JALALUDDIN Rakhmat termasuk intelektual yang membumi. Dia tekun menuliskan pemikirannya lewat puluhan buku, terutama seputar keislaman. Lebih dari itu, dia juga bergerak untuk menerapkan gagasannya di dunia nyata.
Pada tahun 2002, misalnya, Kang Jalal menulis buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih. Karya ini mengimbau agar umat Islam tak lagi berkutat pada pemahaman fikih yang berpusat pada ritual, melainkan juga pada akhlak atau karakter. Karakter ini bisa diperkuat lewat sistem pendidikan, yaitu dengan membiasakan para pelajar menjadi orang baik kepada sesama.
Ide itu diterapkan Kang Jalal di SMU Plus Muthahhari di Bandung yang dipimpinnya. Menetapkan diri sebagai sekolah model pembinaan akhlak, SMU itu membuat program pengembangan karakter. Salah satunya lewat program spiritual camp alias perkemahan ruhaniyah serta spiritual work camp.
Dalam program itu, para siswa dititipkan kepada orang miskin, dan selama beberapa hari disuruh melayani orang miskin. Mereka menjadi para pelayan Tuhan yang berkhidmat kepada rakyat kecil. ”Itu mengubah hidup mereka. Anak-anak yang liar pun akhirnya menjadi lembut hatinya,” katanya.
Kang Jalal juga dikenal sebagai salah satu penggiat dan penulis buku-buku tasawuf. Berbasis cinta, tasawuf menjembatani semua kalangan untuk bertemu, tanpa dibatasi sekat-sekat sosial dan agama. Dia merintis kajian-kajian tasawuf di kalangan masyarakat menengah perkotaan, salah satunya dengan mendirikan Pusat Kajian Tasawuf Tazkia Sejati di Jakarta.
Cendekiawan ini mengusung konsep Islam madani, yaitu pemahaman keagamaan yang pluralis, menerima perbedaan pendapat, dan lebih mementingkan kerja kemanusiaan. Komitmen itu dijalankan secara nyata dengan mendirikan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Tak hanya menggelar dialog antariman pada setiap muktamar, kelompok ini juga sering melakukan kerja sosial dengan dukungan umat Buddha, Katolik, atau Protestan, seperti khitanan massal, pengobatan gratis, atau bantuan makanan bagi umat beragama.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kang Jalal adalah pribadi yang ramah dan bersahabat dengan siapa saja, tanpa membedakan agama atau latar belakang lain. ”Saya tak terlalu peduli orang ikut mazhab saya atau tidak. Yang penting orang itu berbuat baik bagi sesama dan tak menghalangi orang lain berbuat baik,” katanya. (iam/myr)
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment