Saturday, February 12, 2011

Garuda Pun Terempas

-- Tamrin Amal Tomagola

PIHAK yang paling terhina dan ternistakan harkat serta martabatnya dalam tiga bentrokan berdarah antarkelompok agama yang terjadi seminggu terakhir di Pandeglang, Temanggung, dan Bogor adalah negara dan bangsa Indonesia.

Negara yang punya otoritas konstitusional mutlak di ruang publik, untuk apabila perlu menggunakan kekerasan secara sah dalam menegakkan ketertiban dan keamanan, ditampar pada siang bolong oleh segerombolan perusuh. Garuda pun terempas lemas.

Kebanggaan bernegara dan berbangsa Indonesia terkotori secara semena-mena oleh lumut kejumudan picik. Dampaknya tidak hanya mempermalukan dan meresahkan publik beradab nasional, tetapi juga nurani kemanusiaan internasional.

Pengaiban publik (public humiliation) yang mempermalukan negara dan bangsa ini akan terasa makin getir jika terungkap nanti bahwa sebetulnya ada tangan-tangan aparat merekayasa, baik langsung maupun tidak langsung, tiga bentrokan beruntun untuk menyelamatkan citra pemerintah yang terus kedodoran oleh tudingan sebagai ”pembohong” oleh para tokoh agama pada minggu-minggu sebelum ketiga bentrokan berdarah itu.

Dengan terjadinya tiga kekerasan beruntun ini, arah tudingan telunjuk berbalik dari yang tadinya terarah kepada pemerintah sekarang ke arah masyarakat, khususnya kalangan umat beragama. Keadaan dibalik, bukan pemerintah yang bermasalah, tetapi atmosfer kerukunan antarumatlah yang bermasalah.

Sejumlah saksi di lapangan menuturkan kepada para aktivis LSM, setidaknya ada tiga orang yang berhenti di satu tempat di Pandeglang sesudah penyerangan kompleks Ahmadiyah. Mereka menanggalkan atribut keagamaannya untuk meneruskan perjalanan ke arah Jakarta dalam pakaian sipil. Ditambah temuan awal Tim Komnas HAM (Kompas, 11/2) bahwa ada sejumlah kejanggalan, publik sulit mengabaikan kemungkinan keterlibatan kekuatan tertentu bergabung dengan perusuh.

Inti persoalan

Mudah-mudahan dugaan sementara ini nantinya terbantahkan oleh saksi dan bukti yang lebih akurat meyakinkan pengadilan. Kalaupun kemudian sama sekali tidak terbukti tanpa keraguan secuil pun (beyond reasonable doubt) bahwa tidak satu pun anggota kekuatan strategis itu ikut, tetap saja negara—dalam hal ini pemerintahan SBY-Boediono—masih harus wajib mempertanggungjawabkan mengapa aparat negara tidak antisipatif, siaga, dan mengerahkan kemampuan maksimal untuk menghalangi dan menghalau para perusuh secara telak tanpa kompromi.

Mengapa negara cuek, tidak peduli, pada saat ruang dan hak otoritas konstitusional mutlaknya direnggut begitu saja oleh para perusuh picik jahiliah ini?

Jantung permasalahan dari rentetan bentrokan antarumat sebetulnya tak terlalu terletak pada berseberangannya pemahaman keyakinan kenabian antara Ahmadiyah dan arus utama Islam ataupun ketidakrukunan antara kelompok Muslim dan non-Muslim. Bukan di situ. Namun, justru pada kegagalan dan bahkan pembiaran negara kepada gerombolan perusuh yang tidak saja menghakimi pemahaman keyakinan kelompok/umat lain, tetapi bahkan juga mengeksekusi mati penganut Ahmadiyah dan meluluhlantakkan rumah ibadah agama lain.

Sejak 2004 hingga 2011 sudah 2.500-an gereja dirusak, mayoritas terjadi di Jawa Barat. Karena itu, permasalahan tak semata-mata absennya kerukunan antarumat beragama. Ia telah berkembang menjadi masalah pencederaan kebangsaan dan kemanusiaan.

Kepentingan keutuhan negara dan bangsalah yang sedang dipertaruhkan. Karena itu, entitas negara dan bangsa—beserta seluruh jajaran dan komponennya—harus tampil maksimal menghadapi musuh bersama: perusuh radikal-picik yang memorakporandakan ruang publik milik bersama warga.

Negara harus berhenti berkilah bahwa inti permasalahannya adalah perbedaan pemahaman agama yang sudah buntu. Tentang hal ini serahkan kepada lembaga internal setiap umat beragama. Negara tidak boleh menerabas masuk ke ranah keyakinan keagamaan dan ideologi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Demokrasi konstitusional menegaskan dan menjamin hak-hak dasar warga negara itu. Negara hanya bertindak, dan mutlak bertindak, apabila keamanan warga negara dan warga negara lain terancam ataupun ketertiban umum terganggu.

Solusi

Ada beberapa langkah dan upaya mendesak yang perlu dilakukan negara dan pemerintahan SBY-Boediono. Pertama, cabut SKB tentang pendirian rumah ibadah dan segera memulai naskah RUU tentang penanggulangan teroris umat beragama dan sekaligus perlindungan kelompok minoritas keyakinan dan agama. Ingat, indikator paling tajam dari kesuksesan suatu sistem demokrasi-konstitusional adalah apabila sistem mampu/berhasil melindungi kaum minoritas apa pun.

Kedua, bubarkan Badan Koordinasi Pemantauan Ajaran Kepercayaan/agama yang dianggap sesat. Vonis sesat hanya bisa dijatuhkan oleh Tuhan dan lembaga agama yang bukan pelat merah.

Ketiga, untuk kesekian kali diusulkan agar Kepolisian Negara RI dibangun sepenuh hati. Harus dipastikan bahwa baik jajaran kepolisian nasional maupun daerah tidak terkontaminasi kepentingan politik rezim nasional ataupun daerah.

Keempat, KPU dan KPUD mengupayakan semaksimal mungkin agar isu SARA tidak dieksploitasi demi meraup suara.

Akhirnya, segera memproses gerombolan perusuh yang tergabung dalam suatu ormas tertentu untuk segera dibekukan sebagai tahap awal menuju pembubaran lewat keputusan pengadilan, baik yang terdaftar di tingkat nasional maupun di daerah. Gerombolan perusuh yang tidak tergabung dalam ormas tertentu dan tidak terdaftar agar dinyatakan sebagai organisasi terlarang yang diharamkan di bumi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dan berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Semoga SBY-Boediono kali ini bisa tampil sebagai negarawan yang patut dihormati dan dikenang warga negara.

Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Februari 2011

No comments: