-- Aryo Wisanggeni
”KEBOHONGAN” selalu menghasilkan kehebohan, entah dalam keluarga, interaksi sosial, atau dalam interaksi politik. Teater Bejana memanggungkan kisah kebohongan penguasa dalam Zonder Lentera, Rabu (9/2) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Seperti menyindir?
Bukan diilhami polemik antara para tokoh agama dan pemerintah yang berbohong, namun kelompok ini mengadaptasi sastra Melayu Tionghoa tahun 1930-an karya Kwee Tek Hoay.
”Kenapa ini piet zonder lentera!” agen polisi Kabalerang membentak Willem Tan dan Johan Liem yang tertangkap tangan bersepeda malam tanpa lampu. Tan dan Liem mencoba berkelit bahwa mereka kemalaman lantaran berteduh dari hujan yang turun sejak sore. Namun Kabalerang tidak mau memaafkan. ”Nanti kamu jelaskan di kantor,” kata Kabalerang.
Si agen polisi pun mengeluarkan buku catatannya, ”Nama dan adres?” Akal jahil Tan muncul. ”Hong Hiang Ciu dan Cu Pek San. Kami tinggal di toko obat Gwa Po Tong,” kata Tan. Tentu saja Hong Hiang Ciu dan Cu Pek San tinggal di toko obat karena dua nama itu adalah nama obat sakit perut dan obat gosok.
Baru bersepeda beberapa tikungan, Liem dan Tan bertemu agen polisi Misleid. ”Kenapa ini piet zonder lentera!” bentak Mislied. Alasan yang sama disampaikan Tan, namun Misleid tetap mengeluarkan buku catatan pelanggarannya, ”Nama dan adres?”
Tan mengarang nama baru. ”Saya He Wan Ca dan Fu Yung Hay. Kami tinggal di Restoran Sudi Mampir,” kata Tan menyebut nama makanan di restoran. Misleid mencatat saja, ”Tunggu panggilan dari kantor komisaris,” kata Misleid.
Novel
Namun Hikajatnja Satoe Wijkmeester Rakoes karya Kwee Tek Hoay bukan sekadar mengisahkan kebohongan Tan dan Liem. Novel itu berkisah soal kebohongan Tan Tjo Lat, seorang kepala kampung pecinan yang semena-mena, memeras rakyatnya, gila perempuan, gila judi, yang diperankan dengan jenaka dan apik oleh Didi Hasim. Improvisasinya soal kumis palsu Tan Tjo Lat yang copot membuat penonton tergelak dan segera mengabaikan kasus kumis itu.
Tan Tjo Lat yang culas mencoba menyuap komisaris polisi demi menjaga kedekatan mereka. Tetapi komisaris enggan disuap dan tetap menjaga jarak pertemanannya dengan Tan Tjo Lat.
”Kalau Tuan Komisaris suka masakan China, saya akan kirimkan He Wan Ca dan Fu Yung Hay dari Restoran Sudi Mampir,” bujuk Tan Tjo Lat putus asa. ”Kalau anak Tuan Komisaris sakit kembung, saya bisa kirimkan obat Hong Hiang Ciu dan Cu Pek San dari toko obat Gwa Po Tong,” ujar Tan Tjo Lat berharap.
Tapi sang komisaris tetap dingin. ”Jangan kirim apa pun tanpa saya minta!” ujarnya.
Seperti novel Kwee Tek Hoay lainnya, Hikajatnja Satoe Wijkmeester Rakoes adalah sastra populer yang ”lurus-lurus saja”. ”Jangan lupa, ini sastra populer. Plot kisahnya, mereka yang baik harus beruntung, dan yang jahat harus sial masuk bui,” kata sutradara Daniel H Jacob.
Esok paginya, Tan Tjo Lat menerima dua surat panggilan atas pelanggaran Willem Tan dan Johan Liem yang bersepeda tanpa lentera. Dua surat panggilan yang didasari kebohongan itu menyatakan Tan Tjo Lat harus menghadapkan empat warganya ke komisaris, yakni Hong Hiang Ciu dan Cu Pek San yang beralamat di toko obat Gwa Po Tong serta He Wan Ca dan Fu Yung Hay yang tinggal di Restoran Sudi Mampir.
Tan Tjo Lat yang culas mengira sang komisaris meminta upeti dan langsung mengirim obat dan makanan itu ke rumah sang komisaris. Komisaris marah dan menganggap Tan Tjo Lat menyuapnya.
Manipulasi kasus Tan Tjo Lat berantakan karena Willem Tan dan Johan Liem justru datang ke kantor polisi dan mengaku karena tidak ingin orang tidak bersalah dihukum atas kebohongan mereka. Sadar ditipu skenario palsu Tan Tjo Lat, komisaris marah besar dan memenjarakannya.
Daniel H Jacob membenarkan jika pementasannya seperti menyentil kebohongan penguasa dan berbagai manipulasi kasus negeri ini. ”Namun seperti itulah novel Kwee Tek Hoay. Tidak ada perubahan plot, tidak ada penambahan karakter. Novel zaman kolonial itu justru keseharian tahun Batavia tahun 1930-an. Dan bahwa kebohongan dan manipulasi bukan hal baru di negara ini. Ini sebenarnya pementasan yang tertunda karena naskah adaptasi novel selesai sejak 2005,” kata Daniel.
Penulis naskah Veronika B Vonny bahkan tidak perlu mengutak-atik dialog Zonder Lentera karena Hikajatnja Satoe Wijkmeester Rakoes sendiri kaya dialog. ”Percakapan novelnya sudah seperti itu dengan bahasa Melayu pasar campur dialek Sunda dan Betawi,” kata Veronika.
Sang sastrawan, Kwee Tek Hoay, adalah penulis sastra Tionghoa paling produktif dengan 115 karya tentang berbagai topik. Dari sepuluh produksi pementasan Teater Bejana, empat di antaranya melakonkan naskah adaptasi novel Kwee Tek Hoay. ”Banyak novel Kwee Tek Hoay yang bagus, namun Paus Sastra HB Jassin tidak menggolongkan karya Kwee Tek Hoay sebagai karya sastra Indonesia. Itu mengapa kami justru ingin terus mengangkat karya sastrawan Tionghoa,” kata Daniel.
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Februari 2011
No comments:
Post a Comment