-- Aryo Wisanggeni Gentong
Di panggung gelap gulita, satu-satunya cahaya adalah pendar light emitting diode kemerahan yang membalut tubuh lima penari yang meliuk mengikuti hentakan lagu Welcome to Our World. Sosok penarinya ditelan kegelapan panggung, membuat ”tali lampu” pembalut tubuh mereka seperti kunang-kunang berakrobat udara dan berganti-ganti warna.
Para penari EKI Dance Company mementaskan komedi musikal "Jakarta Love Riot" di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/2). Pertunjukan yang disutradarai Rusdy Rukmarata dan Nanang Hape tersebut bercerita tentang kisah cinta dari kelas sosial yang berbeda dengan balutan komedi. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Ketika dentuman musik berhenti, ”tali lampu” di tubuh kelima penari padam. Detik berikutnya, di setiap tubuh penari muncul nyala lampu yang membentuk satu huruf, berjajar dari kiri ke kanan: B, I, T, C, dan H. Penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/2) malam, heboh dan gaduh dalam tepuk tangan. Awal yang megah bagi pertunjukan komedi musikal ”Jakarta Love Riot”.
Awal megah itu menjadi pintu masuk nyaman Lolo (Ken Nala Amrytha) dan Josh (Arie Dagienkz) untuk memanggungkan sosialita borjuis Jakarta yang serba ”wah”, tapi tidak penting.
Mulai dari obrolan berkosakata gado-gado Inggris-Indonesia, sampai rencana Nala (Felicia Chitra) mengajak teman-temannya menunggangi jet pribadi untuk menonton konser jazz privat pesta ulang tahunnya di Bali. Juga soal teman-teman Nala yang memberi kado ulang tahun kacamata berharga jutaan dan toilet anjing yang dibeli dari Tokyo.
Penjual soto
Seperti versi Romeo-Juliet lainnya, alur cerita dibangun dari kemarahan Lolo dan teman-temannya karena Nala jatuh cinta kepada anak seorang penjual soto bernama Toto (Ari Prajanegara). Toto yang masuk ke rumah Nala dengan sapaan ”What’s up kabarnya?” seperti makhluk asing berkuman bagi orang di lingkaran kehidupan Nala.
Ketika kado puisi yang dibacakan Toto justru membuat Nala menangis bahagia, Lolo yakin kakaknya sudah gila. Nala tidak peduli, bahkan melawan permintaan ibunya, Hudy Hadiprana yang diperankan Sarah Sechan, untuk berhenti berpacaran dengan Toto.
Kartika (Ira Duaty), ibunda Toto, juga jengkel melihat anaknya lebih menyukai anak kuliahan yang kaya raya seperti Nala ketimbang Tatik (Takako Leen) yang pandai mengurus warung soto Ibu Kartika. Kartika mencoba menjadikan Tatik seorang perempuan idaman lelaki, tapi Tatik merasa lebih baik menjadi dirinya sendiri dan merelakan Toto mencintai Nala.
Ketika Toto dan Nala menghilang, Lolo dan teman-temannya mendatangi warung soto Ibu Kartika. Perdebatan dan saling tuding berlanjut rusuh, namun berakhir happy ending.
”Ini cerita anak muda zaman sekarang. Ini kisah soal perbedaan yang seharusnya dijembatani. Jangan kita berlagak modern, demokratis, tetapi di dalam rumah sendiri membuat perbedaan-perbedaan kelas. Ini karya yang sama dengan yang kami tampilkan pada 2010. Kami ingin memenuhi hasrat penonton yang dulu tidak sempat menonton,” kata Rusdy Rukmarata, sutradara dan koreografer ”Jakarta Love Riot”.
Sebagai komedi musikal, drama ini tentu menghibur. Sarah Sechan yang memerankan Hudy Hadiprana, ibunda Nala dan Lolo, tampil memikat dengan improvisasi yang segar di sana-sini. Logat Tionghoa-Melayunya juga kejenakaannya menampilkan kemunafikan seorang jet-set yang berlagak merakyat demi citra, terus mengundang tawa.
Begitu juga celetukan logat Betawi Joni Goban yang diperankan Bayu Octara, menyegarkan alur cerita yang kadang berlama-lama dan mudah diterka. Interupsinya kerap menampilkan sinisme kaum bawah terhadap hiperrealitas kaum sosialita yang ”wah”, namun tidak menjawab persoalan orang seperti Joni Goban, kaum borjuis yang kerap memandang rendah.
Musik garapan Oni Krisnerwinto tampil apik mengiringi para penari Eksotika Karmawibhangga Indonesia Dance Company yang juga ciamik. Pementasan ulang komedi musikal yang melibatkan 286 pekerja seni itu juga memperbarui sejumlah alur cerita, termasuk pengamen yang menyanyikan lagu Andai Aku Jadi Gayus, dan adegan gawat darurat serta tarian tap dance.
Kendati sukses menghibur penonton, Rusdy Rukmarata tidak menampik bahwa musik, lagu, tari, dan akting di panggung ”Jakarta Love Riot” masih tampil ”silih-berganti”. Ia menuturkan sulitnya mencari sosok aktor yang mampu berakting, menari, sekaligus menyanyi. ”Dari 50 pemain, tidak lebih dari lima pemain yang bisa utuh menari, menyanyi, sekaligus berakting,” kata Rusdy.
Kebanyakan adegan menari memang dimainkan para penari, seperti juga adegan menyanyi yang dimainkan para penyanyi, dan yang berakting pun para pelakon. Penari, seperti Felicia Chitra dan Ari Prajanegara, harus bekerja sangat keras untuk menari sekaligus berakting dan menyanyi.
Namun, Sarah Sechan memilih mengaku tidak berbakat menyanyi. ”Soal nyanyi, yang mengajari saya menyanyi juga sudah menyerah. Saya memang tidak tahu cara menyanyi,” kata Sarah tertawa.
”Jakarta Love Riot” bisa disepadankan dengan novel-novel chick lit karya para remaja perempuan muda dan untuk kalangan mereka juga. Rasanya renyah, mudah dikunyah, enak di lidah, seperti kerupuk, sayangnya kurang bergizi. Oleh sebab itu dengan sangat mudah segera dilupakan.
Namun di sisi lain, pentas ini kembali membuktikan drama atau komedi musikal sangat diminati. Itu membuat Rusdy berani bermimpi suatu ketika nanti komedi musikalnya akan seserius ”Cats The Musical” di Broadway. Akankah mimpi itu tercapai? Tidak mudah membuat pertunjukan yang renyah sekaligus bergizi. Pantas kita tunggu....
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011
No comments:
Post a Comment