhana.

Memasuki kota Daik, mereka yang tahu bahwa di sinilah dulu pernah berdiri pusat kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Bintan-Johor-Pahang niscaya akan terperangah. Kecuali bekas reruntuhan Istana Damnah, serta Masjid Sultan yang masih berdiri, jejak kejayaan masa silam itu sudah hilang ditelan waktu.

Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa kumpulan rumah panggung di atas rawa. Tak ada kendaraan angkutan umum kecuali ojek sepeda motor. Tak ada tempat belanja kecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan hanya kedai kecil. Penginapan pun amat bersahaja dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

Tidak seperti di Kalimantan, Papua, dan NTT, garis perbatasan Indonesia di wilayah Kepulauan Riau dengan empat negara tetangga (Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) hanya berupa laut dan selat. Tak ada patok-patok di tapal batas antarnegara sehingga apa yang disebut perbatasan tak ubahnya garis imajiner.

Akan tetapi, karakteristik realitas sosial kemasyarakatan berikut penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan ditinggalkan dalam proses pembangunan itu kerap jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.

Lihatlah kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang kehilangan darah segarnya setelah kekayaan perut bumi mereka (baca: timah) disedot habis, lalu ditinggalkan. Perekonomian Singkep pun runtuh. Masyarakat di sana—juga yang tinggal di pulau-pulau sekitar Singkep, termasuk Lingga—yang semula menjadikan Singkep sebagai tumpuan, ikut terpukul. Migrasi ke Batam dan Bintan akhirnya jadi pilihan.

Data yang diperoleh Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menunjukkan bahwa setelah PT Timah ”hengkang” dari pulau ini, jumlah penduduk Singkep terus berkurang. ”Sejak 1993, rata-rata penduduk Pulau Singkep yang semula tercatat 37.686 jiwa berkurang 1.000 jiwa tiap tahun karena pindah ke Pulau Batam.”

Di Batam, mereka berharap mendapat pekerjaan di sektor industri. Namun, di tempat baru ini mereka kalah bersaing. Kebanyakan di antara mereka justru jadi penganggur, sebagian jadi buruh bangunan.

Sementara Pulau Lingga yang dulu pernah jadi pusat Kesultanan Melayu, yang wilayah kekuasaannya hingga ke Johor, Negeri Sembilan, dan Pahang di Tanah Semenanjung (Malaysia) serta Tumasik (Singapura), setelah hampir 65 tahun Indonesia merdeka terlihat kian miskin dan dilupakan.

Apatah lagi Natuna dan Anambas yang berada jauh di Laut China Selatan. Kalau saja kawasan perairan bawah laut wilayah ini tidak mengandung cadangan minyak yang begitu kaya, barangkali tak ada yang mau menolehnya.

Akan halnya Batam dan Bintan, bagi masyarakat lokal, keberadaan kawasan industri tak memberi banyak peluang sejahtera. Bahkan, pada era otonomi seperti sekarang, skenario besar yang terlihat justru terkesan sebagai proyek pemerintah pusat di daerah yang menempatkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari sistem kapitalisme global.

Di dua pulau ini, perubahan besar memang terjadi. Lebih-lebih sejak pemerintah pusat menetapkan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan akhir 1970-an dikelola secara khusus. Akan tetapi, posisi masyarakat lokal selalu di pinggiran: sekadar jadi penonton!

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar ”properti”, di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini sesungguhnya tak pernah surut. Walau per kehidupan mereka sehari-hari bersinggungan dengan warga-bangsa yang berdiam di seberang Selat Melaka, dalam urusan nasionalisme, Jakarta tetap jadi acuan.

Ini sebuah karunia. Kualitas keindonesiaan mereka tak pantas diragukan. Kendati setiap malam menyaksikan tayangan televisi Singapura dan Malaysia tanpa harus pakai parabola, mereka tetaplah ”penjaga” nilai-nilai kebangsaan di tapal batas.

Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat ”tak Melayu hilang di Bumi” pada masa silam, masyarakat Kepulauan Riau sekarang pun masih bisa berkata lantang: tak Indonesia hilang di hati! Tapi, sampai kapan?

Sumber: Kompas, Rabu, 12 Agustus 2009

No comments: