Saturday, February 26, 2011

[Teroka] Bila Pasien Salah Alamat

-- Handrawan Nadesul

PASIEN kita kebanyakan telanjur miskin secara struktural. Sistem kesehatan kita yang harus bayar dulu baru bisa berobat menambah buruk nasib kesehatan mereka, karena belum semua dipayungi asuransi. Kondisi lemahnya wawasan medis masyarakat, terpeliharanya pola pikir mistis, takhayul, dan mitos menjadi pemiskin baru pasien.

Di luar haknya mencari laba, rumah sakit (RS) juga mengemban tanggung jawab sosial tertentu. Tetap sudi menyisihkan 25 persen tempat tidur buat pasien tak mampu, misalnya. Namun wajar pula kalau RS perlu berhitung demi tak merugi. Itu alasan yang selalu digunakan RS yang sering memiliki masalah dengan pasien.

Pasien secara mudah terbagi dalam dua golongan. Pasien ”jalur lambat” yang tak selalu bisa berobat setiap kali sakit dan pasien ”jalur cepat” yang memiliki kemerdekaan untuk memilih ke RS mana ia hendak berobat. Lebih dari 80 persen masyarakat kita berada di layanan ”jalur lambat”. Mereka yang acap tersesat berobat sehingga patut dibela.

Di layanan ”jalur lambat” rakyat banyak berpikir, sudah menjadi haknya untuk dilayani setiap kali mereka menderita sakit. Namun karena lebih banyak pasien yang tak selalu mampu berobat, persoalan pun kerap timbul, khususnya dalam hubungan yang sering tidak harmonis antara pasien dan RS.

RS pasar malam

Dalam situasi itu, kerap kita keliru mengambil posisi, misalnya dengan begitu saja mendukung posisi pasien atau sebaliknya. Sementara bila dicermati, ternyata sebagian karena pasien salah alamat berobat. RS berubah jadi pasar malam karena pasien yang sebetulnya bisa diobati di tingkat puskesmas, semua mencari rumah sakit.

Layanan medis kita menganut sistem rujukan (referral system). Namun tak cukup banyak dimanfaatkan pasien ”jalur cepat” karena belum semua memakluminya. Rakyat tidak tahu kalau ada regulasi puskesmas merupakan pintu alamat berobat untuk apa pun penyakit pasien. Puskesmas merujuk ke RS tingkat kecamatan bila ia tidak mampu menangani. RS kecamatan merujuk ke RS kabupaten, dan selanjutnya dirujuk lagi jika memerlukan fasilitas RS provinsi.

Begitu selanjutnya, pasien baru dirujuk ke RS top referral, yakni RSCM Jakarta, bila di RS tingkat puncak kasusnya tak bisa ditangani. Artinya, untuk sampai RSCM proses seleksi semestinya sudah berlangsung cukup ketat. Namun, nyatanya RSCM saat ini masih seperti pasar malam. Akibatnya, ketepatan dan efisiensi berobat tak optimal. Pasien apa pun berbondong-bondong ke RS sehingga RS kelebihan beban kerja. Itulah salah satu sebab kenapa layanan RS di bawah kualitas sering dikeluhkan pasien.

RSCM dijejali kasus sederhana yang sebetulnya bisa ditangani puskesmas atau RS di tingkat lebih bawah. Dampak buruknya, dokter dan tenaga medis kelebihan bobot kerja.

Sekadar merasa sembuh

Tidak semua pasien kita berobat ke dokter. Suburnya praktik pengobatan alternatif di negeri ini bukan semuanya harus diharamkan. Namun, masyarakat perlu diberi tahu, tidak semua terapi atau kesembuhan (healing) nonmedis, apakah cara tradisional, paranormal, orang pintar, betul terbilang ilmiah. Pasien perlu menginsafi gara-gara tak tepat berobat, mereka berisiko merugi untuk dua hal. Tak sembuh atau kehilangan peluang sembuh, tentu saja di samping kerugian ekonomis.

Handrawan Nadesul
, Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan dan Penulis Buku

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

No comments: