Wednesday, August 12, 2009

W.S. Rendra dan Mbah Surip

-- Sudjarwo*

MINGGU lalu kita dikejutkan dengan berpulangnya kedua tokoh budaya yang sama-sama memiliki komitmen tinggi pada nilai-nilai kehidupan luhur. Wahyu Sulaiman (W.S.) Rendra yang berumah di atas langit, sementara Mbah Surip berumah di kolong langit, dua dunia yang berbeda tetapi disatukan oleh rasa, yaitu rasa kemanusiaan yang tinggi. Keduanya menjalani hidup ini mengalir bak air yang selalu mengisi ruang-ruang kosong. Keduanya meninggalkan keteladanan yang hanya bisa disentuh melalui rasa.

Perjalanan kedua anak manusia ini begitu mencengangkan. Betapa tidak, mereka berdua sama-sama menjalani hidup pernah terpinggirkan oleh kehidupan. Rendra menjalani sebagian hidupnya di penjara karena berbeda dengan penguasa. Mbah Surip pun dalam perjalanan hidupnya "dipenjara" dalam kesendirian. Kenikmatan duniawi mereka tinggalkan, mereka sering singgah pada dunia sepi kontemplasi. Merenung, mengendapkan rasa di hadapan Sang Pencipta.

Mbah Surip harus berjalan secara fisik untuk menemukan kaki langit. Dari satu tempat ke tempat lain. Rendra berjalan secara rasa, juga dalam rangka menemukan kaki langit. Mereka berdua berjalan melampaui zamannya. Ajaran budi yang mereka tinggalkan merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya. Rendra tidak jarang secara realistik menunjukkan sesuatu kepada kita. Walaupun terkadang sesuatu itu aneh menurut kita, benar adanya kelak kemudian hari. Sementara Mbah Surip menunjukkan kepada kita sesuatu melalui lambang-lambang kehidupan, baru semua kita sadari setelah beliau tidak bersama kita lagi.

Rekam jejak mereka begitu panjang dengan warna khas masing-masing, bahkan warna itu diakui oleh Rendra sebagai identitas bagi pelakunya. Lalu apa yang kita dapatkan dari keluhuran budi mereka.

Berbicara masalah Rendra, rasanya tidak ada anak sekolahan yang tidak mengenalnya. Karya sastranya menjadi bacaan wajib bagi mereka. Namun tidak demikian dengan pandangannya. Pemerintah pada waktu itu, memosisikan Rendra sebagai orang yang diseberangkan. Beliau dimasukkan penjara, tetapi tetap merdeka. Bahkan karya drama monumental beliau lahirkan dari dalam kerangkeng penjara. Jiwanya tetap bergerak menggapai langit dimana dia tinggal.

Kelantangan bicara bukan berarti menghilangkan kesederhanaan, itu menjadi ciri khasnya. Pada masa lalu berdeklamasi harus menggeluarkan enargi yang membuncah, tetapi satu sajak ditangan Rendra dibaca bagai air mengalir dari mata air. Begitu polos, jujur, bersahaja, dan mengena.

Ajaran budi mengalir dari untaian kata yang disusunnya. Semua pernik kehidupan dia sampaikan tanpa batas. Membela terhadap yang tertindas menjadi semboyan hidupnya. Penghargaan apa pun untuknya rasanya tidak pantas karena Rendra bukan pencari penghargaan. Dia adalah pribadi di atas semua itu. Penghargaan rasanya tidak adil jika kita sejajarkan dengan keikhlasannya. Keihlasaannya hanya Sang Maha Pencipta yang patut memberikan ganjaran. Rendra adalah Rendra.

Bagaimana dengan Mbah Surip? Sosok satu ini pun demikian, walaupun menempuh jalan yang berbeda dengan Rendra, isi yang terkandung di dalam roh perjuangnya adalah sama. Mbah Surip tidak ngoyo dalam hidup, tidak singunen (silau) melihat dunia, tidak dumeh melakoni hidup. Dia mengalir tanpa riak, sekalipun air bah mengguyurnya. Hidup dilakoni dengan ikhlas dalam konteks menyikapi apa pun yang ditemui.

Mbah Surip tidak berubah sekalipun disulut oleh api perubahan. Dia tetap istikamah dengan apa yang telah dilakoninya selama ini. Dia tetap tampil sebagai Mbah Surip, sekalipun dia mampu untuk mendapatkan sesuatu untuk mengubah diri menjadi lain. Dengan bahasa perlambang akan kehalusan budi beliau sampaikan semua pikirannya, ajarannya dengan bahasa rakyat, tidak menggunakan idiom-idiom yang aneh, seperti halnya orang terkenal mendadak.

Ada sisi kesamaan lain, kedua tokoh ini tidak mau wilayah pribadinya diumbar untuk konsumsi publik, seperti banyak orang melakukan demi menjual diri agar laku di pasaran. Mbah Surip jika ditanya ranah pribadi, beliau akan menjawab dengan tawa khas, dan dipungkasi dengan kata biarlah mbah yang melakoni. Demikian juga Rendra, beliau akan menjawab dengan senyum khasnya Sang Burung Merak. Beliau berdua tetap memiliki wilayah pribadi yang hanya dia sendiri yang melakoni, tidak untuk orang lain. Pahit getir, atau manis wangi merona, biarkan itu miliknya, bukan milik kita.

Kekuatan batin untuk menghadapi onak dan duri kehidupan ini, mereka lakoni tanpa sedikit pun keluhan, apalagi sikap membalas dendam. Sekalipun mereka berdua berada pada posisi yang sangat memungkinkan untuk itu, tetapi dengan keluhuran budi mereka, hal itu tidak dilakukannya. Apakah pembalasan itu terhadap insitusi, orang lain, atau terhadap nasib diri, semua mereka tidak lakukan. Semua dijalani dengan tulus tanpa beban.

Pertanyaan tersisa adalah bagaimana kita. Jelas kita bukan Mbah Surip, apalagi W.S. Rendra. Kita adalah kita, bukan mereka. Biarkan Mbah Surip menjadi Mbah Surip dan Rendra menjadi Rendra. Tidak mungkin kita menduplikasi mereka. Hanya persoalannya apa yang bisa kita dapatkan dari beliau berdua. Kearifan, kesentosaan, dan keluhuran budi, adalah sesuatu yang dapat kita pelajari dari sosok berdua ini. Mereka dapat kita jadikan cermin pada kita semua, atau juga penanda zaman dari lintasan sejarah anak manusia.

Selamat jalan Mas Willy, selamat jalan Mbah Surip, semoga keabadian yang menjemputmu menjadikan abadi juga ajaranmu. Amin...

* Sudjarwo, Guru Besar pada FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Rabu, 12 Agustus 2009

No comments: