Friday, February 25, 2011

"Haatzaai"?

-- Muladi

BANYAK aktivis yang kemudian menjadi pejabat negara—seperti juga penulis dan Bung Dipo Alam—mengalami semacam ”guncangan budaya”.

Saat berada di luar pemerintahan, apalagi sebagai aktivis, apa yang dilakukan pemerintah selalu salah dan dikritisi habis-habisan. Mereka beranggapan segala sesuatu sebenarnya gampang, tetapi aparaturnya bodoh dan tak profesional. Suara mereka menggema kuat dan luas berkat pers dan media massa. Para aktivis sadar, media massa sangat strategis dalam kehidupan politik. Fungsi media massa tak hanya mengabarkan peristiwa kepada masyarakat, tetapi juga menafsirkan dan menganalisis kejadian, menyosialisasikan kultur politik, menawarkan solusi, serta persuasi dan propaganda.

Tekanan kepada pers

Pada era Orde Lama dan Orde Baru yang tidak demokratis, media massa sering mengalami tekanan dengan alasan menjaga stabilitas politik. Insan pers diintimidasi secara verbal ataupun melalui aturan publikasi represif. Sebutlah wewenang mencabut surat izin penerbitan dan kode etik yang mengandung sensor preventif—yang tabu dalam kehidupan berdemokrasi. Insan pers selalu sadar, masih ada peraturan warisan kolonial yang kini masih berlaku, yaitu pasal-pasal penaburan permusuhan dan kebencian (haatzaai artikelen).

Di antaranya, Pasal 154 KUHP yang diimpor pemerintah kolonial Belanda dari India pada 1918 semasa penjajahan Inggris. Pasal yang bersumber dari Pasal 124a KUHP India ini mudah diterapkan karena di samping istilah permusuhan dan kebencian sangat multitafsir, perumusannya yang formal memudahkan penerapan tanpa pembuktian.

Pasal ini seperti di negara asalnya, banyak membawa korban karena digunakan pemerintah kolonial memberantas gerakan kemerdekaan. Banyak tahanan politik terjaring pasal ini dengan alasan menyebarkan permusuhan dan kebencian (haatzaai) kepada pemerintah. Istilah delik pers (pers-delict) adalah hantu yang harus diwaspadai dan harus ditentang habis-habisan.

Setelah berada di lingkaran kekuasaan, para aktivis baru sadar, memerintah tidaklah mudah. Dari sisi instrumental ataupun lingkungan strategis nasional, regional, dan global, kondisi sangat kompleks dan segala masalah harus diselesaikan secara sistemis, tak boleh sepotong-sepotong dan gegabah. Karena itu, para mantan aktivis tak begitu terkejut dengan reaksi Bung Dipo yang meledak-ledak meski reaksi ini patut disayangkan. Bung Dipo menyebut para tokoh lintas agama—yang mengatakan pemerintah bohong dan membuat gerakan antikebohongan—sebagai gagak hitam pemakan bangkai dengan wujud merpati putih. Demikian pula dengan kata-kata pengamat bermata kalong. Bung Dipo agaknya merasa pemerintah telah mati-matian melaksanakan program pembangunan.

Jaminan undang-undang

Namun, yang mengejutkan adalah seruan Bung Dipo agar pejabat pemerintah memboikot media massa (TV dan surat kabar) tertentu karena dia anggap telah menyebarkan berita kebencian kepada pemerintah. Hal ini mengakibatkan manajemen Metro TV dan koran Media Indonesia meminta pengacara OC Kaligis menyomasi Bung Dipo karena dianggap melanggar prinsip UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Keterkejutan ini berdasarkan keyakinan bahwa sejak UU Pers di atas, kebebasan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi diakui oleh negara. Dalam masyarakat yang kompleks dan demokratis, pers adalah wakil (surrogate) masyarakat. Pers tak hanya diharapkan melaporkan berbagai kejadian, tetapi juga jadi pengawas ketidakefisienan, ketidakefektifan, dan ketidakadilan pemerintahan. Namun, setiap insan demokratis juga setuju, kejujuran jurnalistik dalam bentuk pemberitaan yang berimbang juga harus dilakukan. Demikian pula sikap menghormati hak dan kemerdekaan orang lain, keamanan dan ketertiban umum, serta tuntutan yang adil atas dasar pertimbangan moral.

Mantan aktivis pasti prihatin apabila Bung Dipo Alam sampai mencederai nilai-nilai atau asas- asas dasar demokrasi yang dahulu juga dia perjuangkan. Di negara hukum yang demokratis, mekanisme penegakan hukum dan etika profesional harus dimanfaatkan. Mulai dari hak jawab, mekanisme penegakan etika jurnalistik di Dewan Pers, sampai peradilan pidana atau perdata.

Para guru besar hukum pidana yang saat ini merancang RUU KUHP baru menyarankan, perilaku pers yang kritis terhadap pemerintah jangan dinilai dengan istilah permusuhan dan kebencian (haat, hate, hatred) yang maknanya sangat elastik. Istilah yang lebih tepat adalah penghinaan kepada pemerintah dalam bentuk sengaja menyerang kehormatan dan nama baik pemerintah, menista, serta memfitnah.

Perumusan formal harus ditinggalkan dan diganti dengan perumusan materiil. Artinya, penghinaan harus sudah menimbulkan keonaran yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Muladi, Guru Besar Undip

Sumber: Kompas, Jumat, 25 Februari 2011

No comments: