-- Ahmad Sahidah
SETELAH rezim Orde Baru tumbang, mimpi indah reformasi belum juga menjadi kenyataan. Keterbukaan dan kebebasan yang dirayakan hanya menambah kehidupan politik kian centang-perenang.
Setelah lebih dari satu dekade upaya reformasi digulirkan, pemegang kursi eksekutif tetap tak jera merampok uang negara. Anggota Dewan yang diharapkan menjadi ”anjing penjaga”, diam seribu bahasa, bahkan diduga bersekongkol dan menilap kekayaan dengan dalih belajar ke luar negeri. Masyarakat pun turut menyumbang keadaan dengan mudah menyulut kekerasan. Adakah ini titik balik yang merupakan buah dari ketergesaan mempraktikkan demokrasi?
Lalu, apa yang bisa diungkap dari kegagalan ini dan kemungkinan perubahan? Buku ini mencoba menelaah bagaimana Indonesia mengelak dari jurang bahaya setelah tahun 1998. Bagaimanapun, reformasi bukan merupakan sebuah upaya perbaikan yang direncanakan dengan baik terhadap institusi negara, tetapi terutama karena sebuah respons terhadap keadaan kacau tahun 1998. Presiden Habibie pada masa itu terpaksa mendorong untuk meruntuhkan rezim Orde Baru, padahal dia sendiri adalah pemain utamanya.
Buku ini ingin mengungkap apa yang mendorong reformasi itu dengan memberikan perhatian pada bagaimana proses itu dilakukan oleh pelbagai institusi, seperti struktur politik, militer, pemerintahan, pengadilan, dan partai politik. Padahal, sebagian besar institusi itu didominasi oleh kekuatan politik yang mementingkan diri dan korup, malah dalam banyak kasus mereka mempunyai hubungan erat dengan rezim Soeharto.
Merujuk pada teori Grindle dan Thomas, reformasi di negara-negara berkembang ”dipicu oleh krisis”. Keduanya menegaskan, banyak reformasi muncul dari keadaan di mana elite kebijakan memercayai bahwa krisis akan terwujud dan mereka harus melakukan sesuatu atau menghadapi balasan. Nah, jangan- jangan elite seperti inilah yang sebenarnya mendorong perubahan itu, mengingat keadaan sekarang tidak jauh berbeda dengan rezim korup zaman dulu, tentu dengan modus-operandi yang berbeda dan perampokan uang negara yang lebih merata, baik di pusat maupun di daerah.
O’Donnel dan Schmitter, tegas Crouch, menyatakan bahwa transisi politik Indonesia setelah kejatuhan Soeharto dikeruhkan oleh ketidakpastian karena sisa-sisa rezim Orde Baru masih berada di kekuasaan. Celakanya, kalangan elite demokratik tidak kompak untuk menjalin komunikasi dan mengambil alih kekuasaan. Saat itu, pemerintah juga dihadapkan pada kemarahan rakyat atas kegagalan rezim memperbaiki dampak sosial dari krisis ekonomi, sementara tentara enggan untuk mengambil risiko membela rezim yang hampir menjelang ajal .
Kerikil reformasi
Hal pertama yang merupakan berkah dari reformasi adalah pembaruan konstitusi dan sistem pemilihan umum. Bagaimanapun, demokratisasi memerlukan perubahan drastis terhadap konstitusi lama atau penggantian dengan yang sama sekali baru.
Namun, meskipun hukum-hukum pemilihan yang ada dirombak total, tidak dengan sendirinya perubahan berjalan mulus karena harus disesuaikan dengan kepentingan bekas rezim yang masih bertahan dan kekuatan baru yang lahir dari runtuhnya rezim. Adalah tak mengherankan jika struktur pemerintahan dan wakil rakyat masih berbau rezim lama di awal reformasi.
Desentralisasi juga merupakan buah dari tuntutan rakyat terhadap penguasa baru. Kehendak untuk mengubah keadaan pada kondisi yang lebih baik telah mendorong banyak pihak untuk memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah, di mana sebelumnya kekuasaan menumpuk di pusat, Jakarta. Uniknya, perubahan yang biasanya berjalan secara bertahap, kali ini pembagian kue kekuasaannya mengalami apa yang disebut dengan ”big bang”. Struktur berubah total, daerah begitu berkuasa. Para peneliti menyebut perubahan ini sebagai kebijakan desentralisasi yang paling nekat. Presiden Habibie memberikan otonomi daerah seraya didukung oleh partai yang mendadak reformis, Golongan Karya. Meski demikian, alasan perubahan drastis itu bisa diterima karena ada kekhawatiran munculnya disintegrasi.
Reformasi militer tentu menjadi titik penting untuk mengubah wajah pemerintahan yang kusut. Pertama-tama, secara konseptual, tentara harus menarik diri dari peran politiknya dan memusatkan pada fungsi ketentaraan yang profesional. Kedua, pemerintah sipil harus melakukan kontrol terhadap tentara yang harus setia pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, jika kontrol sipil demokratik dicapai, tentara harus menerima kewajiban untuk bertanggung jawab pada pemerintah melalui anggota parlemen terpilih dan opini publik. Lagi-lagi, pada kenyataannya bangunan ideal ini ambruk.
Meski reformasi juga dituntut dalam bidang hukum, tetapi sebagaimana banyak dialami oleh negara-negara yang baru saja meninggalkan sistem otoritarian, Indonesia tampaknya menghadapi batu sandungan yang kuat untuk meraih cita-cita perubahan. Oleh orang- orang dekat rezim otoriter, pengadilan masih dijadikan alat untuk melayani kebutuhan-kebutuhannya. Ini bisa dilihat dari panggung pengadilan yang memperlihatkan bagaimana pemimpin-pemimpin dan pendukung rezim kebal dari hukum. Namun, pada waktu yang sama, peralihan dari tangan besi ke reformasi macet karena apa yang disebut dengan aparat hukum, yang meliputi hakim, jaksa, dan polisi, tidak jauh berbeda dengan birokrasi yang lain, bergaji rendah dan suka korupsi.
Dari kegagalan pemenuhan janji reformasi di atas, kekerasan meledak dan inilah yang harus mendapatkan perhatian, malah hingga hari ini. Bagaimanapun, konflik antara warga adalah turunan dari ketidaksetiaan pada janji tersebut di atas. Kekerasan komunal di Maluku meluap memang disebabkan banyak pemicu, tetapi tak terelakkan ia adalah tumpukan dari perkembangan sosial dan politik. Celakanya, banyak orang memercayai bahwa ia juga dijadikan alat oleh elite untuk mengail di air keruh.
Tentu, penempatan kekerasan di Indonesia di akhir buku, termasuk di Aceh, adalah sangat tepat. Bagaimanapun, kegagalan elite dan masyarakat menunaikan idealisme reformasi akan berujung pada keadaan kaotis. Tampaknya, pada hari ini pun kekerasan di antara warga acapkali meletus, seperti ditemukan pada pemilihan kepala daerah, karena sektor yang menyangga kehidupan bernegara, seperti birokrat, pengadilan, dan tentara kerap bertindak culas.
Tentu, buku ini tak sepenuhnya mengulas sisi-sisi gelap dari reformasi. Namun, karena perubahan itu belum terwujud sepenuhnya, pembacaan utuh terhadap karya ini begitu mendesak.
Ahmad Sahidah, Staf Peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment