Monday, February 21, 2011

Sisi Lain: "Wah, Potong Rambut 10 Ringgit!"

SEPULUH lulusan SMA dari Bekasi dan Cibinong, Jawa Barat, itu memang beruntung mendapatkan beasiswa dari Ancora Foundation untuk belajar di kampus-kampus ternama di Kuala Lumpur. Namun, yang namanya mahasiswa, di mana saja sepertinya sama saja.

Buktinya, Rizki Pratama Novianto (19), mahasiswa di Multimedia University (MMU), Kuala Lumpur, itu sempat terkejut ketika potong rambut cepak harus bayar 10 ringgit Malaysia alias sekitar Rp 30.000. ”Potong rambut dekat rumah di Bekasi tak sampai semahal ini,” katanya sambil tersipu malu.

Lalu, bagaimana Rizki menyiasatinya? Jawabnya adalah bertahan untuk potong rambut lagi enam bulan kemudian. ”Jadi, irit kan?” ujarnya seraya tertawa ringan.

Urusan makan? Tempe penyet menjadi pilihan Rizki dan teman-temannya dari Indonesia sebagai pengobat rindu kampung halaman. Di kantin di kampusnya, kata Rizki, menu tempe penyetnya cukup enak meskipun harganya bisa sampai 15 ringgit (sekitar Rp 45.000) per porsi.

Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, harga itu bukan ”harga mahasiswa”. Kata Rizki, sekali-sekali bolehlah makan enak sebagai pengusir kebosanan makanan standar dan masakan sendiri.

Para siswa asal Indonesia ini mengaku hampir tak pernah menemui pertanyaan ataupun pernyataan yang terkait ”perseteruan” di antara kedua bangsa serumpun ini. Persaingan yang ”panas” terkait persoalan sepak bola belum lama ini, menurut mereka, tidak berpengaruh terhadap suasana di kampus mereka. Para mahasiswa sibuk dengan pelajaran dan tugas yang padat sehingga tak sempat memikirkan atau menyinggung perseteruan tersebut.

Namun, Persatuan Pelajar Indonesia di Malaysia tetap berinisiatif mempropagandakan perdamaian melalui aksi ”Damai Unyil-Upin”. Aksi tersebut sukses dan mendapat apresiasi, baik dari Indonesia maupun Malaysia, hingga menjadi simbol ”perdamaian” kedua negara bertetangga ini.

Para remaja asal Indonesia ini tidur di asrama mahasiswa. Bedanya, Aditya Harjon Bahar yang kuliah di MMU masih bisa masak sendiri. Sebab, kamar yang diisi tiga orang itu dilengkapi dengan dapur. Sementara, Fikri yang kuliah di International Islamic University Malaysia hanya mendapat kamar untuk tidur, tanpa dapur.

Para mahasiswa penerima beasiswa itu benar-benar belajar disiplin di negeri orang. Mereka juga tak bisa semaunya pulang kampung, maklum masa libur hanya dua minggu sampai tiga minggu dalam setahun. (ays)

Sumber: Kompas, Senin, 21 Februari 2011

No comments: