-- Krisna Murti
HONF (House of Natural Fiber) memenangi festival media baru internasional Transmediale Award di Berlin, Jerman, 6 Februari 2011. Ini fenomenal karena komunitas seni Yogyakarta yang dimotori Venzha, Togar, dan Andreas menyisihkan 1.000 seniman dari seluruh dunia!
Di Gedung HacKaWay, mewakili juri, Micz Flor, mengumumkan proyek seni fermentasi generik HONF ”Intelligent Bacteria, Saccharomyces Cereviciae” terbaik dari tujuh unggulan. Karya kolaborasi dengan para periset Departemen Mikrobiologi Universitas Gadjah Mada dinilai orisinal, inovatif, dan visioner.
Transmediale sesungguhnya sebuah infrastruktur seni, mata rantai yang sengaja dibangun untuk menjadi penggerak budaya media baru dunia. Kiprah dan kewibawaannya bisa disejajarkan dengan Ars Electronica di Lintz, Austria. Kesadaran pelembagaan media baru ini bertujuan mendefinisikan kontur budaya (digital) kontemporer serta keberbedaan penguasaan teknologi di masyarakat. Sebagai festivity, ritus seremonial dikesampingkan. Yang terjadi adalah peristiwa dan perayaan inovasi, praktik jejaring serta mengetengahkan kemajuan artistik serta dampak sosial, politis dan kulturalnya.
Di sini kita bisa menyaksikan seni video, patung bunyi, seni perangkat lunak hingga hacktivisme. Dalam sambutan Stephen Kovats, direktur artistik, menekankan bahwa tanggapan dan kemampuan—menunjuk HONF dan peserta lain—merupakan skenario partisipatoris dalam rangka membentuk budaya media dan jejaring kontemporer hari ini yang faktanya riuh (cacophonous), instan, dan saling bergantung. Selain kategori karya seni untuk HONF, Transmediale ke-11 memberikan penghargaan teori Vilem Flusser Theory Award kepada Jordan Crandall (AS) serta Open Web Award kepada Evan Roth (Spanyol/Perancis) untuk proyek open source-nya.
Fermentasi ke solusi
Transmediale terlihat konsisten dengan memenangkan karya media dari negeri di mana paradoks budaya media lebih ekstrem. Itukah yang disebut Kovats ”partisipasi”? Dari sisi tema, ”Intelligent Bacteria” memang terkesan remeh-temeh: memfermentasi buah lokal seperti nangka, nanas, aren dan salak, hingga menjadi produk etanol (alkohol) yang murah, higienis dan mudah dibuat dalam skala rumahan. Menjadi tidak sepele karena sejatinya inovasi ini berawal dari keprihatinan sosial HONF atas tewasnya sejumlah orang di beberapa daerah gara-gara menenggak minuman lokal bermetanol.
Menurut para ilmuwan yang terlibat, ini terjadi karena proses fermentasi yang ngawur. Alih- alih etanol, yang dihasilkan justru metanol, bila dikonsumsi terus- menerus mengakibatkan kebutaan bahkan kematian. Singkat kata, inovasi HONF intinya adalah solusi. Pertanyaannya, bukankah sebuah seni hakikatnya (hanya) memperlihatkan kenyataan?
Sebagai rangkaian festival, HONF menggelar pula workshop seni budidaya (Art in Culture) di mana publik bisa melihat dan mencoba melakukan fermentasi. Peristiwa partisipatif serupa sebetulnya juga dilakukan sebelumnya di beberapa kota dan bulan lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada pameran ”Influx: Multimedia Art Strategy in Indonesia”.
Peristiwa performatif ini jelas mempertontonkan aksi transfer of knowledge dari sebuah seni yang sudah berkawin silang dengan sains dan teknologi. Sebab itu, karakter seninya terlihat bernuansa sains Aristotelian yang investigatif-empirik, serta bermuatan teknologi di mana pengorganisasian, sistem, alat, teknik dan metode untuk menjawab persoalan sehari-hari manusia menjadi penting.
HONF memang terlihat mengambil jalan yang berbeda dengan arus besar seni (rupa) yang berpusar pada politik visual, dengan memercayai obyek seni adalah otonom. HONF justru menjalaninya sebagai ”seni sistem”. Marga Bijvoet menggambarkan: karya seni menjadi bagian dari konteks yang lebih luas, dan kontekstualisasi ini menjadi awal seniman menciptakan karya yang bukan lagi obyek, tetapi karya yang mengandung unsur- unsur yang berhubungan satu dengan lainnya dalam sebuah sistem (Art as Inquiry , Toward New Collaborations between Art, Science, and Technology, 1997).
Perubahan sosial
Saya kira, hal yang paling menarik dari ”Intelligent Bacteria” ialah kemampuan membaca, mengurai, mengkritisi bahkan menawarkan solusi dari sebuah perubahan kultur yang hidup di masyarakat. Di tangan HONF, seni, misalnya, bisa memperlihatkan relasi sebuah kebijakan pemerintah menaikkan cukai alkohol dengan kasus kematian akibat keracunan metanol. Atau pemanfaatan (fermentasi) buah-buahan lokal yang mengekalkan kelokalan, yang otomatis memberi dampak positif pula bagi keberlangsungan keragaman minuman tradisional di masyarakat Bali, Manado, Toraja, Sumatera Utara, dan di sejumlah pulau Indonesia timur. Ini semua agaknya menepis mitos bahwa seni tidak bisa menjalankan fungsi perubahan sosial yang nyata.
Di tengah paceklik dinamika seni (rupa)—pasar, eksperimentasi, dan infrastruktur—kemenangan HONF ini sesungguhnya sebuah pencerahan. Momen penghargaan ini terlalu berharga untuk dilewatkan sebagai arah baru seni di Tanah Air. Sesungguhnya saya harus angkat topi kepada HONF yang selama ini lebih banyak memberi seni ketimbang memperoleh dari seni. Anda?
Krisna Murti, Seniman dan Penulis Media Baru
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Februari 2011
No comments:
Post a Comment