Sunday, February 06, 2011

[Persona] Jalaluddin Rakhmat: Menuju Agama Madani

-- Ilham Khoiri dan Myrna Ratna

HINGGA kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat beragama. Agama, yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Bagaimana jalan keluarnya?

JALALUDDIN RAKHMAT (KOMPAS/PRIYOMBODO)


Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban,” kata Jalaluddin Rakhmat (62), cendekiawan Muslim asal Bandung.

Kang Jalal—demikian sapaan akrabnya—fasih mengulas hal ini. Maklum saja, dia punya pengalaman bergumul dengan persoalan hubungan antaragama, mengkaji berbagai pemikiran keagamaan, berjumpa banyak tokoh dunia, serta menulis sejumlah buku. Dia juga aktif mengajar di kampus dan mengentalkan gagasan pluralisme lewat sejumlah lembaga keagamaan.

”Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini,” katanya ketika ditemui setelah memberikan ceramah keagamaan di Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu.

Bagaimana persisnya pemahaman agama madani itu? Kang Jalal mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Ketika menceritakan gagasan kontrak sosial, Rousseau menyebut la religion civile (agama civil), sebagai pemahaman yang paling cocok bagi kehidupan modern. Ini pengembangan dari dua tipe sebelumnya, yaitu agama yang menyatukan kebangsaan serta agama institusional—sebagaimana dianut banyak orang sekarang.

Berangkat dari tafsir atas pemikiran itu, Kang Jalal mengusung wacana agama madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia. Bagi dia, ada tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya.

Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,” katanya.

Setelah itu berkembang Islam siyasiy atau Islam politik. Menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, pemahaman ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lilmuslimin.

Bagi Islam fikhiy, kaum Muslimin mundur karena dianggap meninggalkan Al Quran dan Sunah. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para Nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.

Islam politik melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa khilafah Ustmaniyah. Itu dianggap zaman ideal yang harus diperjuangkan lagi.

Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada Islam madani. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama.

Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.

Jika Islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikh dan Islam siyasiy pada politik, Islam madani berpusat pada karakter, akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk.

Perjalanan pribadi

Ketiga pemahaman itu dialami Kang Jalal dalam perjalanan hidupnya. Dia besar dalam keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat kecil dia ditinggalkan ayahnya pergi ke Sumatera untuk perjuangan Islam. Ayahnya aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang bercorak Islam politik.

Jalal melanjutkan sekolah di Kota Bandung. Dia berkenalan dengan paham PERSIS (Persatuan Islam) yang menurutnya sangat fikhiyah, dan kemudian menjadi kader Muhammadiyah. ”Saya pernah berusaha mengubah masjid NU di kampung menjadi masjid Muhammadiyah. Caranya, dengan menyingkirkan beduk. Ketika mau shalat Jumat, jemaah masjid itu kehilangan beduknya,” katanya mengenang.

Jalal muda lantas bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang dulu bergabung dengan Masyumi yang kental warna politiknya. Dari berbagai pelatihan, tumbuh keinginan untuk melanjutkan perjuangan ayah mendirikan sistem politik Islam. Ketika melanjutkan studi S-2 ke Iowa State University, Amerika Serikat, tahun 1980, dia juga terpengaruh gagasan Ikhwanul Muslimin.

Pulang ke Tanah Air, Jalal menerbitkan buku-buku dari Ikhwanul Muslimin, seperti karya Hasan Al-Banna, tokoh garis keras dari Mesir. Hingga tahun 1990-an dia aktif memperjuangkan syariat Islam, terutama lewat pelatihan di kampus-kampus. ”Saya termasuk penentang asas tunggal Pancasila karena merupakan produk sekuler,” katanya.

Dia pernah berdebat dengan Nurcholish Madjid (almarhum) di ITB. Cak Nur mewakili cendekiawan sekuler propemerintah, sementara Jalal dikelompokkan sebagai fundamentalis antipemerintah. ”Saya sempat dipanggil Bakorstanasda, bagian dari Pangkopkamtib, dan diberhentikan sebagai dosen oleh Dekan Universitas Padjadjaran,” katanya.

Pemahaman keagamaan Kang Jalal bergeser secara perlahan, terutama setelah diundang Cak Nur untuk ikut mengisi acara-acara kajian di Paramadina tahun 1990-an. Dia juga banyak berdiskusi dengan kelompok Islam modernis, seperti Alwi Shihab, Gus Dur, dan Dawam Rahardjo.

Di luar itu, saat mengikuti konferensi internasional di Kolombo, dia bertemu dengan sejumlah ulama Syiah yang membawa perspektif Islam lain yang masuk akal dan sangat pluralistik. Pulang ke Indonesia, dia bawa buku-buku Syiah dan menerbitkannya lewat Mizan.

Salah satunya, buku-buku Ali Syariati yang menempatkan ideologi Islam bukan untuk menegakkan syariat, melainkan untuk menentang kezaliman, penindasan. Pemikir Syiah lain, Murtadha Muthtahhari, punya pandangan pluralis. Bagi dia, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya.

”Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya Muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Semua itu menggugah saya,” katanya.

Kang Jalal akhirnya menjadi cendekiawan Muslim yang mengembangkan gagasan Islam madani yang pluralis. Bagi dia, semua kelompok agama itu selamat, dan kelebihannya ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.

Belakangan, dia juga suntuk menekuni tasawuf, jenis keislaman yang dasarnya cinta. Dengan cinta, setiap agama bisa bertemu dan berbicara pada bahasa yang sama, memasuki kebun yang sama, baik itu Islam, Buddha, Kristen, Katolik, maupun Hindu.

Indonesia

Ketiga pemahaman Islam tadi tumbuh di Indonesia. Islam siyasiy tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus umum. Islam fiqhiy juga masih ada meski mulai berkurang. Beberapa organisasi masih bertahan dengan Islam fikh.

Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi pluralis dalam kehidupan global.

”Ketiga jenis Islam itu bertarung dalam wacana, tapi kadang memercik dalam tindakan kerusuhan. Itu terjadi jika dibakar oleh kelompok kepentingan tertentu,” katanya.

Kang Jalal menilai agama madani sangat pas dikembangkan di Indonesia. Pemahaman ini bisa menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan,” katanya.

Bagaimana pemerintah berperan mengembangkan pluralisme? ”Buat kita, itu anjuran. Buat pemerintah, itu keharusan,” katanya.

Secara moral, pemerintah wajib melindungi kelompok minoritas dengan memberi hak dan peluang yang sama. Pemerintah mestinya bersikap tegas dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas.

Pluralisme juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.

Menurut Jalal, secara keseluruhan negara memang masih lemah. ”State sudah menetapkan sesuatu, katakanlah undang-undang yang melindungi kebebasan beragama, tapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda mazhab. Tapi, penyerangan itu terjadi,” ujarnya.

Negara lemah karena hukum kita lemah. Hukum lemah karena politik Indonesia itu ditentukan hubungan dan kepentingan kelompok. Pemerintah, kata Kang Jalal, lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011

No comments: