TAK banyak karya sastrawan Melayu Tionghoa dipentaskan dalam pertunjukkan teater.Kali ini Teater Bejana mencoba mengenalkan sastrawan MelayuTionghoa Kwee Tek Hoay dalam lakon Zonder Lentera atawa Hikajatnya Satoe Wijkmeester Rakoes di Gedung Kesenian Jakarta.
DUA anak muda berumur tanggung itu sedang bingung. Hujan lebat yang turun sedari sore hingga menginjak malam membuat mereka serbasalah. Setelah menonton sepak bola, mereka harus pulang ke rumah.Namun, fiets (sepeda) itu, ya, sepeda yang mereka tumpangi ternyata zonder (tanpa) lentera.Tak ada lampu sepeda yang terpasang. Itu berarti, mereka harus pulang ke rumah berjalan kaki atau menunggu delman dan menaikkan sepeda mereka di atas delman.
Sayangnya delman tak kunjung datang. Dua pemuda bernama Willem Tan dan Johan Liem itu akhirnya nekat berboncengan meski sepeda tak dilengkapi lentera. Mereka waswas jika di perjalanan mereka dicegat polisi patroli. Dan benar saja, agen polisi pribumi bernama Kabalereng muncul usai patroli. Mereka distop. “Kenapa naik fiets, zonder lentara!” bentak Kabalerang “Begini tuan,”terang William,“Tadi kita berdua nonton sepak bola, tiba-tiba hujan lebat. Lalu...”“Alah,”potong Kabalerang.
“Saya akan mencatat situ punya nama dan address.Besok tunggu surat panggilan ke komisariat,” Akhirnya, kedua anak tanggung itu memberikan nama dan alamat mereka. Namun, Willem berbohong.Will memberikan nama dan alamat palsu.Dia mengaku tinggal di rumah obat “Gwa Po Tong”. Nama mereka pun diganti menjadi “Hong Hiang Ciu” dan “Cu Pek Tong”.Keduanya adalah nama obat.Namun,agen polisi pribumi itu tak mengerti bahasa-bahasa obat Cina.
Dia tetap mencatat sesuai keterangan Will. Johan Liem,kawan Willem Tan, jelas murka. Johan khawatir akan dampak yang akan terjadi.Namun, Will justru menertawakan kebodohan Kabalerang dan kepengecutan Johan. Perdebatan pun terjadi. Hingga akhirnya mereka berdua tetap nekat melanjutkan perjalanan naik sepeda zonder lentera. Sialnya, lagi-lagi mereka tepergok agen polisi lagi. Kali ini agen polisi keturunan Belanda bernama Misleid.
Akal bulus Will pun kembali berputar,ia mengaku kalau tinggal bersama paman mereka, pemilik restoran Sudi Mampir yang memang ramai itu.Nama mereka pun diganti menjadi nama makanan, “He Wan Ca” dan “Fu Yong Hay”. Berdua,mereka pun kembali bebas melenggang pulang. Namun,tanpa dinyana,tingkah keduanya justru memantik perkara. Itu terjadi ketika seorang wijkmeester(kepala kampung) bernama Tan Tjo Lat mendatangi komisaris polisi yang tengah berkuasa di daerah tersebut.
Tan Tjo Lat merupakan wijkmeester yang suka berjudi, mabuk-mabukan, dan kerap membuat perkara. Tan Tjo Lat berupaya membuat komisaris baru itu senang. Dia menawarkan makanan dan bantuan jika keluarga komisaris itu membutuhkan sesuatu.Termasuk, dia menawarkan obat China “Hong Hiang Ciu”dan “Cu Pek Tong”dan makanan China “He Wan Ca” dan “FuYong Hay”. Akan tetapi komisaris Belanda itu orang yang bersih.Dia menolak mentah-mentah bantuan Tan Tjo Lat.
Ironisnya, di saat bersamaan, agen polisi datang ke rumah Tan Tjo Lat dan memberikan kertas panggilan atas kasus dua anak muda yang mengendarai sepeda zonder lentera. Hingga Tan Tjo Lat salah persepsi. Dia mengira komisaris menginginkan obat China dan makanan “He Wan Ca” dan “Fu Yong Hay”. Dia pun mengantar makanan dan obat itu ke komisaris Belanda. Di sinilah, kisah ini menjadi makin seru. Teater Bejana berhasil mengemas alur cerita dari novel karya sastrawan Melayu Tionghoa Kwee Tek Hoay dengan alur yang runut.
Set panggung pun dibuat megah dengan set ujung jalan dan rumah-rumah kampung era tahun 30-an.Drama satu babak ini juga dikemas dalam teater realis dengan sedikit bumbu komedi di dalamnya. Menjadikan pertunjukkan yang digelar Rabu dan Kamis (8- 9/2) kemarin bisa dinikmati oleh segala usia dan keturunan. “Kami sengaja mengangkat cerita sastra Melayu Tionghoa karena karya sastra ini perlahan-lahan mulai hilang.
Kami ingin menghadirkan kembali karya-karya ini kembali,” ujar sutradara Zonder Lentera,Daniel H Jacob. Daniel menambahkan, selama ini Teater Bejana sering kali mementaskan karya-karya dari sastrawan Melayu Tionghoa. Tiga produksi mereka, selain Zonder Lentera adalah Boenga Roos dari Tjikembang( 2004),Nonton Cap Go Meh (2005), dan Pentjoeri Hati (2010).
Keempatnya merupakan karya dari Kwee Tek Hoe. Kwee Tek Hoe sendiri merupakan sastrawan Melayu Tionghoa yang pada masanya merupakan seorang sastrawan yang produktif. Dia juga seorang jurnalis. Dari katalog sastra peranakan,terdapat lebih dari 115 judul karya yang ditulis oleh Kwee Tek Hoe.Bisa jadi, karya Kwee Tek Hoe lebih dari itu, mengingat tak banyak yang dipublikasikan.“ Dia adalah salah satu sastrawan yang produktif menulis di masanya,”pungkas Daniel. (sofian dwi)
sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 13 Februari 2011
No comments:
Post a Comment