Sunday, February 27, 2011

Lain Ladang Lain Belalang

-- Remy Sylado*

NUR, ada dua prosa bagus pada pekan-pekan terakhir ini terpajang di toko buku yang patut kau jadikan koleksi di dalam perpustakaanmu.

Pertama, Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, agaknya nama asli. Kedua, Blues Merbabu karya Gitanyali, agaknya nama sasaran.

Kebetulan kedua pengarang ini sama-sama berasal dari lingkung kerja kewartawanan. Jadi rasanya kau tidak perlu ragu, Nur, bahwa mereka sudah terlatih menulis dengan pandai. Sebab, kalau kau pernah melongok cara kerja kewartawanan, tentu kau tahu bagaimana mereka dilatih untuk bukan hanya sekadar pandai saja tetapi juga cendekia. Istilah sinis Belanda di Indonesia zaman lampau menyangkut kecendekiaan wartawan adalah meester op alle wapens, cempiang atas segala senjata.

Begitulah, Nur, saya sedang membeka kau, bahwa kedua buku ini bagus, sebab penulis-penulisnya—yang notabene berangkat dari latar belakang keyakinan berbeda, dan sekaligus itu mengingatkan kita akan adanya kalimat sakti ”bhinneka tunggal ika”–bercerita di bawah leluri yang tak sama atas jiwa ”cempiang segala senjata” tersebut, disertai ungkapan-ungkapan plastis yang karuan memberimu pengetahuan mendasar peri kehidupan insani yang beragam dari pengalaman-pengalaman pribadi mereka.

Ketika saya mengatakan padamu perkara pengalaman pribadi, dengannya saya bermaksud menyampaikan kesimpulan, bahwa membaca prosa di atas sama seperti menyimak dengan interesan model bacaan catatan harian. Sebuah catatan harian biasanya memikat sebab di situ pelaku utama yang membangun cerita adalah sang Aku yang menguasai betul jalannya citarasa, intuisi, emosi, pathos, pendeknya asosiasi gagasan-gagasan secara utuh. Selain itu, dengan menempatkan sang Aku sebagai subyek bersama-sama dengan sosok-sosok pendukung antara peranan Dia-Mereka-Kamu-Kalian, maka di situ penulisnya bisa menyusun daya ingat kreatifnya dengan leluasa atas kejadian-kejadian masa lampau untuk menjadi aktual pada masa kini.

Catatan harian

Seingat saya, bentuk catatan harian paling masyhur sebagai prosa adalah cerita tentang anak Yahudi yang bersembunyi di atas loteng sebuah rumah tingkat di Amsterdam pada masa Perang Dunia II. Tentu saja saya tidak mengatakan padamu bahwa kedua prosa di atas, khususnya karya Gitanyali yang begitu telanjang, adalah sebuah catatan harian. Catatan harian mengacu pada fakta. Sedang kedua prosa di atas adalah fiksi. Toh kedua-duanya membutuhkan imajinasi. Sebab imajinasi adalah motor bagi semua karya kreatif.

Memang, saya melihat Blues Merbabu dan Ranah 3 Warna seperti dua buah catatan harian imajinatif. Cara penulisannya pun amat mengandalkan imajinasi pada ingatan-ingatan kreatif atas situasi dramatis, romantis, namun realistis, dari masa yang sudah berlalu, menjadi aktual dan menawan pada masa sekarang dan kelak. Untuk hal tertentu menyangkut lancarnya mengacu peristiwa-peristiwa manusiawi dan plastisitas penulisan kejadian-kejadian ragawi, akhirnya saya ingin bilang ini sejenis catatan harian dalam fiksi yang muazam.

Lumrahnya catatan harian ditulis mengikuti langkah-langkah retrospektra, sementara kedua prosa di atas cenderung dibilang meyakinkan sebagai fiksi yang ditulis dengan dua langkah, yaitu introspektra: pengamatan penghayatan atas diri sendiri, dan ekstrospektra: pengamatan penghayatan atas diri orang lain. Biasanya para aktor teater, dalam metode realisme dalam atau inner-realism yang belajar dengan tertib perkara retrospektra: mengamati penghayatan dengan melihat cermin di saat kejadiannya tengah berlangsung.

O, ya, Nur, dalam pada itu, perlu kau ketahui, Ahmad Fuadi adalah orang Minang yang tidak tertarik berdagang, alumnus Pondok Modern Gontor, beristri satu, dan selama tinggal di rumah kos pada masa kuliahnya selalu ditaburi doa-doa pengharapan oleh ibu dan ayahnya.

Kemudian, Gitanyali, orang Jawa berambut kribo macam Ahmad Albar yang fotonya pun ditaruh di cover buku, tak menyebut secara persis pawiyatannya, tapi terbuka dan lugu menyatakan di masa kanak dirinya sudah berhubungan seks dengan banyak wanita kelas tante-tante berumur 30 tahun, dan menanggung masalah karena cap PKI.

Nah, begitu, Nur, yang bisa kau baca dari kedua prosa tersebut.

Supaya kau bisa pula membayangkan sekilas tentang hal-hal yang menarik dan katakanlah itu merupakan sisi-sisi timbangan bobotnya, baik saya ambil kutipan yang menunjukkan harkat penulisnya.

Dari Ranah 3 Warna, saya kutipkan buatmu pernyataan Fuadi di halaman 331, yaitu dialog antara sang Aku dan Rusdi: ”Rus, kiaiku dulu mengajariku untuk man shabara zhafira. Artinya, siapa yang sabar akan beruntung. Jadi selama kamu sabar, hanya soal waktu, keberuntungan ini akan hadir cepat atau lambat.” Pernyataan ini masih diulanginya lagi di halaman 334, ”Man jadda wajada dan man shabara zhafira, itu tekadku.”

Prosa Fuadi ini seperti mengajak kau belajar pelbagai pengetahuan sambil berwisata di banyak tempat. Penggambarannya terhadap berbagai negeri dengan ciri-ciri lokasinya lumayan detail. Dia memang pernah tinggal di Kanada, Amerika Serikat, Singapura, London, Aman, dan lain-lain. Kalau kau punya bukunya, kau bisa lihat di sampulnya ada gambar peta Saint Raymond di Kanada, Amman di Jordania, dan Bandung di Jawa Barat.

Lelucon, kalau boleh dibilang begitu, yang sudah terlalu klise, adalah cerita soal nama Bali dan Indonesia di luar negeri sana. Ini muncul di halaman 345. Ceritanya begini:

”Dari mana Anda berasal, my friend?” tanya Lance padaku tiba-tiba, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.

”Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?”

”O, saya pernah melihat sebuah pulau indah tropis bernama Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan pantai. Apakah Indonesia dekat dengan Bali?”

”Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia,” aku mencoba menjawab dengan sabar.

Tetapi, dari Blues Merbabu kau dapatkan kata-kata mutiara, dan hal itu pasti bisa membuatmu terinspirasi untuk hidup semadyanya. Di halaman 167 Gitanyali memberi kawruh buatmu. Katanya, ”Tidak benar orang berhenti hidup dalam mimpi ketika usia bertambah dan menjadi tua. Orang menjadi tua karena berhenti bermimpi. Aku tidak pernah menjadi tua.”



Setelah itu, ada adegan karikatural tersua di halaman 172. Ini soal yang tertutup untuk dibicarakan pada zaman penjajahan Orde Baru: rezim militeristis yang sangat ketat memberlakukan apa yang disebut-sebut sebagai bersih lingkungan dalam pers terhadap keluarga PKI. Di situ ada percakapan antara sang Aku dan Nita tentang perasaan menjadi anak PKI.

”Aku tidak pernah membaca doktrin Marx atau Lenin. Semasa kecil aku membaca Winnetou, komik-komik roman, bacaan porno berbentuk stensilan, menyukai Window of the World, Reader’s Digest, tak bisa melupakan Butch Cassidy and the Sundance Kid, The Graduate…”

”Jadi apa itu komunisme?”

”Kamu seharusnya dulu tanya Soeharto, Sudomo, atau siapa saja yang antikomunis. Yang komunis membaca Marx dan Lenin. Yang antikomunis memahami Marx dan Lenin. Aku bukan dua-duanya. Kalau kamu bertanya kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya mungkin aku bisa menjawab…”

Gitanyali memang menunjukkan sosok sang Aku akrab dengan budaya pop. Dia bicara soal Grand Funk Railroad (hal 185), Woodstock (hal 64), memuja Katharine Ross (hal 161), menguping Shocking Blue (hal 117), suka Tommy James & The Shondells (hal 63), berfoto di poster Bob Dylan (hal 131), tapi membilang Che Guevara heroik (hal 160).

Dan, yang menonjol di sini adalah lelaki—dalam sosok sang Aku—merupakan teladan jago cinta yang memperoleh kepintarannya itu dari pengalamannya dengan banyak wanita sejak masih berbau kencur. Maka, jika berpihak pada pikiran kakek-kakek jadul: Belajarlah bikin dosa dengan alasan cinta pada sosok sang Aku dari Blues Merbabu ini.

Nah, Nur, itu sekelumit simpai dari dua prosa di atas yang barangkali menarik juga buatmu. Selebihnya baca saja sendiri. Mungkin kau punya pendapat yang berbeda dengan saya. Maksud saya, kita harus belajar kembali bersikap semadyanya terhadap semua hal: kebudayaan, kemasyarakatan, politik. Jika saya bilang kedua prosa di atas bagus, saya tidak boleh memaksamu untuk menjadi sama seperti saya. Soalnya ini perkara kesenian, galib terjadi ketaksamaan selera. Bukankah kita pun punya hafal-hafalan ”bhinneka tunggal ika” yang kini sedang diuji kembali kesaktiannya, dan konon di setiap ladang selalu ada belalang yang berbeda, Nur?

*) Penulis terpilih oleh Komunitas Nobel Indonesia sebagai pemenang bidang kesusastraan 2011

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

No comments: