-- Ilham Khoiri
D ZAWAWI Imron, penyair asal Madura, Jawa Timur, itu sudah lama mengembangkan puisi modern yang bertolak dari khazanah budaya tradisional Pulau Garam itu. Tak hanya memperkaya ekspresi seni sastra modern Indonesia, karya-karyanya yang memuliakan kemanusiaan juga diapresiasi dunia internasional.
Dengan menyelami budaya Madura, saya justru menemukan wajah Indonesia. Bagi saya, Madura itu bukan satu nama pulau, tetapi semangat yang membebaskan saya untuk melihat dunia secara lebih luas,” katanya saat ngobrol di Taman Ismail Marzuki (TIM), akhir Januari.
Bagaimana Madura mengantarnya pada kesadaran akan Indonesia? Jawabnya merujuk pada proses kreatifnya yang panjang dalam menggeluti dunia sastra.
Lahir di Batang-Batang Laok, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, sejak kecil Zawawi menyerap alam dan khazanah budaya pulau itu. Saat remaja, dia dibesarkan bersama lagu dolanan (mainan) anak-anak, lagu para nelayan dan petani, karapan sapi, dan musik tradisional. Itu menanamkan kesan mendalam.
Pengalaman bersastra lebih konkret dicecapnya saat nyantri di Pondok Pesantren Lambi Cabboi di Sumenep. Kebetulan, sembari mengaji kitab-kitab kuning, para santri banyak menulis puisi-puisi berbahasa Madura. Zawawi muda pun mulai akrab dengan sajak-sajak lokal itu.
Selepas dari pesantren, dia banyak membaca puisi-puisi dari para penyair Indonesia tahun 1960-an, seperti WS Rendra atau Ajip Rosidi. Diam-diam dia mulai menulis puisinya sendiri dalam bahasa Indonesia. ”Awalnya ngawur-ngawuran. Bentuknya seenaknya saja,” katanya.
Kian lama, Zawawi kian serius mengasah kemampuannya membuat puisi. Dia terus menulis karena itu memberinya sarana untuk mengekspresikan isi batin. ”Puisi itu kejujuran nurani dan estetik,” katanya.
Tanpa disadari, puisi-puisi itu diwarnai sentuhan budaya lokal yang digumulinya sejak kecil. Lagu dolanan anak, syair nelayan, lagu petani, pantun, musik karapan sapi, atau seni tradisional lain merasuk dalam bait-bait puisinya. Entah itu sebagai imajinasi, irama, pilihan kata, metafora, atau unsur lain.
Simak saja lagu-lagu dolanan (mainan) anak-anak yang tumbuh di Madura ini: Ghai bintang gaggar bulan/ Paghai’na jhanor kuneng/ Kak’ elang sajan jhau/ pajhauna gan lon alon (Menjolok bintang, yang jatuh bulan/ penjoloknya janur kuning/ kakak hilang makin jauh/ jauh (dijumpa) di alun-alun).
”Bagi saya, lagu itu sangat surealistik. Ada imajinasi yang meloncat-loncat dari jauh ke dekat. Itu memengaruhi corak puisi saya sejak tahun 1980-an, seperti puisi ’Bulan Tertusuk Ilalang’,” katanya.
Zawawi bercerita, puisi yang kemudian diangkat menjadi film oleh sutradara Garin Nugroho itu lahir dari proses unik. Pada suatu dini hari, dia berdiri di tengah alam. Menjelang pagi, bulan yang terbenam di horizon tampak seperti tertusuk ilalang. Dia pun segera menangkap momen itu sebagai bahasa puisinya.
Contoh lain, tradisi karapan sapi. Balapan sapi itu biasanya diiringi saronan (tiupan serunai) yang cenderung berulang, ritmis, sekaligus melayang-layang. Irama ini serupa benar dengan zikir yang mentradisi di pesantren. Dua budaya itu juga ikut meresap dalam irama puisinya.
Untuk soal metafor, Zawawi juga banyak membangunnya dari khazanah paparegen (pantun) dan lagu Madura yang sangat luwes, bebas, bahkan misterius. Di pulau itu, ada ungkapan terkenal, yaitu abhental omba’ asapo angen/ alako berra’ apello koneng (berbantal ombak, berselimut angin/ bekerja berat, berkeringat kuning). Ungkapan itu kemudian memberi inspirasi bagi lahirnya puisi ”Bantalku Ombak Selimutku Angin”.
Celurit
Zawawi juga mengambil idiom lokal dengan tafsir baru. Celurit, alat pertanian yang kadang identik sebagai senjata tajam, justru dimanfaatkan untuk membangun idiom yang sama sekali tak terkait dengan citra kekerasan. Dia buat puisi ”Celurit Emas”, yang kemudian melambungkan namanya sebagai ”Si Celurit Emas”.
Puisi itu lahir tahun 1980-an ketika pemerintah mau melancarkan operasi memberangus celurit di Madura karena kerap dikaitkan dengan kekerasan. Zawawi gelisah. ”Kenapa begitu? Kekerasan itu lahir dari celurit atau manusianya?”
Dia lantas memperoleh gagasan untuk membuat celurit yang lain. Celurit yang diasah dengan lembaran-lembaran kitab suci, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Celurit yang berpegang pada nilai-nilai perdamaian, kebenaran, dan kebudayaan. Itulah ”Celurit Emas”.
Puisi-puisi Zawawi yang berhasil mengembangkan kekayaan lokal Madura dianggap memperkaya praktik seni sastra modern di Indonesia. Sejumlah penghargaan pun diraihnya, seperti penghargaan Balai Pustaka untuk buku puisi Celurit Emas (1986), Yayasan Buku Utama Departemen P & K untuk buku puisi Nenek Moyangku Airmata (1985), dan Sastra Majlis Sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia untuk puisi Kelenjar Laut.
Apa arti Madura bagi Anda?
Madura itu detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan dikubur di sana.
Tapi, saya inginkan Madura yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.
Bagaimana Anda menjadi Indonesia?
Setelah saya cek, sebenarnya asal usul saya itu campuran. Nenek moyang saya konon dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu di pesantren, kitab kuning berbahasa Arab itu diterjemahkan dengan bahasa Jawa.
Saya juga punya darah China. Nenek saya yang kelima itu Tionghoa yang dipanggil ”Kaeng”. Teman-teman saya juga memanggil saya ”Engkong”. Itu panggilan khas China.
Saya juga banyak bepergian ke daerah lain di Nusantara. Saya pernah ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana saya menemukan abhental omba’ asapo angen yang lain. Saya juga menikmati lagu atau puisi lama Bugis, bahkan nama-nama di sana terdengar puitis. Ada Sungai Walannai, Gunung Rante Kohpala, atau nama orang seumpama Lantodaeng Basewan. Bugis seperti Tanah Air yang lain bagi saya.
Sekarang, kesadaran saya tidak lagi berpusat pada Madura, melainkan berkembang menjadi Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Meminum airnya menjadi darah. Makan beras dan buah- buahannya menjadi daging saya. Menghirup udaranya menjadi napas. Saya berpijak pada buminya menjadi sajadah. Bila dipanggil Tuhan, saya mungkin juga akan dikubur di Indonesia.
Spirit pesantren
Selain identik dengan Madura, Zawawi juga mewakili penyair yang lahir dari pesantren. Dia pernah belajar di pesantren dan kini juga menjadi pengasuh beberapa pesantren di Madura. Lingkungan ini memberi pengaruh besar pada proses kreatifnya.
Bagi seniman ini, salah satu kekuatan pesantren adalah keluwesannya dalam menerima budaya luar. Para wali penyebar Islam yang banyak mendirikan pesantren juga mengadaptasi seni lokal untuk mengembangkan dakwah lewat jalur seni yang damai dan indah.
Beberapa wali menciptakan tembang-tembang Jawa. Nama Sunan Bonang, misalnya, diambil dari alat musik gamelan, ”bonang”. Para santri melantunkan sifat-sifat Tuhan dalam tembang yang disebut nadzam. Karakter ini juga banyak terserap dalam puisi-puisi Zawawi. Salah satunya, puisi Alif yang mengulang- ulang kata alif seperti zikir.
Spirit apa yang Anda ambil dari para wali?
Saya berpegang pada nasihat, konon dari Sunan Kalijaga. Katanya: katentremaning bathin gumantung rasa panarima. Sing bejo bisa rumongso. Ojo rumongso biso. Banda kuwi titipan, deni pangkat mung sampiran… Narimo ing pandum, titipane Ilahi (Ketenteraman jiwa bergantung pada rasa menerima. Orang yang beruntung adalah yang bisa merasa. Jangan merasa bisa. Harta itu titipan, sedangkan pangkat hanya sampiran…. Terima pada pembagian, titipan dari Tuhan).
Dengan menjadi orang yang bisa merasa, kita akan menyadari bahwa kita ini makhluk sosial. Kita tidak bisa lepas dari peran orang lain karena banyak kebutuhan yang dipenuhi orang lain, seperti komputer, celana, atau alat lain. Meski saya tinggal di Madura, saya menyadari untuk berterima kasih pada seluruh bumi Indonesia.
Ini selaras dengan spirit Islam yang bersifat rahmatan lil’alamin. Keislaman saya mesti memberi manfaat bagi manusia lain.
Apakah puisi-puisi Anda juga bisa memberi manfaat bagi orang lain?
Saya hanya bisa berharap semoga puisi saya masih berguna bagi orang lain. Masih ada orang-orang yang mengundang saya untuk membaca puisi atau berceramah. Paling tidak, lewat puisi saya bisa punya banyak teman dan saudara.
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Februari 2011
No comments:
Post a Comment