KESADARAN akan pentingnya keberpihakan perbankan terhadap sektor perikanan sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, selain Bank Negara Indonesia Tahun 1946, negara mendirikan pula Bank Tani dan Nelayan.
”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.
Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.
Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.
Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.
”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.
Kredit bermasalah
Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.
Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.
Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.
Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.
Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.
”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.
Perlu instrumen nonbank
Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.
Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.
Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.
Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.
Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.
”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.
Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.
Sumber: Kompas, Selasa, 08 Februari 2011
No comments:
Post a Comment