KURANG dari 36 jam setelah Hosni Mubarak mengundurkan diri, dua jenderal penting berdialog dengan pentolan demonstran. Satu hal yang mengejutkan, kedua jenderal senior itu menunjukkan respek atas pendapat kelompok muda.
Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Mereka menggugat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mereka anggap tidak memihak kepentingan rakyat banyak. (KOMPAS/DANU KUSWORO)
Dalam kultur Mesir yang sangat kaku dalam hierarki kelas dan usia, sikap jenderal senior yang mau mendengar itu jauh dari lazim. Kekuasaan puluhan tahun membentuk budaya patriarki yang begitu lekat dalam rezim penguasa.
Sikap kelompok tua itu sangat jelas ditunjukkan oleh sang presiden tersingkir, Hosni Mubarak, yang bergeming meskipun jutaan warga terus-menerus berdemo di Alun-alun Tahrir. Sikap yang sama saat ini ditunjukkan pemimpin Libya, Moammar Khadafy.
Majalah The Economist edisi 19 Februari 2011 memberikan perumpamaan menarik atas situasi Timur Tengah. Satu per satu patriark—yang terlalu lama berkuasa—berjatuhan seperti daun di musim gugur. Para patriark itu berwujud sebagai presiden seumur hidup, pemimpin suku yang menindas suku yang lain, ataupun pemuka agama.
Para patriark itu memastikan kekuasaan mereka stabil dengan berusaha menguasai parlemen, partai politik, bahkan organisasi kemasyarakatan. Pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, mengatakan, karena yakin telah menguasai semua sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, rezim otoritarianisme hidup dalam imajinasi yang mereka bangun.
Sementara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, berpendapat, semua pemerintahan yang sudah lama berkuasa biasanya mengalami kelelahan. Kelelahan ini membuat pemerintahan kehilangan fokus dan tidak peka lagi terhadap realitas yang terjadi di masyarakat.
”Masyarakat menginginkan ada kebebasan dari tindakan kesewenang-wenangan rezim yang represif. Masyarakat ingin bebas bersuara, bebas berusaha, bisa mendapat penghidupan yang lebih baik. Dalam kasus Mesir, ketidakmerataan kesejahteraan menjadi salah satu sumber kegelisahan warga. GDP per kapita memang mencapai 6.000 dollar AS, tetapi sekitar 40 persen rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Ikrar.
Ilusi
Dalam konteks Indonesia, keberjarakan antara ilusi yang dianggap realitas oleh penguasa dan realitas yang terjadi di masyarakat bermuara pada satu ungkapan kegemasan: pemerintah bohong.
Ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbentuk, ia menjual janji mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, mewujudkan pemerintahan yang baik, menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan pembangunan yang inklusif.
Pemerintah mengklaim bahwa program pengentasan sudah berjalan, ditandai dengan alokasi anggaran untuk orang miskin yang meningkat dari Rp 23 triliun (tahun 2005) menjadi Rp 92 triliun (tahun 2010). Kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin semakin lebar, ditunjukkan dengan koefisien gini yang meningkat dari 0,288 (tahun 2002) menjadi 0,345 (tahun 2006).
Sebagai acuan berefleksi, baik kita melihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia. Dalam rilisnya awal Januari lalu, disebutkan pada Juli 2009 tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mencapai 85 persen. Tingkat kepuasan itu anjlok hingga 62 persen pada Oktober 2010.
Menurut kesimpulan LSI, publik menilai kondisi politik, penegakan hukum, dan ekonomi sepanjang tahun 2010 memburuk. LSI mencatat, evaluasi negatif publik atas ketiga kondisi kemasyarakatan itu mengakibatkan menurunnya tingkat kepuasan mereka atas kinerja Susilo Bambang Yudhoyono.
Terasing
Meski di atas kertas program pemerintahan Presiden Yudhoyono dinilai paling baik—seperti memberikan perhatian serius pada hak-hak ekonomi, sosial, budaya, serta sipil dan politik—ini semua hanya berhenti pada wacana, minim implementasi. Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, berpendapat, Presiden seperti terasing dari pikiran publik. ”Ia seperti terisolasi,” katanya.
Hal itu tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan politik imagologi Susilo Bambang Yudhoyono. Inilah salah satu dari dua dimensi keterasingan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. ”Dia selalu membawakan diri sebagai subyek tatapan publik, bukan yang mengurusi publik,” lanjutnya.
Dimensi kedua adalah persoalan struktural terkait dengan desain ketatanegaraan dan sistem politik yang, menurut Robet, menghasilkan kombinasi yang tidak mungkin, yaitu presidensialisme dan multipartaisme. Dampaknya, meskipun Susilo Bambang Yudhoyono menang mutlak dalam pemilu–dengan suara 64 persen–untuk menjalankan kekuasaan dengan stabil ia selalu berupaya mendapat jaminan dari parlemen.
Selayaknya, sebagai pemimpin yang dipilih oleh mayoritas rakyat, ia seharusnya tidak bersikap seperti itu, apalagi jika ia cenderung meninggalkan rakyat dan lebih memerhatikan aspirasi partai politik. ”Keterasingan paling awal adalah saat membentuk kabinet,” kata Robet memberikan contoh.
Menghantam keadaban
Persoalannya, keterasingan itu ternyata memiliki dampak yang sama dengan rezim otoriter, terutama terhadap nilai keadaban publik, seperti kesetaraan, keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam rezim otoriter, ketika semua hal hendak diatur oleh negara, ada kecenderungan intervensi negara menjadi demikian masif hingga memasuki ranah privat. Bahkan, hukum pun dibentuk untuk melayani kepentingan itu sehingga keadaban publik kian terancam.
Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama yang terjadi akhir-akhir ini dan lemahnya sikap pemerintah dalam menanggapi persoalan itu menjadi contoh jelas atas kecenderungan yang sama. Itu adalah ironi terbesar dalam sejarah demokrasi kontemporer di Indonesia, di mana negara justru cenderung tidak berbuat apa pun, terutama untuk menjamin dan melindungi hak masing-masing warga negaranya. Padahal, dalam demokrasi, hal substantif yang harus sengaja dikembangkan adalah kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Saat ini, perlahan tetapi pasti, Indonesia dihadapkan pada ancaman terhadap lestarinya keadaban publik dan komitmen pada kebangsaan serta hidup bersama yang terus dihantam oleh kekerasan dan intoleransi. Jaminan negara atas pelaksanaan hak-hak warga negara pun kian minim.
Hal itu tidak hanya menyuburkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, tetapi juga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya benih pesimisme terhadap demokrasi. Kondisi itu tentu sangat berbahaya karena musuh- musuh demokrasi akan menelikung dan mengambil alih.
Ujungnya, demokrasi di Indonesia bisa mati muda seperti terjadi terhadap negara-negara Balkan atau tergoda untuk kembali kepada rezim totaliter. Dulu, tutur Robertus Robet, banyak orang berharap dan meletakkan kepercayaan kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi, sayang ia tidak banyak berbuat....
(DOT/JOS)
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Februari 2011
No comments:
Post a Comment