Monday, February 28, 2011

Menyoal Boikot Media

-- Sabam Leo Batubara

DI Istana Bogor, Senin (21/2/2011), Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengemukakan pernyataan kontroversial.

Menyikapi beberapa media yang dinilai menjelek-jelekkan pemerintah, Dipo mengatakan akan memerintahkan seluruh staf khusus presiden untuk tidak meladeni wawancara televisi karena hanya membuat laris televisi tersebut. Juga akan memberi seluruh sekjen dan humas kementerian instruksi untuk memboikot iklan media nasional yang kritis terhadap pemerintah. Bagaimana seharusnya menyikapi media kritis? Dibredelkah, dikriminalkankah, atau diboikot?

Di era Orde Lama dan Orde Baru media yang kritis atau memberitakan kejelekan pemerintah terancam terkena sanksi berat. Ratusan penerbitan pers yang pemberitaannya berseberangan dengan kebijakan pemerintah tidak diboikot, tetapi dibredel, dan puluhan wartawannya dipidana penjara.

Ketika itu Gubernur DKI Jakarta 1965-1976 menempuh kebijakan lain. Dia justru memerlukan kritik pers, termasuk berita-berita negatif tentang penyelenggaraan pemerintahannya. Ali Sadikin menggunakan kritik dan berita negatif sebagai masukan untuk perbaikan dan penyesuaian langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Dia tercatat tak pernah mengancam memboikot media kritis.

Bolehkah media diboikot? Beberapa tahun lalu artis terkenal AS, Madonna, meluncurkan video klip lagu baru dan tampil berpakaian bikini. Di bagian belakang dan depan terpampang gambar salib. Umat Kristen dan Katolik menilai itu menghina agama mereka. Di AS menghina agama tak melanggar UU. Kemudian para pendeta dan pastor di mimbar-mimbar gereja mengajak umat memboikot tidak membeli produk artis tersebut.

Karena kampanye pemboikotan berdampak merugikan penjualan video klip, Madonna menghentikan ulahnya. Pemboikotan dianggap sebagai hak konstitusional penganut agama itu.

Lima tahun lalu edisi pertama Playboy Indonesia beredar. Menyikapi pengaduan publik Dewan Pers mengeluarkan pernyataan penilaian, media itu adalah produk pers dan berhak terbit berdasarkan UU No 40/1999 tentang pers. Memenuhi undangan Majelis Ulama Indonesia Alamudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers dan saya sebagai Wakil Ketua Dewan Pers waktu itu menjelaskan media ini berkategori media cetak khusus dewasa.

Bertentangan dengan UU

Saya juga menyatakan, kalangan yang menilai media itu sebagai tak layak dibaca berhak mengeluarkan seruan kepada anggotanya untuk memboikot media itu. Sementara membredel atau mengkriminalkan media bertentangan dengan konsep UU Pers, yang berparadigma demokrasi.

Pernyataan atau kebijakan pejabat pemerintah untuk memboikot media tertentu—sementara belum jelas apakah media itu melanggar UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran atau tidak— menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Pertama, pembuatan penilaian, keputusan, kesimpulan perlu ketersediaan fakta yang cukup dan benar serta penalaran yang benar. Pejabat yang tidak mengetahui kelemahan instansinya berpotensi keliru dalam merumuskan cara bertindak. Kedua, Alvin Toffler dalam The Third Wave menyatakan, saat ini era peradaban gelombang ketiga, atau era informasi. Berdasarkan pendapat itu berlaku dalil, ”Siapa memiliki informasi lengkap akan memenangkan pelaksanaan tugas pokoknya”. Media massa adalah pemasok informasi. Boikot media berdampak ketidaktahuan atas informasi tertentu.

Ketiga, berdasarkan Pasal 6 Huruf a UU Pers, pers nasional melaksanakan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Jika staf khusus presiden dilarang memasok informasi ke media tertentu, masyarakat khalayak pengguna media tersebut kehilangan haknya.

Keempat, tak lama setelah dilantik menjadi presiden RI, yakni pada 25 Januari 2005, SBY dalam pertemuannya dengan Dewan Pers menggariskan kebijakannya: ”Penyelesaian masalah berita pers ditempuh pertama, dengan hak jawab; kedua, bila masih dispute, diselesaikan ke Dewan Pers; ketiga, bila masih dispute, penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel”. Sebagai pembantu SBY, sepatutnya Dipo memberikan teladan kepada bangsa untuk mengadukan media bermasalah sesegera mungkin ke Dewan Pers dan KPI.

Sabam Leo Batubara
, Wakil Ketua Dewan Pers 2007-Februari 2010

Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011

1 comment:

Dieng Indonesia said...

Penasaran dengan dataran tinggi terluas kedua ? Yuk ke Dieng cek Paket Wisata Dieng