Sunday, February 20, 2011

[Buku] Pergulatan Eksistensial dalam Kerikil dan Daun

-- Maria Hartiningsih

• Judul Buku: Message from an Unknown Chinese Mother • Penulis: Xinran Xue • Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2011 (edisi bahasa Indonesia yang pertama) • Tebal: xix + 274 hal • ISBN: 978-979-709-533-8

’To be born female is a crime’. Kalimat itu rasanya tepat untuk menyimpulkan buku yang menyingkap tragedi atas nama tradisi usang berbalut ideologi politik dan kebijakan pembangunan di China.

TIGA kekuatan otoritatif itu telah membunuh kemampuan berpikir dan memaksa manusia menanggalkan perasaannya, sehingga kekejian menjadi banal.

Message from an Unknown Chinese Mother (2010), karya terbaru Xinran, wartawan China yang bermukim di Inggris sejak tahun 1997, membuat pembaca paham maksud pesan ’To be born female is not a crime’ dari Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef).

Pamflet advokasi hak-hak perempuan dan anak perempuan itu sangat penting karena petaka kemanusiaan bisa tinggal sebagai senyap sejarah, yang meruap dalam seluruh simbol kedigdayaan suatu bangsa: cadangan devisa, perluasan investasi, penguasaan pasar, pendapatan per kapita, kekuatan militer, dan lain-lain.

Di China, korban kekejian itu adalah bayi dan anak-anak perempuan, serta janin berkelamin perempuan, ketika teknologi canggih mampu mendeteksinya. Namun, tragedi berbasis jender beserta serangkaian kisah pilu perempuan itu dilenyapkan oleh gegap-gempita tragedi politik di ruang publik.

Atas nama demokrasi, dunia berteriak saat mahasiswa ditembaki dalam Tragedi Tiananmen tahun 1989, tetapi tak bereaksi terhadap pembunuhan janin berkelamin perempuan yang korbannya mencapai 30 juta di desa-desa di China. Demokrasi dan hak asasi manusia seperti bersilang jalan bagi perempuan, menunjukkan bahwa seksualitas perempuan adalah wilayah pertarungan paling kritis bagi ideologi apa pun.

Rekaman kisah nyata

Kita sudah banyak mendengar tentang kebijakan satu anak di China yang dicanangkan tahun 1979, menandai ’revolusi kependudukan’ di China. Tahun itu, jumlah penduduk China telah mencapai 1,2 miliar. Para pejabat semakin khawatir akan tekanan penduduk terhadap daya dukung lingkungan.

Namun, tak banyak orang tahu dampaknya secara personal ketika tradisi menempatkan anak laki-laki sebagai faktor dari segala faktor keberuntungan. Ketiadaan anak laki-laki adalah bencana, terutama bagi perempuan. Perempuan muda, apalagi dari keluarga miskin dianggap sebagai kuda beban, dipaksa kawin, dan kalau tak bisa melahirkan bayi laki-laki, dia dan bayinya kehilangan seluruh hak hidup.

Buku ini merekam kisah bayi-bayi perempuan yang dianggap sampah. Kerikil dan daun menjadi metafora cinta jutaan ibu dalam buntelan bayi yang harus dibuang. Fakta investigasi dihimpun sejak Xinran bekerja sebagai wartawan radio di Nanjing, akhir 1980-an, yang beberapa bagiannya sudah disinggung dalam The Good Women of China: Hidden Voice (2002).

Saya membayangkan perasaan Xinran ketika perempuan penambal ban, yang dulu adalah bidan, bercerita bagaimana ia membunuh bayi perempuan begitu dilahirkan. Juga bagaimana para perempuan—termasuk yang berpendidikan dan sukses hidupnya—berkisah tentang anak-anak perempuan mereka yang ditinggalkan di selokan, di sudut peron, di WC, di depan pintu panti asuhan, di mana-mana.

Situasi kian rumit ketika China membuka diri pada dunia luar setelah reformasi, dan generasi muda terpapar dengan kebebasan seksual secara tiba-tiba. Ketidaktahuan tentang tubuh, ketiadaan program kesehatan seksual diperparah sikap munafik terhadap seks menyebabkan banyak bayi lahir dari kehamilan tak dikehendaki.

Bayi perempuan menyesaki rumah yatim piatu di China sejak tahun 1990. Adopsi internasional secara resmi diizinkan tahun 1992, meski jual beli bayi berlangsung jauh sebelum itu. Saat ini, sedikitnya 120.000 anak diadopsi, tersebar di 27 negara, hampir semuanya perempuan.

Sangat personal

Karya-karya Xinran menegaskan bahwa melalui kisah, tindakan manusia menjadi sejarah. Termasuk rasa bersalah akibat tindakan keji yang terus mengimpit, yang menyebabkan angka bunuh diri sangat tinggi di kalangan perempuan di China.



Buku terbaru itu mempertegas posisi Xinran sebagai penulis tentang pelanggaran hak-hak asasi perempuan di China, sekaligus aktivis dan pekerja sosial melalui Yayasan Mothers’ Bridge of Love. Latar belakang sebagai wartawan membuat perspektif buku ini sangat tajam, gaya bertuturnya terukur, detailnya terinci, dilengkapi konteks politik pada setiap fakta yang diungkapkan.

Kerja jurnalistiknya tak hanya menghasilkan novel (Sky Burial, 2004), dan tak hanya digunakan untuk mengungkap fakta. Message from an Unknown Chinese Mother seperti menjadi jalan untuk mengurai identitas dan akarnya sendiri, membuat jalinan kisahnya menyentuh karena diwarnai persoalan eksistensial penulisnya.

Pertanyaan tentang ’siapa diri’ seperti menemukan saluran. Salju kecil yang tak berhasil ia selamatkan menjadi seperti cermin diri yang merasa tak dikehendaki orangtuanya. Karya ini seperti menjadi katarsis bagi penulisnya untuk memaafkan orangtuanya, sekaligus penerimaan terhadap sejarah hidupnya.

Karya Xinran ini menjadi pendamping penting bagi buku-buku nonfiksi tentang kekerasan berbasis jender, khususnya Half The Sky (2009), terjemahan oleh Gramedia Pustaka Utama (2010).

Kalau ada yang mengganggu dari terjemahan karya Xinran itu adalah editingnya yang kurang rapi. Penggunaan kata ’aku’ untuk ’I’ memang lebih kuat, tetapi menjadi aneh ketika tak ada pembedaan kata ’aku’ sebagai subyek dan sebagai ajektif dalam teks. Keteledoran itu mengganggu suasana yang dibangun sejak lembar pertama dari buku karya Xinran ini.

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Februari 2011

No comments: