Sunday, February 13, 2011

Melawan Eksotika Bali

-- Putu Fajar Arcana

BARANGKALI pameran ”Bali Making Choises”, 9-18 Februari 2011 yang digelar Galeri Mon Decor di Galeri Nasional Jakarta tidak secara tegas melakukan perlawanan terhadap pemikiran yang didesakkan para peneliti Barat itu. Tetapi sebagian besar dari 31 perupa yang turut serta dalam perhelatan itu memamerkan keinginan mereka untuk pergi jauh-jauh dari jebakan eksotika. Bahkan, dua karya Made Wianta, perupa paling senior dalam pameran ini, menggunakan benda tajam seperti jarum dan paku untuk menggambarkan sawah dalam ”Rice Field”. Sawah yang dalam brosur-brosur adalah jualan industri pariwisata, di tangan Wianta menjelma menjadi tragedi yang menyesakkan.

Karya perupa muda seperti Made Wiguna Valasara berjudul ”Mitos Baru Refleksi Budaya” memperlihatkan sosok barong yang dirangkai dari kardus dan sampah plastik. Judul karya ini pun mengandung nada ”ejekan” (kalau bukan perlawanan) terhadap kecenderungan pelukisan terhadap obyek serupa. Barong selalu digambarkan sebagai manifestasi dari kekuatan positif yang sakral, tetapi diwujudkan dalam bentuk fisik dengan taring tajam dan mata mendelik. Valasara seolah mendekonstruksi pandangan itu dengan menciptakan barong ”baru” dari bahan-bahan bekas pakai yang tidak ”lazim” dari kacamata eksotika.

Pesan serupa terdapat pada gambar ”Kawasan Suci” karya I Made Wiradana. Kawasan suci dalam aturan resmi selalu berada di sekitar pura atau bangunan-bangunan suci lainnya. Selain menggambarkan begitu banyak manusia yang bermain di halaman tempat suci dengan berbagai aktivitas profan, Wiradana juga ”menyindir” dengan menggambar pohon kaktus besar di halaman pura. Dalam diskursus eksotika, biasanya di halaman itu digambar pohon beringin besar yang melambangkan keteduhan. Kaktus jelas membahasakan kegersangan yang hanya menimbulkan kesan gerah. Begitukah kondisi Bali sekarang?

Dialog

Sejak awal kurator pameran Wayan Kun Adnyana merancang pameran ini dengan memberi ruang yang begitu terbuka kepada para perupa. Ia tidak membuat garis-garis kuratorial untuk kemudian diikuti oleh perupa. Kun mengundang beberapa perupa, lalu melihat kecenderungan karya-karya yang muncul dan merumuskannya dalam sebuah diskursus tentang Bali.

Cara ini, katanya, sebagai upaya mengembalikan kreativitas berpikir dan estetik kepada perupa yang sudah lama seperti ”dirampas” dan didikte oleh para kurator.

Agak di luar perhitungannya, sebagian karya yang muncul justru memperlihatkan kecenderungan ”perlawanan” diam-diam terhadap dominasi cara pandang para penganut orientalisme yang sudah berkembang sejak awal abad ke-20.

”Perlawanan” itu menjadi lebih terbuka ketika perupa generasi ”termuda” seperti Agus Putu Suyadnya melukiskan ”Behind a Dialog”. Dalam gambarnya ia memperlihatkan sosok Batman dengan kalimat, ”Hey you!! You do not know who I am? I am the super hero of the super power countries.” Lalu sosok sebelahnya yang berwujud Gatotkaca menjawab,”Whatever, I do not care who are you! Asal loe asik gue demen!!”

Gatotkaca boleh jadi sosok yang mewakili wilayah klasik, satu wilayah yang selama ini sering dimanifestasikan sebagai wilayah eksotika itu. Di tangan Suyadnya, Gatotkaca berubah menjadi sosok ”baru” yang tidak mau tahu siapa yang sedang ia hadapi. Kalau orangnya menyenangkan, ia pun diterima dengan hati senang. Generasi ”gatotkaca baru” ini memiliki perangkat estetik yang cukup untuk menyatakan ”tidak” kepada dominasi pemikiran luar.

Sudah terlalu lama memang Bali seperti hidup dalam mimpi. Eksotika adalah sebuah nilai yang didesakkan oleh sebuah gerakan sadar yang ingin tetap melihat daerah itu ”primitif”. Barangkali ini akan menjadi pameran pertama yang melakukan perlawanan terhadap pendesakan identitas dari luar. Dan di tangan para perupa ini identitas itu meluncur sebagai pernyataan personal, sebelum akhirnya menjadi gerakan yang mewakili satu generasi yang gelisah lantaran terus-menerus dijejali nilai dari luar. Whatever, I do not care who are you. Aku adalah sebagaimana yang kuberikan kepada diriku. Mungkin itu pernyataan yang mewakili pikiran generasi ini....


Sumber: Kompas, Minggu, 13 Februari 2011

No comments: