-- Linda Sarmili
DIAM-DIAM seni perkomikan Jepang alias manga (baca: mang'nga) tumbuh pesat. Perjalanan komik Jepang tidak saja merajani rak-rak buku anak-anak di Indonesia dan sejumlah negara maju lainnya, tetapi sudah mendunia. Kenapa bisa begitu? Karena seni perkomikan Jepang bisa cepat disukai. Dankarena itu dia dengan mudah bisa menyedot penggemar sampai ke seluruh dunia, hingga Eropa yang memiliki legenda komik: Tintin sang wartawan dan prajurit Galia Asterix? Bahkan gaya dan budaya manga ditiru remaja-remaja mereka.
Di negeri asalnya sendiri, manga dikonsumsi oleh anak-anak sampai orang tua. Terdapat banyak ragam (genre) komik yang beredar, untuk anak-anak (kodomo), remaja putra (shounen), remaja putri (shoujo), dewasa pria (seinen), dewasa wanita (josei), bahkan ada genre yang diterbitkan untuk memenuhi fantasi seksual (yaoi/yuri/ hentai). Begitu masif industri komik di Jepang. Di negeri itu, komik adalah media bagi komunikasi massa di banyak bidang bahkan diakui sebagai salah satu bentuk seni. Jepang memang "negeri komik".
Manga masuk pertama kali ke Indonesia sekitar akhir 1980-an. Sekarang, setiap bulan ada puluhan judul manga yang diterbitkan. Untuk memenuhi kebutuhan minat pembaca dewasa, generasi awal penggemar manga yang sekarang beranjak dewasa, manga genre dewasa diterbitkan. Kategori manga inilah yang akan kita kupas seluk-beluknya.
Dalam manga, ada tiga elemen dasar yang dapat kita tilik sebagai bahan untuk mengapresiasi manga tentu saja tiga elemen tersebut dapat dipecah lagi untuk mengupas aspek keindahan manga lainnya. Yang pertama dan yang paling mudah dilihat oleh pembaca adalah kualitas gambar termasuk di dalamnya, gaya.
Pembaca awam cenderung lebih mengapresiasi manga bergambar naturalistis dan indah. Itu hanya masalah selera, sebenarnya, karena buat pembaca yang lebih serius, bentuk deformatif atau kartun memiliki daya tarik tersendiri. Elemen kedua adalah cara bercerita. Kecerdasan pencipta manga atau mangaka (baca: mang'gaka) dalam menciptakan atmosfer dramatis, ironis, dan subtil menjadi lapisan kedua yang paling menarik untuk diapresiasi, terutama karena roh manga terletak di sini.
Di sini, manga mungkin sedikit asing bagi pembaca Indonesia yang belum terbiasa, karena bahasa visual dan dialognya diwarnai budaya Jepang. Yang terakhir adalah isi atau tema cerita. Seorang mangaka yang matang mampu mengambil tema yang abstrak dan menuangkannya ke dalam manga sedemikian rupa sehingga kedalamannya bernuansa.
Pembaca yang asing dengan manga mungkin tidak terlalu sulit menikmati tema-tema manga karena tema yang diangkat melekat pada budaya timur, berbeda dengan komik (novel grafis) Barat berlanggam semacam Sandman karya Neil Gaiman, yang kisahnya berangkat dari mitos-mitos Barat. Dalam Planetes, misalnya, Makoto Yukimura mengangkat perenungan yang sublim tentang kehidupan dari kacamata tokoh-tokoh pembersih debris KRG sampah KRG ruang angkasa. Yang bergulir dalam cerita adalah pergolakan dan interaksi emosi antarkarakter dan, tak lupa, pembaca disuguhi isu global, seperti masalah lingkungan versus kapitalisme. Penggarapan aspek-aspek teknisnya tidak main-main. Istilah-istilah dunia angkasa luar, desain baju astronot, dan pesawatnya digarap dengan serius.
Sedangkan tutur ceritanya dibentuk dengan semiotika visual yang matang, yang membuat pembaca merasakan sensasi emosi dan irama cerita seperti sedang menonton film layar lebar tetapi dalam bentuk grafis.
Seorang mangaka legendaris Osamu Tezukab ia juga membuat komik Buddha dalam Atom Boy banyak mengupas tema kemanusiaan. Atom Boy dibuat untuk semua umur, bukan untuk anak-anak saja. Pembaca dewasa akan terhibur dengan isu dan kupasan isinya.
Pada Atom Boy No.3, episode Duel di Arpus, Atom bermonolog: "Kami robot, berbeda dengan manusia. Robot tidak mempunyai saraf dan hati. Otak listrikku tidak mempunyai kehalusan berpikir dan sama sekali tidak sesuai dengan kehalusan berpikir manusia. Pokoknya robot itu payah, deh, dibandingkan manusia! Karena itu ada kalanya aku payah!" Atom merasa sedih karena, ketika teman-teman manusianya, bahkan seekor anjing peliharaan, dapat menikmati musik indah di sekeliling api unggun, ia tak bisa merasakan apa-apa.
Lalu, ia pergi menyendiri. Saat ditanya apa yang membuat dia sedih, Atom menjawab, "Anjing saja bisa menikmati keindahan lagu, sedangkan aku tidak mengerti. Aku tidak bisa merasakan keindahan untaian lagu itu. Merasakan keindahan ketika melihat pemandangan dan mendengarkan lagu. Betapa beruntungnya manusiat..."
Ada juga manga yang mengemban kritik sosial, yaitu Say Hello To Black Jack (Black Jack ni Yoroshiku) karya mangaka Syuho Sato. Serial ini diganjar penghargaan dalam Media Arts Festival Award dengan predikat Excellence pada 2002.
Manga Artist Society pun memilih karya ini sebagai Manga Terbaik 2004. Manga ini mengupas realitas problem kedokteran di Jepang dan sempat terancam boikot karena kritiknya yang keras dan tajam. Sato tidak bekerja sendirian.
Ia didampingi oleh narasumber dari dunia kedokteran. Kisahnya dimulai dari mahasiswa kedokteran, Eijiro Saito, yang baru lulus dan menjadi dokter magang. Cerita berjalan dalam divisi-divisi kedokteran, dari bedah jantung, penyakit dalam, perawatan bayi, anak-anak, kanker, sampai divisi kejiwaan. Problematika moral dan integritas kedokteran dipertanyakan dengan tajam. Mengenai pendalaman budaya, Ghost In The Shell (Koukaku Kidoutai) adalah karya yang menarik. Karya Shiro Masamune ini sempat diangkat ke layar lebar sebagai film animasi dengan judul yang sama, disutradarai oleh Mamoru Oshii. Manga ini bercerita tentang cyborg (cyberdine organism), manusia yang diganti organ tubuhnya dengan mesin, seperti Robocop.
Dalam cerita ini, Masamune mempertanyakan dari mana jiwa datang dan apa mungkin bisa merasuk ke dalam mesin ciptaan manusia? Jika kita ingat konsep animisme, konsep "merasuk" ini mirip dengan konsep keris tayuhan dalam budaya Jawa. Fenomena ini memperlihatkan lenturnya media komik mewadahi gagasan-gagasan, juga menuturkan narasi budaya dalam sebuah cerita.
Komik adalah bahasa visual bernarasi yang runut wayang beber dan relief-relief perjalanan hidup Buddha menuju pencerahan di Candi Borobudur pun masuk kategori komik nonverbal. Sebagai karya visual, komik memiliki ruang eksperimen yang tak bisa dikejar oleh bentuk sastra semata. Itu sebabnya ragam komik begitu banyak dan masih kita tunggu-tunggu suntikan kreativitas segar dari para seniman komik.
Buat pembaca komik pemula, tidak ada ruginya jika kita mulai mencoba mengapresiasi komik sebagai sebuah karya budaya, sebagai variasi bacaan bermutu yang sesuai dengan selera pribadi.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 Februari 2011
No comments:
Post a Comment