NASIB sebagian besar nelayan di Tanah Air seperti kata pepatah: bagai ayam mati di lumbung padi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas daratan 1,8 juta kilometer persegi dan lautan 6,1 juta kilometer persegi, kenyataan menunjukkan, justru para nelayanlah yang berada pada strata kemiskinan paling bawah.
Di Indonesia, yang pernah begitu jaya di laut, sudah lama sekali ekonomi kelautannya terpuruk ditelan ekonomi daratan. Bahkan, pepatah untuk menggambarkan ketidakmampuan mengeksplorasi kekayaan bahari ini pun sangat kental bernuansa pertanian.
Meski sejarah menunjukkan bahwa Nusantara pernah jaya di samudra dengan kerajaan-kerajaan maritim yang terkenal—sebutlah Sriwijaya dan Majapahit di antaranya, kepentingan dagang Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16-18 pelan-pelan melumpuhkan kekuatan bahari ini. Warisannya kemudian adalah disorientasi sosial budaya bangsa yang berkelanjutan. Ini terbukti dari rezim pemerintahan Orde Lama dan terutama Orde Baru, yang lalai membangun kembali kesejahteraan dari laut.
Maka, makin terpinggirkanlah masyarakat nelayan. Pascareformasi, upaya membangkitkan kembali kejayaan di laut dimulai, tetapi ketertinggalan yang sedemikian parah membuat empat periode menteri kelautan dan perikanan belum bisa mengangkat nasib nelayan secara signifikan.
Situasi nelayan
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah itu, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional: menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan.
Dengan menggunakan nilai tukar nelayan, bisa diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan nelayan. Angka ini dihitung dari indeks harga yang diterima nelayan dibagi indeks harga yang dibayarkan nelayan.
Bila angka mencapai 100, berarti harga ikan sebanding dengan biaya konsumsi ataupun produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tukar, semakin sejahteralah kehidupan nelayan.
Ternyata, dari 33 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki nilai tukar nelayan di atas 100. Nilai tertinggi dicapai Maluku (123,54), diikuti Nusa Tenggara Timur (121,43), Lampung (114,58), Daerah Istimewa Yogyakarta (113,54), dan Sumatera Selatan (113,31).
Pada 13 provinsi sisanya, nilai tukar nelayan masih di bawah 100. Terendah adalah Papua (86,13), Bangka Belitung (86,07), Kalimantan Selatan (88,62), Jambi (91,24), dan Bali (91,41).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang hadir dalam diskusi mengingatkan, jumlah nelayan di satu kawasan yang terlalu banyak bisa mengurangi pendapatan nelayan di kawasan tersebut.
Dengan menggunakan estimasi jumlah nelayan optimal di setiap kawasan pesisir, tampaklah bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Bangka Belitung rendah karena jumlah nelayan di kawasan Selat Malaka sudah melebihi kapasitas. Menurut Rokhmin, pada tahun 2002 di Selat Malaka hanya butuh 99.579 nelayan, sedangkan jumlah yang ada 224.766.
Namun, masih banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Misalnya, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di setiap kawasan, tingkat pengetahuan dan peralatan nelayan, serta keberlanjutan rantai produksi pascapenangkapan. Jalinan persoalan inilah yang melilit para nelayan di Indonesia sehingga menimbulkan disparitas kesejahteraan yang demikian besar.
Memberdayakan nelayan
Harus diakui, pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional. Mulai dari belum dilindunginya wilayah tangkap tradisional sampai belum diakomodasinya keluarga nelayan sebagai satu kesatuan unit produksi.
Riza Damanik mencontohkan, kerja pemerintah yang sering bersifat sektoral membuat pencemaran laut tak juga selesai ditangani. Padahal, justru di daerah yang tercemar itulah sebagian besar nelayan menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka paling jauh hanya mencapai 5,4 kilometer.
Di sisi lain, masih banyak praktik penangkapan ikan dengan kapal besar di wilayah yang sama. Akibatnya, meski data penangkapan ikan sudah mencapai 5,6 juta ton per tahun—mendekati potensi produksi tahun 2010 yang diperkirakan 6,5 juta ton per tahun, masih sedikit sekali yang bisa dinikmati para nelayan dan keluarganya.
Hasil diskusi kelompok terbatas yang dilakukan Kiara di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa waktu istri beraktivitas dibanding suami dalam suatu keluarga nelayan hampir tidak jauh beda. Selain kegiatan domestik, istri nelayan juga membuat kerupuk, menjual ikan, dan pergi ke pelelangan. Total istri bekerja 16 jam sehari, sedangkan suami 15 jam sehari, itu sudah termasuk melaut dan memperbaiki jaring.
Dengan demikian, pemerintah harus mengembangkan nelayan sebagai kesatuan keluarga. Insentif tidak hanya menyangkut penangkapan, tetapi pada keseluruhan kegiatan produksi, termasuk pascatangkap. Tanpa intervensi luar biasa pada kelompok perempuan, mustahil kegiatan perikanan rakyat bisa bangkit.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya masa tangkap karena cuaca ekstrem. Frekuensi melaut nelayan kini tinggal 160-180 hari dalam setahun, padahal sebelumnya bisa 260-300 hari, sehingga otomatis terjadi penurunan pendapatan.
Maka, agar Revolusi Biru menjadi solusi yang menyejahterakan rakyat, ada tiga model yang bisa menjadi pilihan: teknokratik, populis, dan teknopopulis.
Teknokratik yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar sudah dipraktikkan di Peru, China, dan Vietnam. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan kini menempati urutan kedua (7,4 juta ton) setelah China (14,8 juta ton).
Model populis berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku-pelaku kecil, seperti di Filipina. Investasi besar tidak bermain di sektor hulu, tetapi di hilir. Pilihan ini sangat pronelayan, tetapi tidak menghasilkan angka produksi dan ekspor yang spektakuler.
Model ketiga yang merupakan perpaduan teknokratik dan populis dipraktikkan di Jepang dan Norwegia. Model ini melindungi nelayan kecil, tetapi pada saat yang sama mengembangkan industri skala besar dengan mendorong nelayan-nelayan yang kuat beroperasi di perairan internasional. Nelayan kecil sejahtera, tetapi produksi tetap tinggi.
Bila amanat konstitusi menjadi pertimbangan, maka perpaduan model teknokratik dengan populis atau teknopopulis menjadi pilihan tepat untuk mengembangkan industri bahari di negeri ini. Jumlah nelayan tradisional yang masih 90 persen akan terlindungi dan masih ada ruang untuk mengembangkan industri perikanan, termasuk pengolahannya.
Ini berarti optimalisasi informasi baik iklim maupun kawasan potensi ikan ke komunitas nelayan, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan asuransi iklim dan modal usaha bagi nelayan, infrastruktur yang memadai, serta terbukanya kawasan investasi perikanan yang efisien dan bebas pungutan liar.
Semua itu sungguh bukan pekerjaan yang mudah di tengah euforia otonomi. Akan tetapi, justru di sinilah peran Kementerian Kelautan dan Perikanan diuji.
Sumber: Kompas, Selasa, 08 Februari 2011
No comments:
Post a Comment