-- Bagong Suyanto
SEBAGAI negara dengan penduduk dari berbagai kelompok dan kelas sosial, sejak awal Indonesia rawan mengalami berbagai bentuk disintegrasi sosial.
Dua dekade terakhir konflik sering terjadi karena berbagai sebab. Konflik horizontal ataupun vertikal bahkan terjadi dalam skala yang sangat keras, menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan hilangnya nyawa.
Apa sebetulnya penyebab terjadinya konflik? Adakah mekanisme deteksi dini yang bisa dikembangkan untuk meredam terjadinya konflik dan menumbuhkan hubungan sosial yang damai dan saling menghargai?
Persepsi sumber konflik
Sepuluh tahun terakhir konflik bisa terjadi dalam berbagai bentuk dengan berbagai dimensi pemicu: ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Konflik-konflik yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak kehilangannya. Konflik berdimensi ekonomi cenderung bersifat riil. Konflik yang berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang lebih fundamental dan karena itu cenderung abstrak.
Bentuk-bentuk aksi para pihak yang terlibat konflik sangat bergantung pada bagaimana mereka melihat sumber, tujuan konflik, dan cara penyelesaian konflik. Secara teoretis, apa pun jenis konfliknya, ada dua elemen utama yang sering berkombinasi menjadi sumber hakiki konflik.
Pertama, elemen identitas atau potent identity-based factors. Kelompok-kelompok sosial dimobilisasi dengan membawa identitas komunal kelompok, seperti ras, agama, ideologi, dan kepentingan kelompok.
Kedua, elemen persepsi terhadap distribusi sumber ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Ketika elemen potent identity-based factors dan elemen persepsi tentang ketidakadilan ekonomi-sosial ini bercampur, potensi konflik menjadi sangat tinggi dan memicu konflik yang mengakar (deep-rooted conflict).
Di Indonesia, konflik identitas yang berlatar belakang isu SARA paling potensial meledak. Isu Kristenisasi, pelarangan pembangunan gereja di sejumlah wilayah, syak wasangka antarkelompok pemeluk agama, isu pribumi versus nonpribumi, dan sejenisnya adalah hal-hal yang masih sering muncul.
Karakteristik konflik horizontal yang berdimensi identitas adalah sifatnya yang persisten dan sering tumpang-tindih dengan isu-isu kesenjangan ekonomi. Konflik-konflik yang berbasis SARA ini bercampur dengan konflik distribusi sumber produksi, wilayah, ekonomi, dan prospek lapangan kerja sehingga penanganannya lebih rumit.
Dalam konflik (latent) ideologi, seperti di Temanggung, Jawa Tengah, dan Pandeglang, Banten, salah satu faktor penting adalah menyangkut persepsi. Inilah penentu apakah hubungan antarkelompok mengarah pada tindak kekerasan atau tidak.
Di berbagai daerah, ada kecenderungan kelompok agama tertentu dianggap ancaman terhadap stabilitas, kelangsungan hidup, kedaulatan, kultur, sosial, dan kepentingan vital lain sehingga pada tingkat kelompok kompromi sulit dicapai.
Sistem peringatan dini
Agar konflik tidak berkembang, yang dibutuhkan adalah mekanisme sistem peringatan dini sosial (social early warning system). Prinsip dasar mekanisme deteksi dini adalah pemerintah secara proaktif mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini dan secepat mungkin.
Deteksi dini diutamakan pada titik-titik kelompok strategis di tingkat lokal ataupun pada titik-titik persentuhan pemerintah dengan masyarakat lokal. Dalam pengembangan mekanisme peringatan dini, beberapa hal perlu mendapat perhatian.
Pertama, menentukan siapa yang pantas menjadi penghubung dan pendeteksi kemungkinan terjadinya keresahan sosial di masyarakat. Pendeteksi tidak harus aparat keamanan, tetapi bisa juga berasal dari orang-orang yang benar-benar mengenali daerahnya.
Dalam hal ini, kelompok-kelompok sekunder di masyarakat, seperti organisasi berbasis komunitas (community based organization), tokoh masyarakat, dan tokoh agama potensial menjadi pemantau. Tugas pendeteksi menjadi mata dan telinga atas berbagai desas-desus dan ketidakpuasan warga masyarakat.
Kedua, menentukan dan menawarkan kepada masyarakat bentuk penyaluran keluhan keresahan sosial. Dari yang informal, semi-informal, hingga formal. Yang penting, saluran benar-benar dipercaya masyarakat, transparan, serta melindungi identitas dan keselamatan warga masyarakat yang melaporkan keresahan di wilayahnya.
Posisi pemerintah daerah, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat yang lebih tinggi, tidak boleh serba dominan, apalagi represif. Pejabat setempat harus bijak dan apa pun keluhannya justru harus direspons secara proporsional.
Bagong Suyanto, Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Sumber: Kompas, Kamis, 17 Februari 2011
No comments:
Post a Comment