-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara
ENAM mahasiswa teknik mesin Universitas Hasanuddin bergulat dalam pembuatan robot. Pencapaian mereka sesungguhnya bisa jadi sudah terpikirkan Karaeng Pattingalloang, cendekiawan sekaligus Mangkubumi kerajaan kembar Gowa-Tallo yang menyusuri bumi dengan otaknya, empat abad silam.
Sisa bangunan Benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu peninggalan monumental Kerajaan Gowa, Senin (14/2). (KOMPAS/RIZA FATHONI)
Syamsuar, Ridwan, Ricky, Muhammad Rahman, Zulkifli, dan Zulfatri telah menghasilkan sejumlah robot, seperti pemadam kebakaran, pengecat, robot berjalan, pengangkut sampah, dan kursi roda otomatis. Seperti Karaeng Pattingalloang yang tak pernah berhenti menyusuri tiap labirin pengetahuan, enam mahasiswa ini memacu diri untuk berkreasi dengan ide-ide baru.
Apa yang dilakukan anak-anak muda ini setidaknya mengajak kita untuk melupakan sejenak aksi demo mahasiswa di Makassar yang belakangan ini mengantar kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu dikenal sebagai kota rusuh. Pada abad ke-18 Belanda memang pernah melabeli Sulawesi—termasuk Makassar (kala itu merupakan wilayah bandar niaga Kerajaan Gowa)— sebagai Pulau Keonaran atau (onrust eiland). Namun, berkat kecemerlangan otak Perdana Menteri Kesultanan Gowa I Mangngadacinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, label itu terhapuskan.
Pattingalloang yang kemudian bermenantukan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa ke-16) sudah berpikir global, dengan bermitra bersama saudagar dari Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, China, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Inggris.
Nirwan Arsuka dalam artikelnya di Kompas (1/1/2000) menggambarkan, abad ke-17 Makassar adalah bandar paling ramai dan kosmopolit di belahan Timur Nusantara. Sejarawan Suryadi Mappangara menimpalinya dengan menyebut Pattingalloang sebagai astronom yang menguasai lima bahasa, yakni Belanda, Portugis, Inggris, dan Spanyol.
Upaya untuk membalik ”stigma” menjadi ”citra” kini marak dilakukan anak-anak Makassar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kehadiran koran digital beralamat www.panyingkul.com, lima tahun silam, menjadi wadah para warga untuk menyajikan dan mengkritisi transformasi budaya Makassar dan daerah sekitarnya, sekaligus menggali nilai kearifan lokal.
Ruang itu direspons baik oleh para penulis lepas yang dengan setia mengirimkan tulisan tentang berbagai situs dan persoalan di Sulawesi Selatan, dari Lapangan Karebosi, sedimentasi di Sungai Jeneberang, minimnya kunjungan di Museum Kota Makassar, hingga aktivitas penenun sutra di Sengkang, Wajo.
Apa yang dilakukaan generasi sekarang seolah menjawab getirnya pemandangan di situs-situs peninggalan Kerajaan Gowa, termasuk di area Benteng Somba Opu yang belakangan menuai kontroversi menyusul pembangunan wahana rekreasi.
Situs peninggalan
Jejak kejayaan Kerajaan Gowa dan bersama 14 benteng lainnya dulu dibangun untuk membentengi kekuatan maritim Kerajaan Gowa. Kini secara fisik hanya Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang masih tersisa. Sisanya, dilibas oleh permukiman penduduk, pabrik, dan pertokoan.
Mereka yang berusaha mengais-ngais masa lalu bisa mengunjungi tempat peristirahatan terakhir para raja di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
Petilasan ini tentu tidak lagi mampu menceritakan keberanian para raja mengusir penjajah. Yang ada hanya para penjaga dan pemandu yang berharap bisa memperoleh uang tip dari pengunjung.
Bangunan fisik peradaban memang selalu terancam kehancuran. Karena itu, warisan yang seharusnya dijaga bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga spirit dan nilai-nilai. Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Kerajaan Tallo dalam semua pergulatannya adalah cikal bakal generasi yang kini berdiam di sepanjang jazirah selatan Sulawesi.
Tak terurus
Kawasan rumah adat ini berada dalam wilayah Benteng Somba Opu seluas 150 hektar, saat itu selain tidak terurus, juga menuai kontroversi seiring rencana pembangunan wahana rekreasi di sebelah timurnya.
Ide pengembangan kawasan benteng ini sebetulnya sudah muncul sejak era Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin Pabittei pada tahun 1995. Gubernur yang mantan Rektor Universitas Hasanuddin itu prihatin melihat reruntuhan benteng pertahanan Gowa tersebut tidak lagi ramai dikunjungi.
Kala itu, pembangunan rumah adat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah, diharapkan mampu menarik minat wisatawan menuju Benteng Somba Opu. Namun, seiring berjalannya waktu, perawatan rumah diabaikan. Ketika rumah adat melenceng dari fungsi awalnya, benteng pun tak terurus.
Yang kini bisa ”dijual” dari Somba Opu memang hanyalah batu-batu padas yang koyak. Kokohnya dinding di empat penjuru dan menara (bastion) pengintai dihancurkan setelah Kompeni Belanda menancapkan kekuasaannya atas Gowa lewat Perjanjian Bungaya tahun 1667. Gowa telah membuktikan ungkapan ”Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Berjaya)!
Setelah kejayaan Kerajaan Gowa tersapu waktu, mestinya memang tibalah saatnya anak-anak muda Gowa-Makassar menorehkan sejarah mereka sendiri. Tentunya dalam konteks yang beradab dan bermartabat. Bukan dengan aksi demo menjurus anarkistis yang menodai nama besar cendekiawan Gowa, Karaeng Pattingalloang.
Dalam konteks kebijakan transportasi laut, peran Gowa empat abad silam sebetulnya layak menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat. Dulu, tanpa peran negara, Pelabuhan Makassar menyaingi pamor Pelabuhan Singapura. Kini, di tangan negara, pamor itu malah meredup.
Padahal, potensi untuk menyaingi Singapura amat terbuka mengingat lokasi Makassar sangat strategis: berada di poros Asia-Pasifik dan jalur utama pelayaran Nusantara.
Inspirasi dari Gowa mestinya menyadarkan pemerintah mengoptimalkan transportasi laut di negara yang memiliki 17.000 pulau ini.
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011
No comments:
Post a Comment