Jakarta, Kompas - Guru-guru menyambut dingin rencana penyelenggaraan pendidikan profesi guru dalam jabatan yang akan dimulai pertengahan tahun ini. Jika biaya pendidikan profesi guru tetap harus dibiayai sendiri oleh guru, para guru tidak berminat untuk memburu gelar guru profesional itu.
Sejumlah guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru swasta dari sejumlah daerah, Kamis (24/2), mengatakan, pendidikan profesi guru (PPG) biayanya Rp 5 juta per semester untuk guru SD dan Rp 10 juta untuk satu tahun bagi guru SMP-SMA sederajat. Pendidikan profesi guru merupakan jalan agar guru mendapat sertifikat guru profesional dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji pokok per bulan.
Di sisi lain, perguruan tinggi juga masih menunggu kejelasan tentang teknis pelaksanaan hingga pembiayaan.
Martoyo, guru yang sudah 27 tahun mengajar di SMP Muhammadiyah, Bantul, DI Yogyakarta, mengatakan, ia tak akan ikut PPG karena tidak memiliki uang.
”Gaji saya Rp 500.000 per bulan. Hanya cukup untuk membeli beras. Tidak mungkin bisa mengikuti PPG jika guru harus membayar sendiri,” kata Martoyo.
Guru agama itu sepulang mengajar menjalankan wirausaha serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lewat cara itu, kedua anaknya bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. ”Jika ada biaya, saya utamakan untuk biaya kuliah anak-anak,” ujar Martoyo.
Menurut Martoyo, guru-guru di sekolah swasta kecil akan kesulitan mencari biaya untuk mengikuti PPG. Apalagi, banyak sekolah swasta gurem yang kekurangan murid karena masyarakat lebih suka ke sekolah negeri yang gratis. Guru-guru sekolah swasta gurem tersebut umumnya dibayar Rp 10.000-Rp 20.000 per jam mengajar, sedangkan insentif dari APBD daerah besarnya Rp 100.000 per bulan.
Almaidah, guru SMP Negeri Satu Atap 2 Tongkuno, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, mengatakan, hampir dipastikan guru dari daerah pedalaman tidak tertarik ikut PPG yang harus dibiayai sendiri oleh guru. ”Sulit bagi guru membiayai PPG. Mengandalkan gaji, jelas tidak cukup, apalagi yang berkeluarga. Belum lagi biaya transportasi ke kampus di ibu kota mahal,” kata Almaidah yang sudah 10 tahun jadi guru.
Almaidah mengatakan, penghasilan guru seperti dirinya berkisar Rp 2,3 juta per bulan. Tidak ada tunjangan guru dari pemerintah daerah. Gaji sebesar itu lebih diprioritaskan untuk biaya hidup istri dan kedua anaknya.
Kalaupun memaksakan diri ikut PPG, perjalanan dari daerahnya untuk kuliah di Universitas Haluoleo di Kendari sekitar lima jam dengan naik kapal dan jalur darat. Biaya pergi-pulang sekitar Rp 300.000.
”Bukannya guru tak mau meningkatkan kualitas dirinya. Namun dengan kondisi guru yang masih pas-pasan, bahkan kurang, apa pemerintah masih tega membiarkan guru menanggung sendiri biaya PPG?” ujarnya.
Ginanjar Hambali, guru SMAN 3 Pandeglang, Banten, mengatakan, hanya guru yang kaya yang bisa kuliah PPG. Itu pun jumlahnya tidak banyak.
”Guru kan punya kebutuhan lain. Belum bayar cicilan rumah, cicilan motor, dan biaya hidup lainnya. Rasanya, seperti mimpi bisa ikut PPG dalam waktu dekat,” ujar guru mata pelajaran Ekonomi tersebut. (ELN)
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Februari 2011
No comments:
Post a Comment