-- Agus Sri Danardana
HARUS diakui bahwa terpaan arus globalisasi dan berhembusnya gerakan reformasi telah menciptakan keparadoksan pada dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia adalah sebuah kenyataan. Globalisasi yang menawarkan isu perdagangan bebas dan reformasi yang menawarkan isu desentralisasi itu ternyata tidak hanya telah membuat masyarakat menjadi semakin seragam (homogen) melalui sistem standardisasi dalam teknologi informasi dan hal-hal komersial lain yang ditimbulkannya, tetapi juga telah membentuk cara pandang masyarakat terhadap dunia (terhadap identitas, citra diri, hingga nilai-nilai hidup) berubah.
Sekarang ini ukuran ideal menurut nilai-nilai lokal atas segala hal di hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara telah terpinggirkan oleh pencitraan yang dilakukan secara masif oleh negara-negara maju, pengusung arus globalisasi itu. Penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat (Hollywood, London, atau Paris) dengan segala atributnya yang prestisius telah menciptakan gap-gap terhadap lokalitas di negara-negara yang mengonsumsinya, termasuk Indonesia. Sebagai akibatnya, meskipun mungkin tidak menyadari, masyarakat telah digiring pada ukuran ideal yang dicitrakannya: citra Indo-Eropa atau Amerika. Tanpa disadari pula, diam-diam politik budaya masyarakat pun bergeser mengarah ke kapitalisme dan feodalisme global, menjauhi gerakan demokratisasi yang semula diperjuangkannya.
Kesuksesan arus globalisasi yang diembuskan oleh negara-negara maju itu terjadi, salah satunya (dan harus diakui), karena kelengahan kita. Sebagai bangsa, praktis kita bukan bangsa pencipta (produsen), melainkan bangsa pengguna (konsumen). Kita sudah tersihir untuk selalu mengagumi segala hal yang berbau asing sehingga, jika sempat mencipta sesuatu, tidak pernah membanggakannya. Oleh karena itu, ketika konsep globalisasi itu digulirkan, karena tidak melek media dan juga tidak memiliki tradisi berpikir dialektis, kita pun mau menerima begitu saja, bahkan rela tergerus dan larut dalam segala aktivitasnya. Dengan dalih globalisasi, orang beramai-ramai meninggalkan budaya lokal. Tradisi-tradisi lokal telah disingkirkan dan bahkan berusaha ditinggalkan karena dianggap sebagai penghambat kemajuan. Tradisi-tradisi lokal sering di nilai primitif, ketinggalan zaman, dan kolot.
Dengan paradigma yang menitikberatkan pada rasionalisme dan universalisme, globalisasi telah menggusur kebudayaan lokal dan menggantinya dengan bentuk-bentuk peradaban modern. Rasionalisme dan universalisme itu pada akhirnya mereduksi dan menafikan fakta-fakta partikular sehingga kebudayaan tidak lagi bersifat plural dan multikultural, tetapi singular dan monokultural. Semua nilai, pola pikir, dan gaya hidup distandarkan. Seluruh lapisan masyarakat, dengan fakta konkretnya yang berbeda itu pun, oleh nalar kapitalisme global, telah diseragamkan, dihomogenisasi, dan disingularisasikan ke dalam satu bentuk nilai dan budaya. Pola semacam ini akhirnya menggilas dan menenggelamkan budaya-budaya lokal yang justru merupakan basis eksistensi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat dipaksa keluar dari tatanan budayanya yang lokal dan khas tersebut, konsekuensinya adalah terjadinya keterasingan.
Globalisasi, yang telah berhasil menghegemoni hampir semua segi kehidupan manusia, pada kenyataannya justru membuka kesadaran baru para sastrawan untuk bertunak pada persoalan lokalitas. Kesadaran itu diwujudkan dengan cara merevitalisasi budaya-budaya lokal yang sebelumnya telah terkubur dan bahkan hilang musnah ditelan oleh monster globalisasi. Mereka tidak sekadar mereproduksi bentuk-bentuk budaya secara apa adanya, tetapi mereproduksi dengan memberi makna dan ruh baru sehingga bisa tampil lebih segar dan up to date untuk kondisi sekarang. Meskipun demikian, kebangkitan kesadaran baru akan lokalitas itu, disadari atau tidak, telah pula menimbulkan kegamangan sebagian sastrawan. Rida K Liamsi dan Fedli Azis, misalnya, mengungkapkan hal itu melalui (salah satu) karyanya: Rida melalui sajak “Jebat”, sedangkan Fedli melalui cerpen “Nol Besar”.
Tafsir Jebat
Dalam Hikayat Hang Tuah, dikisahkan bahwa Hang Jebat mati di tangan Hang Tuah (sahabat karibnya sendiri) dalam sebuah pertempuran sengit. Konon, pertempuran antarsohib itu terjadi sebagai akibat adanya intrik di istana Melaka. Hang Tuah, karena difitnah oleh Karma Wijaya dkk. (dituduh telah berzina dengan inang istana), dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Melaka. Namun, oleh Datuk Bendahara (orang yang dipercaya raja untuk mengeksekusi), Hang Tuah justru diberi perlindungan. Secara diam-diam, Hang Tuah disembunyikan di suatu tempat.
Mendengar kabar bahwa Hang Tuah telah dihukum mati, Hang Jebat murka. Ia (karena tidak mengetahui bahwa Hang Tuah masih hidup di suatu tempat) memberontak, mengacau kerajaan. Ia dendam dan menuntut balas atas kematian sohibnya itu.
Untuk mengatasi keadaan yang semakin kacau itu, Datuk Bendahara memanggil kembali Hang Tuah. Oleh Sultan Melaka, setelah diampuni dan dibebaskan tanpa syarat, Hang Tuah diminta menumpas pemberontakan Hang Jebat.
Di kalangan masyarakat (Melayu), etos kepahlawanan dua tokoh (Hang Tuah dan Hang Jebat) itu mendapat tanggapan beragam. Sebagian menganggap bahwa Hang Tuahlah yang pantas disebut pahlawan karena berhasil mengembalikan ketenteraman kerajaan. Sebagian lainnya menganggap bahwa Hang Jebatlah yang pantas disebut pahlawan karena gigih membela kebenaran. Kedua tokoh itu, bahkan, telah pula dianggap sebagai cerminan dari sengkarut pertikaian politik dalam istana: Hang Tuah sebagai cerminan pembela marwah penguasa (Sultan Melaka), sedangkan Hang Jebat sebagai cerminan pembela kebenaran dan keadilan yang mewakili perasaan rakyat, sesuai dengan pepatah Melayu: raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.
Begitulah, seiring dengan berjalannya waktu, tafsir atas kedua tokoh itu pun terus berkembang. Tafsir penentuan siapa pahlawan dan siapa pecundang, misalnya, masih menjadi perdebatan menarik hingga saat ini.
Tafsir lain yang perlu mendapat apresiasi terdapat dalam sajak Rida K Liamsi, “Jebat” (Tempuling, 2002:93-94). Melalui sajaknya itu, Rida mencoba memberi makna baru (merevitalisasi) atas “tregedi” Jebat. Sebagai orang Melayu (yang paham betul tentang Jebat), ia tidak lagi terjebak pada perdebatan apakah Jebat itu pahlawan atau pecundang. Ia justru memanfaatkan peristiwa tragis yang dialami Jebat itu sebagai wahana penyampai ide/gagasan. Bahkan, atas perbuatan Jebat (yang dilukiskan pada tiga baris bait pertama: Telah kau hunus keris/telah kau tusuk dendam/telah kau bunuh dengki), pun ia tetap tidak mau berpretensi. Baginya, persoalan dalam peristiwa itu tidak lagi terletak pada benar/pahlawan atau salah/pecundangnya, tetapi terletak pada hakikatnya. Entah benar, entah salah, yang pasti Jebat kalah. Nah, atas kekalahan Jebat itulah ia bertanya: tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu.
Bukankah yang mengalahkan Jebat adalah Tuah? Betul, sebagaimana disebut dalam hikayat, Hang Tuah mengalahkan Hang Jebat. Lalu, mengapa Rida masih bertanya tentang itu? Di sinilah letak salah satu kekuatan sajaknya itu: keambiguannya terjaga. Tafsir lain tentang pengalah (yang mengalahkan) Jebat, dengan demikian, dapat diberikan.
Bagi Rida dan masyarakat (Melayu), pemberontakan yang dilakukan Jebat merupakan perbuatan yang sia-sia, tidak mendatangkan manfaat, kecuali //Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu/celup cuka cemburu mu/kubur rasa cinta mu/di bayang-bayang hari mu//Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu/angin menerbangkan setanggi mimpimu/ombak menelan jejak nisan mu/di balik cadar mimpi-mimpi mu. Bahkan, setelah //Kami semua telah mengasah keris/telah menusuk dendam/membunuh dengki/meruntuhkan tirani// sekalipun. Oleh karena itu, dalam ketidaktahuannya, masyarakat pun bertanya //Tapi siapa yang telah mengalahkan kami/menumbuhkan khianat/melumatkan sesahabat/mempusarakan sesaudara. Akhirnya, setelah membuat pernyataan bahwa //Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya/sejarah yang berhenti ditulis, Rida pun berkesimpulan bahwa kita hanya membangun sebuah arca. Ya, sebuah arca: benda yang selalu dirawat, dijaga, dan bahkan disembah, tetapi tidak dapat menyelamatkan kehidupan manusia. Hal itulah yang dikhawatirkan Rida.
Lain Rida, lain pula Fedli Azis. Melalui cerpennya, “Nol Besar” (Riau Pos, 12 November 2010), ia pun berbeda tafsir tentang Jebat. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama Jebat, cerpennya itu berkisah tentang Jebat. Ia (Jebat) bahkan dihadirkan langsung (sebagai tokoh aku) dan mengisahkan kediriannya sendiri.
Dalam alam pikiran orang Melayu namaku cukup dikenal dan barangkali melegenda hingga hari ini. Mereka mengenalku sebagai pemberontak. Simbol perlawanan dan pembangkangan terhadap kebatilan. Sebagian menganggapku sebagai pecundang dan tak sedikit pula yang menempatkan derajatku sebagai pahlawan. Tapi terus terang, tak secebis pun aku memikirkan hal itu karena bagiku ketidakadilan harus dienyahkan dari muka bumi ini.
Begitulah “aku” menperkenalkan diri, mengawali kisahnya. Identitas aku, sebagai Jebat, baru tampak jelas setelah menyebut beberapa peristiwa dan nama, seperti tampak pada dua kutipan berikut.
Sekarang, aku harus membentangkan kembali kitab sejarah, hikayat, mitos, legenda, atau apapun namanya bagi kalian. Ini semua karena sebuah alasan yang masuk akal dan memang perlu. Sebagai pengingat atau peringatan yang harus kalian camkan bersama sehingga puak kita tak lagi dipandang sebelah mata oleh puak mana pun. Marwah atau harga diri wajib dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Jangan jadi pengecut dan mau diperalat oleh harta benda dan tawaran kekuasaan semu. Percaya atau tidak aku telah melakukannya. Sebagai imbalannya aku harus mati di tangan saudaraku sendiri. Kalian pasti tahu dan masih mengingat saudaraku itu. Ia adalah Hang Tuah.
Aku tidak sakit hati pada Datuk Bendahara, saudaraku Lekir, Lekiu dan Kesturi, apalagi Tuah. Bahkan aku bisa memaafkan Patih Karma Wijaya dan kroninya yang memfitnah Tuah telah bermukah dengan Tun Teja di dalam istana. Aku tak marah pada Sultan yang menjatuhkan Tuah hukuman mati tanpa usul periksa. Tidak, aku tidak sakit hati atas semua peristiwa itu. Aku teramat menyadari bahwa aku harus berkorban untuk tegaknya keadilan di bumi Melayu yang terkasih ini.
Ketiga kutipan di atas, tampak jelas memperlihatkan sikap keberpihakan Fedli Azis pada Jebat. Ia (melalui tokoh “aku”) bahkan sangat prihatin atas kondisi kehidupan masyarakat (Melayu) sekarang ini karena tidak ada lagi orang yang mau berkorban dengan keteguhan hati seperti Jebat. “Aku akan menjawabnya sendiri. Nol besar,” demikian katanya saat bersolilokui dalam menjawab pertanyaan siapakah anak-cucuku yang mau melakukan hal serupa (diriku)? Menurutnya, yang menjamur sekarang ini adalah kepura-puraan, saling sikut, dan ingin menang sendiri. Hal itu tampak pada kutipan berikut ini.
Lebih memilukan, tak seorang pun di antara kalian yang dapat dijadikan panutan. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Terpecah-belah oleh keegoan tak bermata. Saling sikut, saling gigit, bahkan saling jilat satu sama lain hanya untuk meraih kemenangan tak berdasar baik. Kalian senang memelihara kelicikan hati, kepicikan diri, kemunafikan yang diwariskan Iblis si penguasa neraka. Tak satu pun dari kalian yang mau mengalah untuk menggapai kemenangan hakiki.
Terlepas dari semua itu, ternyata celoteh kisah panjang tentang dan oleh “aku” (mendominasi hingga ¾ cerita itu) hanyalah igauan Kabut, salah satu tokoh cerita (sebagai pemain teater) yang digambarkan sedang pingsan pada saat melakukan persiapan pentas. Igauan Kabut (tentang banyak hal) itu, bagi Hamzah (sutradara), justru mendatangkan ilham untuk penulisan naskah lakonnya pada pementasan berikutnya. Mudah-mudahan hal itu bukan hanya sebagai janji Hamzah, melainkan juga sebagai janji Fedli Azis. Janji itu akan menjadi “nol besar” jika tidak diwujudkan!
Demikianlah, antara lain, tafsir Jebat yang diberikan Rida K Liamsi dan Fedli Azis. Kedua sastrawan itu memperlihatkan kegamangannya akan eksistensi Jebat. Rida gamang karena takut, jika waktu berhenti bertanya dan sejarah berhenti ditulis, Jebat justru akan menjelma menjadi arca. Sementara itu, Fedli Azis gamang karena khawatir Jebat telah ter(di)lupakan oleh banyak orang.
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai di beberapa surat kabar, majalah, dan jurnal. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment