-- Khaerudin
Saat produk budaya dan seni Indonesia, seperti batik dan wayang kulit, dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, sebenarnya saat itu juga keduanya tak bisa diklaim sepenuhnya menjadi milik bangsa Indonesia. Batik dan wayang sudah menjadi milik dunia. Sayangnya, setelah pengukuhan tersebut, tetap tak banyak pengaruhnya bagi pemilik kebudayaan itu sendiri.
Endo Suanda (KOMPAS/KHAERUDIN)
Coba saja, dalam tujuh tahun sejak wayang kulit dikukuhkan sebagai warisan dunia itu, apa ada pengaruhnya? Apa dengan pengukuhan tersebut anak-anak Indonesia bisa lebih mudah belajar tentang wayang?” gugat etnomusikolog dan seniman tari, Endo Suanda.
Endo resah, pemerintah mendaftarkan produk seni dan budaya Indonesia sebagai warisan dunia, tetapi di sisi lain pemerintah tak memberikan akses yang bagus bagi warga mendapatkan pengetahuan soal produk budaya dan seni itu.
”Banyak orang bicara bagaimana membangun karakter bangsa yang berpijak pada khazanah budaya dan seni lokal. Kita bicara pengembangan kecerdasan yang berbasis kearifan lokal. Namun, pengetahuan riil soal kehidupan kebudayaan kita tak terdata dengan baik. Padahal, data yang membentuk ilmu pengetahuan,” katanya.
Akses publik terhadap pengetahuan budaya dan seni Nusantara itu yang digugat Endo sejak tahun 2007 saat dia melakukan pendokumentasian secara digital produk seni dan budaya seluruh Nusantara. Ia mendirikan lembaga Tikar Media Budaya Nusantara, yang bakal menjadi cikal bakal ensiklopedia produk seni dan budaya Indonesia.
Silakan masuk ke laman lembaga itu di www.tikar.or.id. Begitu masuk beranda laman ini, pengunjung disuguhi video Gulintang Toli-toli, ensambel gulintang yang dimainkan ibu-ibu. Hal yang menarik dari video itu, gong kecil yang dipakai adalah bekas tangki minyak lampu petromaks. Pemainnya seorang ibu yang juga membuat dan melaras gong kecil tersebut.
Lihat juga koleksi foto rebab di laman itu. Anda mungkin tak menduga alat musik gesek itu bisa ditemukan di suku Karo di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara (Sumut), selain juga dikenal sebagai alat musik suku bangsa lain di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, dan Dayak.
Pada halaman lainnya, ada beragam jenis tangan dalam karakter wayang. Foto beragam jenis tangan karakter wayang itu terdokumentasikan dengan baik sehingga orang dengan mudah membedakan dari daerah mana wayang itu berasal. Ternyata satu karakter wayang bisa memiliki puluhan, bahkan ratusan jenis tangan.
”Sejak ditetapkan sebagai warisan dunia, apakah pengetahuan anak-anak Indonesia soal wayang bertambah? Saya rasa tidak karena tak ada akses bagi mereka untuk mempelajarinya,” ujarnya.
Koleksi foto di laman itu sangat beragam. Anda bisa menemukan foto sebuah grup ronggeng di Aceh. Ronggeng yang dikenal sebagai kesenian rakyat dari Banyumas, Jawa Tengah, seperti dalam trilogi novel karya Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, juga ditemukan di Aceh.
”Kalau sekadar foto tanpa dikasih keterangan, tak bisa dianggap data. Gambar grup ronggeng di Aceh contohnya. Tanpa keterangan foto tersebut diambil di Aceh, kita mungkin tak tahu jika pernah ada grup ronggeng di sana,” katanya.
Endo percaya, dari datalah, produk budaya dan seni budaya Nusantara bisa menjadi pengetahuan. Produk budaya dan seni yang terdata dengan baik tak akan mati karena semua orang bisa mengaksesnya sebagai bahan belajar.
”Bagaimana kita bisa bicara pengembangan kecerdasan kalau untuk belajar seni dan budaya saja sudah salah dari awal,” ujarnya.
Ada sekitar 5.000 koleksi foto, 3.000 foto di antaranya sudah diberi keterangan memadai. Menurut Endo, data produk budaya dan seni Nusantara yang dikoleksinya mencapai tiga terabita.
Menurut Endo, pemerintah bukan tak sadar pentingnya pendokumentasian produk budaya dan seni Nusantara. Sejak tahun 1993, pemerintah membuat proyek Peta Budaya Indonesia.
”Kesadaran itu sudah sejak lama muncul. Tetapi, sampai sekarang barangnya belum terwujud karena pemerintah tak pernah didukung ahli di bidang itu (pendokumentasian dan pengarsipan data budaya dan seni),” katanya.
Ensiklopedia budaya
Endo dengan Tikar Media Budaya Nusantara sejak tahun 2007 mendokumentasikan dan mengarsipkan secara digital 13 kategori produk budaya dan seni Nusantara, seperti tarian, musik, teater, seni rupa, topeng, wayang, arsitektur, permukiman, tekstil, kuliner, permainan, dan keterampilan.
”Setiap kategori diberi deskripsi yang cukup sehingga yang dilakukan mirip upaya membuat sistem ensiklopedia seni dan budaya Nusantara,” katanya.
Kemudahan digitalisasi data menjadi pilihan Endo. Dengan mendigitalisasi semua data, setiap orang yang mengakses akan mudah mendapatkan pengetahuan yang dia mau. Identitas utama pada data produk budaya dan seni yang dikoleksi Endo adalah daerah atau geopolitik.
”Dari 13 kategori itu, saya bikin sub-sub kategori dan sistem kata kunci untuk memudahkan pencarian. Tentu saja identitas utama tetap daerah asal,” katanya.
Identitas daerah asal hanya untuk mempermudah siapa pun mengetahui data yang terkoleksi. Seperti rebab yang tak hanya dimonopoli satu daerah. Rebab juga ditemukan di daerah yang selama ini mungkin dikenal umum tak memiliki alat musik gesek itu.
Dalam mengoleksi dan mengarsip semua data produk budaya dan seni Nusantara, Endo dibantu para relawan mantan mahasiswanya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain itu, pada tahun 2004 Endo juga mendirikan Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN).
”Kegiatan kami di LPSN antara lain membuat bahan ajar berupa buku dan audiovisual. Kami tawarkan kepada semua sekolah yang ada di Indonesia. Datanya antara lain dari pendokumentasian dan pengarsipan yang kami lakukan,” katanya.
Kegiatan ini awalnya merupakan keprihatinan Endo melihat pendidikan seni yang tak memberikan pencerahan kepada anak didik. ”Dari awal kita sudah diberi pelajaran, lukisan ini yang bagus, lukisan itu yang tidak bagus. Tari ini yang bagus, tari itu tidak bagus. Murid tak diajak mendalami esensi seni itu sendiri sehingga pada banyak hal pengajaran seni justru memarjinalkan seni itu sendiri. Ini terutama seni kerakyatan yang tak punya banyak pengikut,” katanya.
Apa yang dikerjakan Endo dengan Tikar Media Budaya Nusantara dan LPSN sedikit banyak mengubah pengajaran seni dan budaya di sekolah. Sudah ribuan sekolah di 12 provinsi yang menerima bahan ajar dari LPSN. ”Kami terbuka terhadap siapa pun yang mau berbagi pengetahuan,” katanya.
***
Endo Suanda
• Lahir : Majalengka, Jawa Barat, 14 Juli 1947
• Pendidikan:
- Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung
- ASTI Yogyakarta
- MA dari Wesleyan University, Middletown, Connecticut AS
- Phd Etnomusikologi Washington University AS, 1991
• Pengalaman:
- Konsultan Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara
- Asisten untuk musik gamelan di Washington University, AS
- Pengajar musik dan gamelan di Cornell University, Ithaca, New York, AS
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Februari 2011
No comments:
Post a Comment