-- Madina Nusrat
YANTI (34) harus benar-benar pandai menghemat dalam urusan kebutuhan pokok keluarganya. Dalam urusan nasi, misalnya, Yanti harus bisa mengirit agar dalam satu hari tak lebih dari 1 liter beras yang dimasak bagi keluarganya. Lauknya pun sangat sederhana, bahkan terkadang hanya kerupuk dan kecap.
Para buruh sedang membongkar tumpukan karung beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu. Mereka terpaksa menghemat pengeluaran sehari-hari untuk tetap dapat bertahan hidup di Jakarta.(KOMPAS/LASTI KURNIA)
Begitu juga dengan kebutuhan susu bubuk. Yanti dengan terpaksa harus tega membatasi pemberian susu bagi anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun cukup satu kotak isi 500 gram untuk tiga hari.
”Sebetulnya tidak tega harus membatasi susu buat si kecil. Namun, kalau tidak berhemat, berarti kami harus berutang karena penghasilan suami saya sebagai kuli Pelabuhan Tanjung Priok sudah pas-pasan,” kata Yanti.
Begitulah gambaran sebagian besar keluarga kuli Pelabuhan Tanjung Priok di Kompleks Yuka, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara. Mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi karena upah suami mereka sebagai kuli pelabuhan sangat minim.
Namun, dalam keterbatasan itu mereka mampu membangun harmoni dan kebersamaan untuk mengatasi kesulitan hidup. Bahkan, di antara keluarga kuli tersebut malah saling berbagi pekerjaan di pelabuhan. Selain itu, mereka juga berbagi jatah beras untuk rakyat miskin (raskin) kepada rekan mereka yang tidak mendapatkan jatah karena masalah administrasi.
Tidak memadai
Upah sebagai kuli bongkar muat pelabuhan memang jauh dari memadai. Mereka hanya diberi upah Rp 70.000-Rp 80.000 untuk waktu kerja selama 12 jam dalam sehari. Peluang penghasilan itu pun belum tentu mereka dapatkan setiap hari. Mereka rata-rata hanya bisa mendapatkan pekerjaan dua sampai tiga hari dalam seminggu, bergantung pada kedatangan kapal.
Bisa dibayangkan penghasilan mereka dalam sebulan, hanya berkisar Rp 750.000. Itu pun harus mereka sisihkan sebesar Rp 300.000 per bulan untuk sewa rumah berukuran 3 meter x 3 meter di kawasan perumahan pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, Kompleks Yuka. Hal itu karena sebagian besar dari para kuli tersebut merupakan generasi kedua setelah orangtua mereka yang bekerja sebagai kuli pelabuhan.
Dengan sisa penghasilan sekitar Rp 450.000 itu mereka harus menanggung hidup istri beserta anak-anak mereka. Rata-rata para kuli memiliki dua sampai empat anak.
Wasnim (35), salah seorang kuli, mengaku, penghasilan sebesar itu sama sekali tak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Apalagi harga semua barang kebutuhan terus merangkak naik. Contohnya beras kualitas biasa saja mencapai Rp 7.000 per liter dan harga beras kualitas paling rendah Rp 5.000 per liter.
Untuk raskin pun, menurut Wasnim, kini dibatasi karena masalah administrasi. Tahun lalu, di lingkungan RT 03 RW 08 dijatah 25 paket raskin. Namun, sekarang hanya dijatah 14 paket raskin.
Sebagai ketua RT setempat, Wasnim harus mencari akal agar raskin tersebut bisa dibagikan secara adil kepada para keluarga kuli di lingkungannya. Solusinya, ia membagi jatah raskin tersebut kepada 25 keluarga kuli yang tergolong keluarga miskin sebanyak satu kali dalam dua bulan untuk setiap keluarga.
”Raskin ini cukup menolong karena harganya murah, Rp 10.000 untuk 5 kg. Padahal, harga beras paling murah di pasar sudah Rp 5.000 per liter,” katanya.
Saling berbagi
Saling berbagi juga dilakukan di antara para kuli untuk memperoleh kesempatan bekerja di pelabuhan. Supriyadi (38), misalnya, mengaku, tak jarang harus meminta bantuan kawan-kawannya agar diberi kesempatan bekerja sebagai kuli bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok.
”Saya pun begitu. Kalau ada teman meminta pekerjaan, saya akan bantu mencarikan pekerjaan. Kalau tidak saling bantu, kami tidak bisa hidup,” ungkapnya.
Para istri kuli itu pun tak kurang akal untuk menyiasati keterbatasan penghasilan suami mereka guna memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar dari mereka ikut bekerja sebagai penjahit barang cendera mata pernikahan yang diambil dari seorang perajin.
Untuk setiap 100 potong, mereka diupah Rp 3.000. Namun, karena pesanan membuat cendera mata itu terbatas, di antara para istri kuli itu hanya bisa mendapatkan pesanan maksimal 4.000 potong per bulan dengan total upah Rp 120.000.
Begitu juga yang dilakukan Yanti setiap hari. Kalau kebetulan pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok tidak ada, suaminya pun ikut membantunya menjahit. ”Kalau ikut dibantu suami, lumayan hasilnya bisa lebih sedikit,” katanya.
Namun, bagi sebagian keluarga kuli lain, kesempatan bekerja lebih baik tetap diharapkan. Apalagi risiko bekerja sebagai kuli pelabuhan tak kecil. Wasnim mengaku pernah terhantam rantai kontainer sehingga dadanya memar. Untuk mengobati lukanya, ia hanya memilih salep gosok untuk mengurangi memar.
Bekerja sebagai kuli pelabuhan pun, menurut Wasnim, juga harus meningkatkan kewaspadaan. Tak jarang, peti kemas berukuran besar itu jatuh dari cengkeraman alat berat. ”Saya pernah nyaris tertimpa kontainer. Kalau saya tidak hati-hati dengan terus mengamati gerakan alat, nyawa saya setiap saat bisa terancam,” tutur Wasnim.
Para kuli itu pun mengakui, pekerjaan sebagai kuli pelabuhan sama sekali tidak memberikan harapan. Dedi (32), Maret nanti, rencananya akan merantau ke Sulawesi untuk bekerja sebagai kuli bongkar muat dengan upah lebih dari Rp 2 juta per bulan. Untuk sementara, Dedi akan menitipkan anak dan istrinya ke rumah orangtuanya di Kompleks Yuka. ”Kalau tetap bertahan di Tanjung Priok, nasib saya tak akan berubah.”
Mereka seperti terperangkap dalam ruang waktu tak berujung. Ironinya, lingkungan miskin ini seperti tak tersentuh oleh penguasa, padahal jarak antara kampung mereka dan Istana Negara serta Balaikota DKI Jakarta hanya 17 kilometer.
Sumber: Kompas, Rabu, 23 Februari 2011
No comments:
Post a Comment