Sunday, February 27, 2011

Martabat Puisi dan Gairah Hidup

-- Bandung Mawardi

PENCETUS teori evolusi, Charles Darwin, pengarang On the Origin of Species, pernah memiliki masa intim dengan puisi. Pergaulan ini memberi tanda atas ajakan dalam gelimang makna kehidupan, kendati dunia modern disibukkan dengan pemujaan sains, pemujaan dengan konsekuensi menjauhkan manusia dari kehidupan. Darwin dalam otobiografi, suntingan Nora Barlow (1958), memberi kisah kecil intimitas diri dengan puisi: "Sampai umur tiga puluh tahun atau lebih, puisi dalam segala bentuk ... memberiku kenikmatan besar."

Puisi sebagai bab penting dalam hidup Darwin bermula sejak kecil, saat menempuh sekolah dengan menekuni puisi-puisi dan drama sejarah garapan Shakespeare. Kisah ini lekas hilang, Darwin pada usia menjelang tua justru menampik puisi. Masa lalu seolah berdiam dalam ingatan picisan. Darwin merasa bosan dengan puisi, lekas tergantikan dengan kenikmatan sains. Perubahan ini memikat dan mencemaskan.

Penjelasan Darwin: "Otakku seolah telah berubah menjadi semacam mesin untuk menggiling kumpulan fakta besar menjadi dalil-dalil. Mengapa hal ini mengakibatkan kemunduran bagian otak sebagai pusat citarasa tinggi? Aku tak mengerti. Kehilangan citarasa berarti kehilangan kebahagiaan. Barangkali malah bisa merusak kecerdasan dan moral. Hal ini melemahkan emosi manusia." Hidup tanpa puisi mirip dengan "cacat diri" manusia karena mengabsenkan puja atas citarasa estetika.

Hasrat

Pergumulan dengan puisi pun identik dalam diri Karl Marx, pemikir berjenggot, pengusung pemikiran-pemikiran radikal dalam deru modernitas dan kapitalisme di Barat. Marx menulis puisi untuk kekasih, Jenny von Westphalen, akhir 1836. Inilah petikan puisi romantis ala Karl Marx: Maafkan aku, memberanikan diri mengharap cercamu/ tetapi jiwa ini ingin sekali jujur mengaku,/ bibir sang pengidung rela terbakar lebam,/ demi menghembus bara kegelisahan agar padam./ Dapatkah aku melawan diri, berbalik arah,/ lalu kehilangan diriku sendiri, dungu dan resah,/ haruskah sang pengidung menipu,/ tak mencintaimu, setelah memandang wajahmu? Puisi ini mungkin memancing kecut atau pukau. Pembaca mungkin tak menduga, Marx dalam kisah cinta sanggup menulis puisi dalam anutan romantik. Kerja estetis dijalani untuk menjadi lelaki di hadapan si pujaan.

Puja atas puisi terasakan dalam surat sedih Marx (1837) pada sang ayah. Ada alinea memelas saat Marx merasa hidup sia-sia karena mendengar sang kekasih menderita sakit. Kesedihan hati membuat kerja intelektual berantakan. Marx merasa tak bisa melahirkan apa-apa. Kondisi frustrasi itu membuat Marx sakit. Di balik tragedi itu, Marx memberitakan pada ayah: "... saya membakar semua puisi ... dengan harapan saya akan bisa melepaskan kegemaran itu, tapi ternyata tak mudah melepaskan itu." Marx, pengarang Das Kapital, menganggap puisi sebagai sumber cinta dan benci. Puisi sanggup memberi arti hidup, sekaligus meruntuhkan.

Mikhail Liftschitz (2004) menilai relasi Marx dengan puisi adalah modal awal dalam karier keintelektualan. Marx, pemikir revolusioner, memang berhasil mengumumkan dua puisi dalam Athenaum, tapi momentum itu menjelma konflik, hasrat untuk menulis puisi dengan disiplin ketat atau menemukan jawaban di bidang ilmu pengetahuan tentang masalah-masalah kehidupan. Semua ini menjadi penanda krisis pertama dalam perkembangan intelektual Marx. Jadi, puisi pernah menjadi idaman dan kecaman dalam diri Marx.

Gairah

Kisah intim dengan puisi juga dialami oleh raja filsafat, Martin Heidegger, pengarang buku berat, Sein und Zeit. Filosof asal Jerman ini menjadi ikon dunia filsafat modern dan tokoh kontroversial. Heidegger termasuk pemuja puisi. Puisi disemaikan dalam biografi keintelektualan dan perselingkuhan, kisah menggairahkan antara Heidegger dengan Hannah Arendt, filosof perempuan kondang, penulis buku The Origin of Totalitarianism. Arendt bagi Heidegger adalah gairah hidup. Jadi, puisi dituliskan untuk persembahan pada gairah hidup, gairah memuja dan mencinta perempuan.

Heidegger rajin menulis dan mengirimkan puisi-puisi pada Arendt, saat terpisah jarak karena situasi politik pada 1930-an di Jerman. Puisi dalam perselingkuhan juga sejak mula hadir dalam kehidupan privasi, hidup dalam sepi dan terpencil bersama istri, di pedalaman Scharzwald. Filosof ampuh itu mengisi agenda keseharian, saat sore hari, dengan membaca puisi-puisi Friedrich Holderlin, penyair agung Jerman. Heidegger menemukan gairah hidup dalam puisi, menandai puisi sebagai ciri manusiawi untuk menggapai puncak-puncak pengalaman tanpa harus terjinakkan oleh arogansi rasionalitas.

Mengabaikan

Semua kisah pergumulan tokoh-tokoh dunia dengan puisi merupakan ciri dari pembentukan kiblat dan roh zaman modern pada abad XIX dan XX. Sains mungkin tampak melampaui puja atas puisi (sastra). Kondisi dikotomik ini mengonstruksi dan mendestruksi dunia. C.P. Snow pun tampil dengan risalah The Two Cultures untuk memerkarakan perbedaan derajat antara intelektual-ilmuwan dan penyair-sastrawan. Perbedaan ini menjadi dalil bagi C.P. Snow untuk menggegerkan jagat pemikiran dan estetika Barat. Dunia Barat, abad XX, terbelah pada dua kutub, cendekiawan-sastra dan ilmuwan. Dua kutub ini saling bermusuhan, membenci, susah untuk saling memahami, dan mendistorsi martabat lawan untuk arogan.

Beda derajat dan corak dalam membentuk kemodernan ini pun menghinggapi kalangan intelektual di negara-negara berkembang. Pemartabatan sastra pada masa awal abad XX di Indonesia seolah mengalami kebangkrutan pada akhir abad XX dan awal abad XXI. Dunia kentara terbentuk oleh sains, agenda mengubah dan menikmati dunia dengan puja rasionalitas. Sastra tersingkirkan, disangkakan sekadar sebagai hiburan atau penampik perubahan. Efek ironi ini masih terwariskan pada dunia keintelektualan hari ini, sastra hampir tak tampil karena rendah diri atau terkooptasi oleh hegemoni sains. Negara juga tampak memilih sains untuk memartabatkan diri di mata dunia ketimbang sastra. Pilihan ini mengandung ironi tapi tak disadari karena mengabaikan sastra sebagai sumber gairah hidup. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

1 comment:

Bang Sanjay said...

Iqbal, Nietszche, bahkan kitab suci pun kerap kali bermain diksi..
karena puisi perpaduan logika dan rasa.?


salam kenal puakhi..:)