SAYA tidak tahu pasti, tahun berapa saya lahir. Ada yang pernah menulis tahun 1943 atau 1946. Semua tidak salah. Tanggal ulang tahunnya ya bisa kapan saja,” kata D Zawawi Imron.
Beda dengan tahun kelahiran yang tidak jelas, Zawawi masih ingat betul kampung halamannya, yaitu Desa Batang-Batang Laok, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Ini adalah kawasan di ujung timur Pulau Madura yang dikepung oleh laut.
Kampung itu, katanya, adalah sebagai sebuah lembah yang banyak ditumbuhi pohon siwalan atau lontar. Alamnya berbukit dengan hamparan petak-petak tanah sawah. Di belakang rumahnya, ada telaga kecil.
”Saya suka mandi di telaga sambil memerhatikan kupu-kupu, capung, kadang membuat perahu dari ilalang,” kenangnya.
Saat kecil, dia belajar di Sekolah Rakyat (SR) yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah. Setiap hari, ia berjalan dengan telanjang kaki pergi-pulang sekolah. Setamat SR, dia sempat hijrah ke Banyuwangi, mengikuti ayahnya yang berdagang, tetapi balik ke Madura dan belajar di Pesantren Lambi Cabboi di Sumenep.
Selain belajar kitab-kitab Islam, dia bersentuhan dengan syair-syair bahasa Madura. Lepas dari pesantren, lelaki ini kemudian menjadi guru di sebuah madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) di kampungnya.
Dia kemudian belajar sastra secara otodidak dengan membaca buku dan majalah hasil pinjaman dari perpustakaan di kecamatan. Ada majalah Siasat, Mimbar Indonesia, atau buku sastra lain yang menampilkan puisi-puisi penyair Indonesia kala itu.
”Saya kemudian coba menulis puisi,” katanya. Sebagian besar puisinya itu berisi pengalamannya bersentuhan dengan alam dan budaya Madura yang dinikmatinya sejak kecil.
Tahun 1973, dengan meminjam mesin ketik dari seorang pegawai kecamatan, dia mengetik beberapa puisi dan mengirimkannya ke koran Bhirawa di Surabaya. Ternyata, puisi itu dimuat. ”Hati saya berbunga-bunga.”
Setelah itu, Zawawi tak pernah berhenti menulis puisi, dan sebagian terinspirasi dari khazanah alam dan budaya Madura. Beberapa buku puisinya mencuri perhatian. Sebut saja, antara lain, ”Madura Akulah Lautmu” (1978), ”Bulan Tertusuk Ilalang” (1981), ”Celurit Emas” (1986), ”Bantalku Ombak Selimutku Angin” (1996), dan ”Madura Akulah Darahmu” (1999).
Penyair ini kerap diundang untuk membaca puisi atau berceramah di sejumlah kota di Tanah Air dan mancanegara. Meski aktif ke sana ke mari, dia tetap memilih tinggal di kampung halamannya di Batang-Batang. ”Saya tidak kerasan tinggal di kota. Suara saya mewakili alam pedesaan yang saya cintai,” katanya. (iam)
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Februari 2011
No comments:
Post a Comment