Sunday, February 27, 2011

[Kehidupan] Budaya Pop: "Koruptor Minggir Saja...!"

-- Frans Sartono & Budi Suwarna

”ADA banyak cara untuk pamer kekuasaan Salah satunya usir KPK dari Senayan... Ada banyak cara untuk menjadi mafia Salah satunya memakai wig dan kacamata....”

Para siswa sekolah gratis dari Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) Ibu Pertiwi ikut berunjuk rasa dalam Deklarasi Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) di Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (22/2). APPI bertekad menjadi wadah yang menampung aspirasi para wali murid dalam mewujudkan pendidikan yang bebas dari korupsi, murah, dan berkualitas. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Itu penggalan lagu ”ABC” (Ada Banyak Cara ) dari Bimbo yang sejak dua pekan lalu

diputar di televisi. Lagu berlirik sinikal karikatural itu diangkat dari puisi karya Acep Zamzam Noor.

Lewat lagu, Bimbo merespons secara jenaka

situasi negerinya. Situasi yang oleh Acil ”Bimbo” digambarkan sebagai bertatanan

porak poranda, termasuk korupsi yang merajalela. Kelompok bersaudara

berawak Samsudin, Acil Darmawan, dan Jaka Purnama itu memberi semacam counter lewat medium budaya massa (pop culture) berupa lagu yang dengan mudah diakses publik secara luas.

”Di mana masyarakat gelisah, perlu ada yang memberi kesejukan. Bimbo main di situ. Kami mewakili kekesalan masyarakat lewat lagu,” kata Sam tentang latar belakang pemicu Bimbo menyanyikan lagu ”ABC”.

Penyair Acep Zamzam Noor menulis puisi bergaya jenaka itu

sebagai pelepasan rasa karena dengan bahasa keras sekalipun, si terkritik sudah sangat kebal. ”Kita bersama-sama tertawa, menertawakan diri sendiri, karena kita bagian dari persoalan,” kata Acep.

Bimbo berharap dalam keadaan pahit negeri ini orang masih bisa tersenyum atau tertawa lewat lagu. ”Tertawa dalam derita ha-ha-ha,” kata Sam.

Lagu ”ABC”, menurut Bimbo, mendapat respons dari berbagai kalangan, mulai ibu-ibu rumah tangga yang kewalahan menghadapi kenaikan harga sampai dosen yang 34 tahun mengabdi dengan gaji pas-pasan. ”Masyarakat resah dengan kondisi sekarang. Mental reform dan character building harus menjadi gerakan budaya yang sungguh-sungguh,” harap

Acil.

”Bobrokisasi Borokisme”

Budaya pop belakangan menjadi medium untuk mengungkapkan kekesalan pada kondisi sosial, politik, termasuk perilaku koruptif para ”putra bangsa”. Sebelum lagu ”ABC”, pada pertengahan Januari lalu muncul lagu ”Andai Aku Jadi Gayus” gubahan seseorang yang semula tidak dikenal dari Gorontalo, yaitu Bona Paputungan.

Lagu itu populer ketika kasus Gayus Tambunan sedang

hangat menjadi berita. Lagu yang diunggah di jejaring sosial media Youtube itu, sejauh ini telah dibuka sebanyak 440.207 kali oleh pengguna internet.

Seperti disebut dalam lirik, lagu itu bertutur tentang seseorang yang mengandaikan dirinya sebagai Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali dan semua keinginannya terpenuhi. Kita orang yang lemah, tak punya daya apa-apa/Tak bisa berbuat banyak seperti para koruptor....

Kemuakan pada perilaku koruptif

juga diungkapkan Slank lewat album Jurustandur, singkatan dari maju terus pantang mundur, yang dilepas bulan Agustus 2010. Album memuat sejumlah lagu berisi kritik sosial. Salah satunya adalah ”Bobrokisasi Borokisme”: Minta disuap, doyan disogok/Seneng disuapin sambil disogok-sogok/Cari yang basah, yang banyak air/Alirkan deras dari hulu sampai hilir....

Sejak album perdana tahun 1990, Slank memang sudah bicara soal korupsi, yaitu pada lagu ”Memang”: Memang... jaketku memang kotor/Jangan menghina/yang penting bukan koruptor.

Menurut Bimbim, pendiri dan pemain drum Slank, korupsi menjadi salah satu isu wajib yang diangkat Slank setiap kali membuat album. Pada setiap album, setidaknya ada satu lagu yang menggugat korupsi. Pada era Orde Baru, Slank bicara tentang kebobrokan dengan

lirik lebih samar-samar. Kini, Slank menggunakan bahasa yang lebih tegas. ”Disindir-sindir sudah tidak mempan. Jadi, harus pakai bahasa yang keras, bahasa yang digunakan di jalanan,” ujar Bimbim.

Bimbim merasa miris, kecewa, dan muak melihat perilaku koruptif di negerinya lalu ia tuangkan perasaan itu lewat lagu. Dia berharap, lagu-lagunya bisa menanamkan persepsi di kepala anak muda, khususnya komunitas Slanker, bahwa korupsi dan koruptor itu menjijikkan.

”Kami mendoktrin Slanker dengan kalimat, ’Koruptor minggir saja lo’.”

Lagu kritik sosial disuarakan seniman dari masa ke masa. Mogi Darusman pada tahun 1978 dengan gaya sarkastis menyanyikan lagu ”Rayap-Rayap”.

Simak refreinnya: Rayap-rayap yang ganas merayap/Berjas dasi dalam kantor/makan minum darah rakyat/....Babi-babi yang gemuk sekali/Dengan tenteram berkembang biak/Tak ada yang peduli....

Begitu juga Iwan Fals mengungkapkan rasa muak antara lain lewat lagu ”Bongkar”

pada awal 1990-an bersama kelompok Swami: Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan....

Saluran gagal

Perlawanan terhadap korupsi melalui budaya pop dalam pandangan sosiolog Heru Nugroho menunjukkan bahwa saluran formal untuk menyuarakan antikorupsi telah gagal.

”Negara gagal bersikap terhadap korupsi, DPR gagal menjalankan politik representasi dengan benar, lembaga hukum tidak memberi keadilan,” kata Heru, Ketua Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ketika saluran formal gagal, rakyat mencari ruang lain untuk menyuarakan aspirasi. Pada saat yang sama, muncul media baru yang memberi ruang luas. Orang bisa langsung mengakses dan berpartisipasi secara personal, bahkan juga menunjukkan sikap resistensi.

”Jadi, di zaman sekarang, tidak hanya Slank, Bimbo, atau Iwan Fals yang bisa menyuarakan ekspresinya lewat lagu. Siapa pun bisa dengan memanfaatkan media sosial,” kata Heru.

Secara perlahan, perlawanan melalui saluran nonformal, seperti lagu dan media baru, bisa membentuk kesadaran baru. Orang jadi menyadari bersama situasi yang sedang terjadi. Dan, suatu saat kesadaran itu bisa jadi sebuah gerakan bersama. Heru memberi contoh, kesadaran untuk memberontak rezim otoriter di Timur Tengah itu antara lain diperantarai media sosial.

Lagu-lagu Bimbo, Slank, dan Iwan Fals adalah nyanyian rakyat yang muak pada kebobrokan di sekitarnya.

Jangan sepelekan nyanyian rakyat yang punya batas kesabaran.

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

No comments: