Sunday, August 09, 2009

Sastra Indonesia dan Pascakolonalisme

-- Yopi Setia Umbara*

WACANA sastra Indonesia pascakolonial, belakangan diam-diam menggugah khalayak sastra kita. Postcolonialism adalah sebuah konsep Gramscian tentang hegemoni. Suatu relasi kuasa di mana terjadi dominasi dan subordinasi hingga di tingkat bahasa yang sejak awal menjadi roh perbincangan para kolonialis.

Sementara itu, karya sastra mutakhir Indonesia, justru seperti menyerahkan dirinya kepada hegemoni neokolonial. Sebagai karya sastra yang terbuka bahkan telanjang pun tak lebih dari kreasi reaktif terhadap lepasnya telikung kebebasan saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru.

Namun demikian, jika ditinjau ulang, wacana pascakolonial dalam sastra Indonesia berbeda dengan sastra pascakolonial di beberapa negara yang pernah mengalami kolonialiasi. Misal di India, dimana banyak penulisnya yang kemudian menulis dengan bahasa peninggalan kolonialisasi Inggris.

Hal ini sangat berbeda dengan kasus Indonesia, di mana kolonialisasi Belanda menciptakan jarak dengan komunitas masyarakat yang pernah dikuasainya. Dengan demikian, bahasa kolonial Belanda tidak berbekas pada masyarakat Indonesia hari ini.

Oleh karena itu, identifikasi utama dari sastra pascakolonial adalah dilema sastra yang membenturkan dirinya pada pengaruh kolonial dalam wilayah sosial, politik, ekomomi, dan budaya. Meski secara bentuk, karya sastra Indonesia tidak menggunakan bahasa kolonialnya, kita memiliki karya sastra dengan tema tersebut. Lihat saja karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Budi Dharma, atau Mochtar Loebis.

Begitulah pendapat Radhar Panca Dahana dalam diskusi panel bersama Nenden Lilis Aisyah, Nurmailis, dan Nurhayat Arif Permana, pada salah satu sesi diskusi "Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II 2009", Pangkalpinang, Bangka Belitung. TSI II yang mengusung tema "Sastra Indonesia Pascakolonial" ini juga menghadirkan pembicara lain, di antaranya: Agus R. Sardjono, Saut Situmorang, Arief B. Prasetyo, Yasraf Amir Piliang, John McGlynn, dan Katrin Bandel.

Membaca perkembangan sastra Indonesia pascakolonial, tentu harus juga membicarakan peran Balai Pustaka. Sebagai penerbit yang dibentuk pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Balai Pustaka telah turut serta mengondisikan karya sastra yang mengusung kepentingan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya) penguasanya.

Berangkat dari kondisi demikian, tema-tema sastra pascakolonial bergerak di pinggiran, seperti terbitnya karya-karya yang kemudian dikategorikan sebagai sastra pasar dan picisan, di mana kategorisasi tersebut diciptakan oleh pemerintah kolonial.

Selain membicarakan Balai Pustaka, Nenden Lilis Aisyah juga mengabsen pihak-pihak yang mensosialisasikan, mempublikasikan, dan mendistribusikan karya sastra yang lebih beragam pada masa selepas reformasi 1998. Jauh selepas era Balai Pustaka, selain lembaga bentukan pemerintah dan swasta, secara perseorangan pun dapat menerbitkan karya sastra.

Jika memperhatikan subjek-subjek sastra hari ini dan merujuk pada wacana sastra pascakolonial yang sedang dibicarakan, maka keberagaman tema yang muncul, seperti karya yang bermuatan kearifan lokal, perempuan, atau ideologis, sebenarnya cukup marak. Namun, yang menjadi pertanyaan dan masih terus harus didiskusikan adalah diskursus mengenai karya sastra Indonesia pascakolonial apalagi jika mengingat identifikasi yang telah disebutkan tadi.

Diskursus ini menjadi penting karena jika kita membaca maraknya karya sastra yang terbit hari ini, seolah-olah tak lebih dari merayakan longgar dan leluasanya kesempatan menerbitkan karya sastra, sehingga karya-karya yang terbit seakan-akan menyerahkan diri kepada hegemoni neokolonial di mana karya-karya tersebut menjadi objek pasar, bukan sebagai gagasan atas kesadaran pascakolonial.

Oleh karena itu, seperti juga disampaikan Radhar pada akhir makalahnya, sastrawan Indonesia kembali dituntut untuk mewujudkan kesatuan literer dan harus berani meninggalkan individualisme yang menjeratnya secara kreatif. Bila postcolonialism ternyata hanya menjadi prosesi kemenangan strategi permanensi kekuasan neokolonial, sastra Indonesia tidak sepantasnya ikut hanyut di dalamnya.

TSI II 2009, Pangkalpinang, Bangka Belitung yang digelar dari 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009, menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya: ditunjuknya kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau sebagai tuan rumah Temu Sastrawan Indonesia III 2010 (berikutnya); 2. akan dibentuknya Tim Kurator Lintas Provinsi sebagai pendukung realisasi pelaksanaan TSI III; dan harus dilaksanakannya Kongres Aliansi Sastrawan Indonesia (ASI) yang telah dibentuk pada TSI I 2008 di Jambi.***

* Yopi Setia Umbara, penyair.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Agustus 2009

No comments: