Wednesday, February 23, 2011

Tak Perlu Kita Berkabung

-- Diani Panjaitan

Terkait soal pajak, memang sulit untuk tidak curiga kepada Pemerintah Indonesia.

Sebagai negara terkorup se-Asia, menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010, sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah sering mengeluarkan kebijakankebijakan yang kerap menyusahkan masyarakat untuk memperkaya oknum-oknum tertentu.

Akan tetapi, kenaikan pajak film impor tidak begitu. Memang sudah waktunya pajak film impor kita dinaikkan. Kalau negara-negara lain sudah sejak dulu menetapkan pajak film impor yang tinggi demi memproteksi industri nasional, hal itu baru dilakukan Pemerintah Indonesia minggu ini. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik juga menjanjikan bahwa pajak untuk film lokal akan dihapuskan.

Pilih kasih

Selama ini pemerintah kita memang terlihat pilih kasih dalam memperlakukan film nasional dan film impor dalam masalah pajak. Total pajak yang harus dibayarkan film nasional untuk sebuah film bisa lima kali lipat dari jumlah yang harus dibayarkan pengimpor untuk satu judul film asing.

Banyak pihak yang tidak menyadari ketimpangan ini karena berpikiran bahwa film-film asing tentunya juga harus membayar pajak macam-macam di negara asalnya. Di sinilah kesalahannya. Negara-negara lain yang suportif terhadap industri perfilmannya sudah sejak dulu mengurangi atau bahkan menghapus pajak untuk industri perfilman.

Di Amerika Serikat saja, yang empunya pembuat film, pemerintah mereka memberikan tax deductions dan tax returns hingga hampir 100 persen untuk produksi dan investasi film. Negara tetangga mereka, Kanada, juga sama. Pemerintah mereka menawarkan berbagai bentuk tax breaks untuk produksi dan investasi film lokal.

Jadi, kalau melihat perkembangan hukum pajak film di negara lain dan membandingkannya dengan hukum kita, industri film impor di Indonesia jelas lebih bahagia daripada film nasional. Pajak film nasional di negara-negara lain bisa digratiskan dengan menarik pajak yang tinggi dari film impor.

Kita memang agak tertinggal dalam masalah ini. Lihat saja Thailand. Kalau mau dihitung- hitung, jumlah pajak yang harus dibayarkan pengimpor film luar rata-rata 3.000 persen dari jumlah yang harus dibayarkan oleh para pengimpor film di negara kita. Contoh lain Mesir, yang sudah menerapkan pajak sekitar 50 persen untuk film impor, belum termasuk pajak penjualan dan lain-lain. Kalau film tersebut tergolong box office, film laris, pajaknya bisa jauh lebih tinggi lagi.

Namun, terlepas dari isu subsidi silang, memang sudah sewajarnya film impor dipajak lebih tinggi dalam rangka memproteksi pasar film nasional. Semua orang sudah tahu bahwa film-film Hollywood mendominasi di mana-mana, bahkan di negara-negara lain yang industri filmnya sudah tua dan mengakar, seperti India, China, dan Eropa. Pajak tinggi bagi film impor diterapkan untuk membatasi penetrasi dan kuantitas film-film impor agar tidak mengubur industri film nasional.

Narasi yang janggal

Bagi saya, sangat membingungkan bila para praktisi film nasional, seperti Mira Lesmana, menyatakan agar industri perfilman dibebaskan seluruhnya dari pajak. Industri film nasional justru mungkin bisa terkubur.

Masyarakat pun ditakut-takuti dengan kematian industri perfilman Indonesia karena dinaikkannya pajak film impor. Sejak ngambek-nya MPAA, Ikapifi, dan 21 Cineplex yang memboikot dan menarik peredaran film-film Hollywood di Indonesia, banyak praktisi film ikut mengadopsi sudut pandang pengimpor dan lantas meramalkan bahwa bioskop akan mati. Dan, darahnya ada di tangan pemerintah.

Narasi ini terdengar begitu janggal. Pertama, justru sekarang yang jadi masalahnya adalah MPAA. Bukan pemerintah yang membelenggu film impor berkualitas. Pemerintah tak pernah melarang film impor, hanya menaikkan pajak, yang merupakan hak setiap negara. Banyak negara lain yang total pajak untuk film impornya jauh lebih besar daripada Indonesia, tetapi MPAA tidak pernah pakai acara boikot. Hanya saja, para importir ini memang sudah terlalu dimanja selama bertahun-tahun dengan pajak Indonesia yang kecil.

Kedua, bioskop kita tidak perlu mati walaupun memang akan tersendat tanpa film Hollywood. Yang membuat film bukan hanya mereka. Negara-negara lain juga memproduksi banyak film yang bahkan jauh lebih berkualitas. MPAA pun tidak mewakili semua pembuat film di Amerika, hanya yang besar-besar. Jadi, kita sebenarnya tidak perlu takut untuk kekurangan film berkualitas.

Ketiga, ”penjahat”-nya bukanlah pemerintah. Kalau ada pihak yang harus dikecam dari permasalahan ini, maka pihak tersebut adalah Ikapifi dan 21 Cineplex. Merekalah yang tidak ingin keuntungannya berkurang dan memutuskan untuk mengancam pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan memboikot impor film sama sekali.

Ikapifi dan 21 Cineplex sebenarnya bisa saja terus beroperasi walaupun tentu saja keuntungan mereka tidak seindah biasanya. Namun, daripada keuntungan berkurang, mereka memilih untuk mengancam dan memvakumkan industri. Ini memang tabiat buruk kapitalisme di mana-mana. Selalu berusaha membayar sekecil mungkin demi keuntungan sebesar-besarnya.

Kita berharap ada pengusaha- pengusaha lain yang akan mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan oleh Ikapifi dan 21 Cineplex, dan mulai mengimpor kembali film-film asing. Lagi pula, sudah waktunya dominasi 21 dipecah. Bukankah monopoli atau oligopoli di mana-mana hanya membuat susah pelanggan?

Diani Panjaitan
, Penerima Beasiswa Fulbright, New York University, Media Policy Studies

Sumber: Kompas, Rabu, 23 Februari 2011

No comments: