-- Umar Natuna
PERS atau media massa, sebagaimana dikatakan oleh sosiolog dan pakar komunikasi Marshall McLuhan, adalah ekstensi manusia (the extension of man).
Menurut McLuhan, kodrat pembawaan dan kebutuhan esensial manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, serta menyerap apa yang dilihat dan didengarnya.
Sebagai hasil karya budaya masyarakat manusia, pers atau media massa memberikan tempat bagi individu dan masyarakat—dengan pelbagai latar belakang, asal-usul sosial, dan peradaban yang dimiliki—ekspresi, gagasan, pemikiran, dan aksinya.
Revolusi informasi telah menyebabkan meningkatnya jumlah ataupun kualitas media massa atau pers di tengah-tengah kita. Setiap saat, di mana pun kita berada, kita dikepung dan dijejali pelbagai informasi dengan segala kekurangan dan kelebihannya serta kebaikan dan keburukannya. Ironisnya, peta bumi kekuatan informasi dunia itu sangatlah timpang.
Negara-negara maju (Barat) memegang hegemoni dalam arus informasi dunia sehingga menciptakan pola hubungan ”pusat-pinggiran” (center-periphery) yang bersifat deterministik. Diperkuat oleh proses arus informasi, tercipta struktur dominasi negara maju sebagai ”pusat”, di mana produk-produk dan ke- inginan sosial, ekonomi, ataupun politik menjadi konsumsi negara berkembang sebagai ”pinggiran”.
Keadaan seperti ini telah menyebabkan negara-negara pusat, kata Johan Galtung, ”merupakan jendela dunia” (window of the world) bagi negara-negara pinggiran.
Oliver Boyd-Barret, mahaguru ilmu komunikasi pada Open University AS, dalam penelitiannya terhadap pemanfaatan jasa infomasi dari AS dan negara-negara Barat lain oleh negara-negara Asia, menemukan fakta, arus informasi dari negara-negara maju itu mendominasi isi media cetak dan elektronik tanpa ada kemampuan dari negara-negara Asia untuk mengimbanginya baik dalam hal materi informasi yang dihasilkan maupun kecanggihan teknologinya.
Keadaan ini telah memunculkan apa yang disebut Barret sebagai ”imperialisme media”. Preferensi penyebaran informasi dan pemberitaan itu biasanya erat kaitannya dengan persoalan ”ideologis”. Barat menganut ideologi free flow of ideas by words and image. Ideologi ini kemudian diterjemahkan: bebas memberitakan apa saja yang menarik diketahui umum tanpa mempersoalkan konsepsi tradisional, budaya, ataupun agama dari obyek yang dijadikan bahan berita.
Bahkan pemberitaan yang berhubungan dengan Islam dan masyarakat Islam sering kali disertai dengan imaji-imaji distortif. Itulah sebabnya, Edward Said dalam Covering Islam secara tajam mengkritik cara-cara kantor berita Barat menyajikan Islam sebagai berita, yang dinilainya superfisial.
Hal itu bisa terjadi karena ketidaktahuan atau kesengajaan. Di tengah era informasi dan globalisasi sekarang ini, berita atau analisis yang menyangkut masalah agama tampaknya tidak saja menarik, tetapi juga layak ”dijual”. Berita, pemikiran, ataupun analisis keagamaan sering kali menjadi santapan pembaca surat kabar dan majalah atau penonton televisi.
Meskipun tidak semua, beberapa media massa dan pers nasional memberi tempat bagi rubrik agama, baik secara tetap, temporer, maupun kasuistik. Ini menunjukkan, produk berita yang bersifat sekuler tidak cukup memenuhi kebutuhan untuk memperoleh dan mengakses informasi. Apalagi bagi masyarakat religius seperti Indonesia, berita, pemikiran, atau analisis keagamaan menjadi penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual pembaca di tengah-tengah kehampaan spiritualitas.
Jurnalisme profetik
Karena itu, ke depan diperlukan pemberitaan atau media pers yang mampu menyuarakan masalah besar di kalangan orang kecil, bukan seperti yang diberitakan pers selama ini, cenderung memberitakan masalah besar di kalangan orang besar. Masalah besar di kalangan orang kecil, seperti kejujuran, ketidak- adilan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan, merupakan materi yang semestinya mendapat tempat dalam pemberitaan pers nasional ke depan.
Sebab, itulah esensi pers, yakni memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat yang terlupakan, tetapi merupakan bagian dari semua persoalan yang dihadapi suatu masyarakat atau bangsa.
Pemihakan terhadap persoalan besar di kalangan orang kecil merupakan bagian dari misi jurnalisme profetik. Jurnalisme profetik (prophetic journalism) adalah satu bentuk jurnalisme yang tidak semata menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab. Tetapi, ia juga memberikan petunjuk ke arah transformasi atau perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik moral dan idealisme berbasis etik.
Hal ini berarti suatu jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-cita etik dan sosial yang didasarkan pada emansipasi, liberasi, dan transendensi. Melalui jurnalisme profetik, kita berharap peradaban umat akan lebih tercerahkan.
Itulah panggilan jurnalistik yang harus jadi pilihan untuk dikembangkan dalam pemberitaan media massa kita ke depan, yakni pola jurnalistik yang mampu menempatkan kekuatan etik dan moral sebagai landasan dalam menentukan tulisan atau analisis perlu diturunkan atau tidak. Bukan lagi didasari atas pertimbangan komersial atau membela pihak-pihak tertentu sebagai pemilik modal.
Maka, dengan berbagai persoalan kemanusiaan yang di- alami, masyarakat kecil mendapat porsi yang memadai dalam pemberitaan, berbagai ketidak- adilan dapat diberantas. Sebab, pers kita mampu menempatkan diri sebagai kekuatan etik dan sekaligus menjadi garda terdepan dalam membela keadilan.
Mengembangkan atau menjatuhkan pilihan pada jurnalisme profetik merupakan panggilan sejarah masa depan bagi pers kita. Tanpa itu, kehadiran pers kita yang demikian beragam, baik kuantitas maupun kualitas, tidak akan bermakna banyak bagi upaya membangun tata komunikasi yang tercerahkan, yang mampu memberikan pencerahan akal budi dan spiritualitas manusia.
Kehampaan komunikasi yang terjadi selama ini antara pemerintah dan rakyat, sebagaimana dikemukakan kaum lintas agama beberapa waktu lalu, menunjukkan adanya pola dan kebijakan pemberitaan pers kita yang kurang mampu menyelami kedalaman hati masyarakat. Sementara tata informasi yang disajikan pemerintah tetap saja bersifat monolog, yang akhirnya menimbulkan miskomunikasi dengan masyarakat itu sendiri.
Untuk itu, adalah tepat jika dalam peringatan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2011 ini dicanangkan standardisasi profesi wartawan. Jika semua wartawan kita sudah memenuhi standardisasi dan sertifikasi profesi, upaya memenuhi panggilan jurnalisme profetik akan sangat terbuka. Sebab, mereka memiliki ikatan etik dan moral yang kuat untuk menjalankan profesinya ketimbang tarikan komersial dan politik yang selama ini cenderung menguat dalam kebijakan pemberitaan pers kita. Bukankah Tuhan telah berfirman: Nun, wal qalami wamayasthurun (Nun, demi pena dan apa yang mereka goreskan, QS Al-Qalam:1). Dengan kata lain, pena menentukan arah peradaban dunia.
Umar Natuna, Ketua STAI Natuna; Mantan Aktivis Pers Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Sumber: Kompas,Rabu, 9 Februari 2011
No comments:
Post a Comment