Sunday, February 27, 2011

Film Nasional: Berdaulat di Negeri Sendiri

-- St Sularto

JUDUL di atas memang pengandaian plus harapan, bukan pernyataan tapi pertanyaan. Realisasi dan jawabannya butuh sejumlah syarat. Tetapi, setidaknya membuka pintu masuk dan menabuh genderang. Pemerintah sedang membahas kebijakan pengurangan besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produksi film nasional yang sekarang 10 persen menjadi satu atau dua persen, bahkan kalau bisa nol persen seperti harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Keinginan itu sebaiknya ditangkap sebagai good will pemerintah. Keluhan bahwa salah satu kendala sedikitnya produksi film nasional menyangkut banyaknya jenis dan besaran pajak akan teratasi. Arah yang diharapkan kemudian, jumlah produksi film nasional meningkat pesat. Keinginan pemerintah mengatur kembali mekanisme pemutaran film impor lewat perpajakan taruhlah sebagai bukti good will pemerintah menjadikan film nasional berdaulat di negeri sendiri.

Ancaman asosiasi produsen film Hollywood, Motion Picture Association (MPA), menghentikan distribusi film AS ke Indonesia pun anggap saja gertak sambal. Keberatan mereka terhadap tambahan pajak bea masuk atas hak distribusi yang berlaku sejak Januari 2011, besarnya 5-15 persen yang tarifnya didasarkan ukuran, jenis, dan bahan film impor, dibalikkan jadi bumerang. Harapan dan genderang rasa nasionalisme pun disiapkan, kalau-kalau Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia, perwakilan produser film Mandarin dan India, ikut mengancam menghentikan peredaran film mereka di Indonesia.

Menurut data Lembaga Sensor Film, selama tahun 2010 jumlah film yang beredar di Indonesia mencapai 250 judul, 167 di antaranya film impor, sisanya 83 judul film nasional. Dari 167 judul itu, lebih dari 60 persennya film Hollywood. Kalau pengenaan pajak hak distribusi dilanjutkan, apalagi kemudian pemerintah mengenolkan pajak produksi film nasional—lagi-lagi harapan, pengandaian dan pertanyaan—jumlah produksi film nasional meningkat. Alih-alih tidak sampai mengganti 167 judul film nasional yang ditinggalkan film impor, terbuka lebar kesempatan film nasional ditayangkan di 157 gedung bioskop di Indonesia yang tersebar di 47 kota, sebagian besar di Jakarta.

Produk budaya

Produk film adalah produk budaya, yang tidak sekadar masalah ekonomi tetapi juga persoalan-persoalan lain, tidak saja soal peringanan bahkan penghapusan segala pajak tetapi juga soal kreativitas para sineas dan kesempatan luas bagi suasana lapang berkreasi, bahkan maraknya pembajakan hak cipta yang tidak kalah berperan mempersempit ruang gerak berkreasi. Artinya good will menyangkut pajak perlu diikuti dengan persyaratan-persyaratan lain, pekerjaan rumah get things done, yang terus terang saja dalam kondisi saat ini serba reformatoris-amburadul-serba akan, merupakan persoalan rumit tersendiri.

Harapan pemerintah, industri film nasional yang di tahun 2010 mencapai 77 judul akan melejit jadi 100 judul, menuntut syarat di antaranya kebijakan dan tindakan pemerintah menempatkan produk film sebagai produk budaya. Kalau kebiasaan pemerintahan serba janji dan instruksi dan bukan aksi pun dipraktikkan dalam masalah perfilman, bumerang akan menerjang. Film nasional tidak berdaulat di negeri sendiri, tetapi dicekokkan pada penikmat film sebagai tontonan yang kehadirannya dipaksakan.

Kebijakan mengevaluasi perpajakan film impor pun—kenyataannya saat ini memang murah meriah dibandingkan dengan di negara-negara lain—justru menunjukkan kenaifan dan hidup di bawah tempurung nasionalisme dengan akibat ketertinggalan bangsa ini dari hiruk-pikuknya perkembangan pesat dunia yang mengglobal. Nasib buruk tidak akan mengimbas kelompok menengah ke atas yang dengan mudah menemukan celah jalan keluar. Sebaliknya, menengah ke bawah akan mencarinya lewat film-film bajakan atau terpaksa menelan sinetron-sinetron murahan yang ditayangkan semua stasiun televisi nasional.

Kebijakan masalah film impor perlu diputuskan secara cerdas, mencerap berbagai kepentingan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan dan jauh dari sekadar janji, instruksi minus aksi, atau bungkus fanatisme sempit. Tidak semua film impor pantas jadi rujukan. Banyak film nasional karya sutradara dan sineas Indonesia pantas dipuji, termasuk dengan latar belakang mencantelkan budaya samurai dan asketisme para bapak bangsa dan karakter budaya Indonesia, karya culture art anak bangsa yang pantas diapresiasi.

Dengan kebijakan cerdas, dengan paradigma film sebagai produk budaya dan sarana pendidikan, good will pemerintah tidak sekadar menyang- kut pemajakan, tetapi juga ruang gerak dan suasana longgar untuk berkreasi. Film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri tidak perlu dipaksakan melainkan berjalan secara alamiah.

Harapan masyarakat perfilman dan masyarakat Indonesia jangan dipatahkan dengan janji, harapan, dan kebijakan nina bobo—praksis pemerintahan yang terlihat di hampir semua persoalan di dalam negeri ini. Masyarakat emoh janji-janji, termasuk soal perfilman nasional. Bila tidak, ya... o tempora o mores, film nasional berdaulat di negeri sendiri hanya pepesan kosong!

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

No comments: