Jakarta, Kompas - Korupsi telah menyebar dalam sendi hidup bangsa ini. Karena itu, perang panjang melawan korupsi tidak mungkin dimenangkan tanpa ada perombakan sistem pendidikan, dari hanya peduli pada aspek kognitif menjadi lebih fokus membentuk karakter.
Demikian disampaikan sejumlah pembicara pada hari kedua seminar nasional Kompas tentang ”Korupsi yang Memiskinkan”, Selasa (22/2) di Jakarta.
”Pendidikan kita hanya kembangkan aspek kognisi. Tidak pernah dipertanyakan, cerdas dan pintar untuk apa? Seharusnya yang dididik dahulu adalah hasrat dan kebiasaan publik,” kata Karlina Supeli, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Menurut Karlina, bangsa ini membutuhkan model ”Restorasi Meiji” di Jepang, yang menekankan pendidikan tiga tahun sesudah sekolah dasar untuk kewarganegaraan, pembentukan karakter, dan pendidikan tentang kehidupan bersama dalam masyarakat.
”Kita butuh sekolah yang sanggup melahirkan generasi manusia yang siap menjalin pengetahuan berbasis integritas, yang mengejar pengetahuan untuk kebaikan bersama, dan mengembangkan pengetahuan tidak terkorupsi dan bukan untuk korupsi,” kata Karlina.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengingatkan, korupsi hanya bisa dikalahkan oleh generasi yang memiliki idealisme tahan banting, bukan idealisme musiman yang rentan godaan benda dan kekuasaan. Dia juga mengkritik adanya pemisahan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.
Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, berharap, Kementerian Pendidikan Nasional yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi serius mengembangkan kurikulum antikorupsi. ”Memang tidak mudah karena Kemdiknas juga sarang korupsi,” kata Zainal.
Gerakan sosial
Bambang Widjajanto, pengajar di Universitas Trisakti, juga menekankan pentingnya pendidikan karakter antikorupsi. Hal tersebut bisa dimulai di tingkat keluarga.
Dengan menyitir ucapan Bung Hatta, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya, Bambang mengingatkan korupsi saat ini semakin masif, sistemik, dan terstruktur dalam sendi kehidupan masyarakat. Untuk melawan itu, tidak mungkin hanya dengan tindakan afirmatif ataupun melalui proses hukum.
Ahmad Syafii Maarif juga mengingatkan bahwa komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi diragukan. Demikian halnya tak ada partai politik yang bisa menjadi partner dalam pemberantasan korupsi yang sudah meluas. Karena itu, harapan hanya tinggal pada gerakan rakyat. (AIK)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 Februari 2011
No comments:
Post a Comment