-- M Arman AZ
BALI telah lama dikenal sebagai surga pariwisata. Panorama alam yang berpadu dengan aspek budaya dan spiritual menjadikan Bali sebagai suaka wisata bagi turis-turis asing. Oleh pemerintah Indonesia, Bali didesain sebagai ikon atau wajah pariwisata di luar negeri. Pulau Dewata itu dieksploitasi sedemikian rupa sebagai tambang uang untuk mengisi pundi-pundi negara, sementara yang masuk ke kantong rakyat Bali tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Sekian tahun silam sebagian kalangan di Bali mengkritisi konsep itu hingga muncullah pemeo Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali.
Gemerlap industri pariwisata dan globalisasi yang mengepung Bali seperti menenggelamkan sejarah kelam yang pernah terjadi di sana. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa puluhan tahun silam ada pelanggaran kemanusiaan yang nyaris tak terekspos ke publik. Pembunuhan sejumlah jenderal di Jakarta akhir September 1965 berbuntut pada genosida nyaris di seluruh pelosok Indonesia. Dengan dalih memberantas ideologi komunis, korban pun berjatuhan.
Demikian pula di Bali. Stigma komunis dialamatkan secara membabi-buta kepada rakyat Bali yang justru tak tahu-menahu tentang gejolak politik dan konspirasi perebutan kekuasaan di Jakarta kala itu. Mereka “dibersihkan” tanpa diberi hak membela diri di pengadilan. Lebih ironis lagi, tak jarang penjagalnya bukan cuma kelompok tertentu, namun bisa jadi tetangga atau saudara sendiri. Semua berdasarkan sentimen ideologi, kepentingan pribadi, dan golongan.
Jumlah valid korban di Bali simpang-siur. Sejumlah versi laporan, resmi pemerintah maupun independen, menyebutkan mencapai puluhan ribu jiwa. Mayoritas saksi korban memilih bungkam. Sebagian lagi pergi meninggalkan Bali, mengubur ingatan buruk itu, dan menolak pulang ke kampung halaman. Orde Baru sukses mengeliminir dampak kekejaman itu dengan konsep pariwisata. Seluruh warga Bali, sepakat atau tidak, pun tergiring memutar mesin industri pariwisata. Andai pun ada yang berusaha mendongkel kembali ihwal itu, terdengar sayup-sayup sampai.
Maka, menarik juga memergoki antologi kumpulan cerpen Lobakan yang nyaris tak tersentuh publikasi, bukan hanya di kalangan sastra namun juga di kalangan politikus dan aktivis pembela HAM. Buku ini diterbitkan tahun silam oleh Penerbit Koekoesan, bekerja sama dengan Imparsial, Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan, dan Yappika. Bahkan fakta yang di dapat kalangan aktivis LSM, yang beruntung masih hidup pun hingga kini dihantui trauma.
Ada 22 cerpen karya 14 penulis yang terangkum dalam buku ini. Nyaris seluruh cerpen memiliki napas yang sama, mengambil sudut pandang para korban pembantaian di Bali. Semacam interpretasi terhadap ingatan buruk yang sekian lama terkunci dalam memori orang-orang yang mengalami langsung peristiwa itu. Kisah-kisah mengenaskan memenuhi mayoritas cerpen: dipenggal di tepi pantai, sungai, atau jurang; diberondong peluru, dan orang-orang yang ketakutan disangkutpautkan dengan komunis. Bisa disimak misalnya dalam cerpen “Bantiran”, “Pemburu Buaya”, “Kakek Perak”, atau “Made Jepun”.
Ada cerpen yang berangkat dari naskah monolog, yaitu “Pidato” (Putu Fajar Arcana). Cerpen yang mengambil sudut pandang berbeda adalah “Pedang Samurai di Bawah Tempat Tidur” (Sunaryono Basuki KS) yang mengupas sisi psikologi pelaku pembantaian. Nasib buruk juga menimpa pelajar dan mahasiswa Indonesia yang kala itu melanjutkan pendidikan di luar negeri. Meski nyawa tak melayang, mereka tetap terkatung-katung di negeri orang, terkena imbas gejolak politik di Indonesia kala itu (“Jejaring Screening”, Soeprijadi Tomodihardjo).
Kehadiran buku ini jangan dianggap propaganda mengorek luka lama, namun sebagai pengingat bahwa di balik pariwisata Bali yang gemerlap itu, ada sisi kelam kemanusiaan yang nyaris raib ditelan masa. Boleh juga dimaknai sebagai langkah kecil namun berharga untuk melunasi hutang sejarah. Bukankah bangsa ini acap melupakan sejarahnya sendiri?***
M Arman AZ, cerpenis dan pembaca buku. Tinggal di Bandarlampung.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment