Sunday, February 27, 2011

[Kehidupan] Korupsi: Benih Itu Tumbuh dalam Keluarga

-- Myrna Ratna dan Nur Hidayati

SERING tidak disadari, benih-benih yang mengarah pada perilaku koruptif justru ditebar dari dalam keluarga. Hal-hal yang dianggap sepele, ketika dilanggar dan dibiarkan, akhirnya menjadi kebiasaan yang bebas dari rasa salah.

Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya melalui aspek hukum saja, tetapi juga melalui pembentukan moral sejak dini. Salah satunya lewat kantin kejujuran, seperti yang ditemui di SMP Negeri 75 Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (24/2). (FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Ketika anak sulungnya tidak lulus tes masuk untuk sekolah menengah atas favorit di kawasan Kebayoran, Jakarta, Andra (50)—bukan nama sebenarnya—sangat kecewa. Tanpa banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk mencari peluang melalui ”jalan belakang”.

Ia langsung menghubungi beberapa kenalannya yang kebetulan menjadi dewan pengurus di sekolah itu dan minta tolong agar anaknya bisa memperoleh ”bangku cadangan”. Singkat kata, sang anak bisa diterima di sekolah itu, namun dengan imbalan jumlah ”sumbangan gedung” yang lebih tinggi dibandingkan orangtua lainnya yang diterima lewat jalur normal.

Namun, Andra tidak merasa apa yang dilakukannya itu keliru. ”Loh, saya kan melakukan itu karena saya sayang sama anak. Saya ingin dia belajar di sekolah terbaik. Kalau sekolahnya tidak jelas reputasinya, mau jadi apa anak saya nanti?” kata Andra dengan nada tinggi.

Kadang, atas nama ”cinta pada anak”, orangtua rela menabrak rambu-rambu yang kebetulan di negeri ini dimungkinkan untuk dibengkokkan. Mereka sering lupa bahwa perilaku itu akan diinternalisasi oleh anak-anaknya.

Ari (20)—bukan nama sebenarnya—kecewa ketika orangtuanya tidak memberinya izin untuk mengikuti tes masuk di sebuah perusahaan swasta. Rupanya orangtua Ari lebih menginginkan putranya menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Untuk memuluskan keinginannya itu, ayah Ari yang pensiunan PNS sudah ”menitipkan” anaknya buat bekerja di tempat ia bekerja dulu. Lewat bantuan para kenalan ayahnya, Ari memperoleh pekerjaan sebagai tenaga magang. ”Sebenarnya saya ingin mencoba merasakan ikut tes kerja dan mencoba mandiri. Tetapi, saya juga tidak berani melawan orangtua,” kata Ari pasrah.

Menumbuhkan kepercayaan

Psikolog Theresia Sapto (49) menyadari bahwa keluarga menjadi benteng pertama untuk menanamkan nilai antikorupsi dan orangtua menjadi sosok paling penting untuk mentransfer nilai-nilai itu.

”Ketika anak saya sekarang sudah cukup dewasa, masalah itu bisa kita diskusikan dengan terbuka. Jadi, kita sering bareng-bareng membahas kasus-kasus korupsi yang ada di televisi atau koran,” katanya.

Namun, nilai-nilai itu secara kontinu telah ditanamkannya sejak anak-anaknya masih kecil. ”Intinya saya selalu mengatakan kepada mereka untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kalau diberi uang untuk bayar uang sekolah, ya untuk uang sekolah, tidak boleh 'dipinjam' untuk jajan dulu. Juga dalam mengatur waktu, kalau pas jam untuk belajar ya untuk belajar, bukan untuk main,” tambahnya.

Ketika memasuki masa sekolah, anak-anak sebetulnya telah dihadapkan pada tantangan yang paralel dengan dunia orang dewasa. Misalnya saja, mereka harus menghadapi godaan menyontek, menjiplak, perlakuan diskriminatif, bahkan ancaman bully.

”Intinya, itu adalah perilaku yang curang karena ada pihak yang dirugikan. Cara saya mengatakan kepada anak-anak bukanlah ”jangan menyontek”, tapi saya katakan bahwa ketika kamu bisa melakukan sesuatu karena upaya sendiri, itu akan membuat kita percaya diri,” kata Theresia.

Demikian juga dengan berbohong. ”Anak-anak sudah mengerti bahwa ketika mereka berbohong maka yang tidak bisa mereka bohongi adalah diri mereka sendiri,” tuturnya.

Serius

Ketika dewasa, dorongan menyontek itu tidak mustahil berkembang menjadi plagiarisme, bahkan yang lebih luas lagi pembajakan. Sikap ”titip-menitip” itu bisa mengarah pada perilaku nepotisme dan kolusi dan semua itu akhirnya menggenapkan perilaku koruptif.

Lily (36)—bukan nama sebenarnya— manajer divisi sebuah perusahaan di Jakarta, menggambarkan mengapa tas bajakan dari merek-merek terkenal yang ia perjualbelikan selalu laku keras. ”Masalahnya, selera itu enggak equal dengan uang. Jadi, yang 'kawe-kawe' (istilah untuk produk bajakan yang berkualitas) itulah yang terbeli, itu pun pakai kredit,” kata Lily.

Ia tahu persis bahwa menjual atau membeli produk bajakan itu menyalahi aturan. ”Akan tetapi, apa boleh buat... kantong yang bicara,” kata Lily, yang memperoleh pasokan dari penyuplai yang berada di Batam. Produk tas dan dompet itu kebanyakan buatan China, Hongkong, dan Korea.

Menurut Lily, tas-tas bermerek itu dibajak dalam beberapa tingkat kualitas. Dari pengalamannya, ia bisa membedakan tas bajakan dengan kualitas KW II sampai kualitas ”premium”. KW II biasanya dijual dengan kisaran harga Rp 300.000-Rp 400.000 per buah. KW I dijual mulai harga Rp 500.000- Rp 1 juta. Sedangkan kualitas premium sebuah tas bisa dijual dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta; bandingkan dengan tas bermerek asli yang harganya Rp 20 juta-Rp 30 juta.

Di Jakarta, tas-tas bajakan seperti itu dapat dibeli bebas di sejumlah mal. Budi (43) yang siang itu membeli dompet di sebuah gerai di kawasan Sudirman mengatakan, ia tahu barang yang dijual di situ bajakan, namun ia tak peduli. ”Saya beli karena dompet ini murah, model dan bahannya juga lumayan,” katanya.

Sementara Dhea (34) yang rajin mengoleksi DVD film impor bajakan sejak lima tahun terakhir menilai, tindakannya itu bukan hal keliru sepanjang ia tidak membeli bajakan film ataupun musik produksi negeri sendiri.

”Aku enggak pernah nyontek, enggak pernah nyogok termasuk kalau bikin KTP atau apa pun. Aku cuma beli DVD bajakan karena rasanya enggak salah-salah amat. Soalnya negara-negara Barat, termasuk produsen Hollywood, itu sudah banyak banget ambil untung dari pasar negeri ini,” ujar karyawati swasta ini.

Namun, Karlina Supelli, pengajar di Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, dalam diskusi ”Korupsi yang Memiskinkan”, Selasa (22/2) lalu di Hotel Santika Jakarta, mengingatkan bahwa perilaku menyontek, menjiplak, ataupun sesamanya merupakan korupsi. Kelihatannya seperti ”bukan korupsi” karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. ”Saya mohon, jangan beri toleransi untuk kecurangan,” katanya. (YULIA SAPTHIANI)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

No comments: