Sunday, February 13, 2011

Prepresentasi Potret Kekuasaan dalam Rangda

-- I Nyoman Tingkat

MEMBACA kata “rangda” yang pertama terbayang adalah cerita Calon Arang, dengan tokoh utama perempuan Walunateng Dirah, tokoh utama perempuan yang dikisahkan memiliki ilmu hitam itu diidentikkan dengan tokoh rangda yang dioposisibinerkan dengan barong. Perkelahian barong dan rangda dalam teater tradisional Bali merupakan pertarungan antara kebenaran dan kejahatan yang dalam perspektif Hindu diformulasikan sebagai pertarungan antara kekuatan dharma dan adharma yang berakhir dengan kemenangan dharma melalui kehadiran barong.

Judul Rangda dalam novel Sunaryono Basuki Ks ini sedikit pun tidak menyinggung perkara teater tradisional Bali dalam konteks cerita Calon Arang. Berbeda dengan novel Topeng Jero Ketut atau Hunus yang ditulis Sunaryono sebelumnya, sarat dengan muatan budaya lokal Bali, novel Rangda justru sarat dengan muatan politik penguasa. Namun, jika membaca secara keseluruhan novel Rangda ini, jelas sekali bahwa idealisme pengarang susah dimenangkan oleh kenyataan dalam masyarakat bahkan dalam cerita novel ini sekali pun. Atas dasar itu, pengarang rupanya meminjam rangda Bali untuk merepresentasikan bagaimana kekuasaan bermain dan dimainkan. Yang menang belum tentu yang benar. Yang benar bisa tertindas karena tidak ada uang. Yang dibela adalah yang bayar. Fakta masyarakat demikian dipotret secara rapi oleh Sunaryono dalam novel ini sehingga membuat pembaca senantiasa berdebar, lebih-lebih bagi pembaca Bali yang akrab dengan Calon Arang yang selalu menghadirkan rangda.

Rangda menghadirkan tokoh utama Pedro yang lolos masuk Universitas Independen (UI) tanpa tes tetapi batal memperoleh beasiswa gara-gara ayahnya diketahui bekas pendukung Gubernur Juan Carlos yang telah lengser. Ketika peta politik penguasa beralih ke tangan Moon Jung, sejarah keterlibatan ayah Pedro yang mengelu-elukan kepemimpinan Juan Carlos menjadi catatan kelam bagi pendukung Moon Jung, dan berimbas pada masa depan studi Pedro.

Perjuangan Pedro, seorang pemuda dusun di sebuah kampus megah UI ternyata menjadi perhatian khusus bagi Cindy yang anak orang berada. Bagi Cindy, Pedro adalah pemilik masa depan dengan alasan logis bahwa Pedro adalah mahasiswa yang ulet, rajin dan pekerja keras, tak mudah menyerah, tidak hanya pandai membagi waktu, tetapi juga pandai di bangku kuliah. “Kamu jangan menilai orang dari bajunya. Pedro itu pemuda baik-baik. Dia juga pandai. Masa depan milik orang pandai!” (hal. 78). Demikian Cindy membela Pedro yang diejek oleh saudaranya, Mario.

Dengan menelusuri latar belakang kedua tokoh utama dalam novel ini, tersirat bahwa keduanya secara ekonomi bagai bumi dan langit, tetapi dari segi ideologi keduanya mempunyai minat yang sama untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat kecil yang kesusahan ditindas keganasan glamour kota. Karena itulah keduanya bersama-sama turun melihat kenyataan masyarakat kecil di bawah yang kesusahan, lalu merekam betapa ketimpangan telah terjadi di berbagai aspek kehidupan, walaupun penguasa datang silih berganti. Pada awalnya, penguasa baru muncul dengan janji-janji manis seraya memojokkan rezim sebelumnya, tetapi lama kelamaan rezim baru pun ketularan penyakit lama, sesuai dengan aksioma bahwa kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup. Ini adalah bentuk kritik terhadap penguasa. Bentuk kritik lain adalah kekayaan negara yang melimpah tetapi masih menyisakan penduduk miskin dan kelaparan, yang membuat mahasiswa UI gelisah. Kritik berikutnya adalah hasil pembangunan yang dicitrakan melebihi kenyataan sebagaimana dikatakan Umbero Eko, sebagai hiperrealitas. Wujudnya adalah acara sambung rasa yang sarat dengan rekayasa dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan sebelumnya. Lalu, kritik terhadap penguasa memelihara insan pers dengan menjadikan mereka sebagai corong keberhasilan sekaligus memandulkan perannya dan menjadikan mereka sebagai wartawan bodrek (wartawan amplop).

Semua itu merupakan bentuk kritik sosial terhadap rezim penguasa pada zamannya. Dengan meng-asing-kan tokoh-tokohnya, Sunaryono sesungguhnya telah melakukan verisimilitude (membaurkan fakta dan fiksi) dalam novel ini. Tokoh-tokoh asing itu adalah tokoh pinjaman, seperti Pedro, Cindy, Marcello, Mario, Junio, Moon Jung, Juan Carlos. Pinjaman tokoh-tokoh asing dalam Rangda ini adalah strategi pengarang untuk melakukan kritik. Cara demikian juga dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novel Janda dari Jirah, atau Alit S Rini dalam kumpulan puisi Karena Aku Perempuan Bali. Kedua pengarang perempuan Bali ini, juga meminjam tokoh masa lalu untuk mengkritik ketakberdayaan perempuan Bali masa kini. Strategi literer seperti itu adalah cara yang ditempuh Sunaryono dalam melancarkan kritik.

Kritik Sunaryono dalam Rangda mirip dengan kritik yang dilancarkan dalam Topeng Jero Ketut. Objeknya, sama-sama rezim penguasa yang boleh jadi merujuk pada rezim Orde Baru jika mencermati dari tahun terbit dan publikasinya kedua novel ini, yang diterbitkan dan dipublikasikan menjelang lengsernya Orde Baru. Di samping itu, kode 32 juga menyiratkan simbol kekuasaan Orde Baru. Dalam Rangda, angka 32 muncul dalam 2 versi. Pertama, angka 32 merujuk pada nomor bus. “Di sana ada pemberhentian bus, dan dia harus menunggu bus nomor 32”. Kata “pemberhentian” mengingatkan pada berhentinya mobilitas kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Kedua, angka 32 mengacu pada jumlah bab novel Rangda. Entah sadar atau tidak, pengarang menyelesaikan kisahnya sampai bab 32 yang juga bisa dianalogikan sebagai masa kekuasaan Orde Baru.

Kritik terhadap penguasa, ketimpangan ekonomi, pemberitaan media yang mengekor kekuasaan, kesenjangan sosial yang kian menganga, responsitas kekuasaan yang tumpul adalah sejumlah pemahaman dan penghayatan pengarang terhadap kehidupan di sekelilingnya. Bentuk respons itu tak lebih dari kenyataan yang diamati di sekelilingnya. Dengan demikian, maka kehadiran Rangda sebagai novel, tak ubahnya berita di balik cerita. Fakta di balik fiksi. Hubungan keduanya tentulah tidak harus diuji secara faktual sebagaimana rumus-rumus matematika, yang melahirkan kebenaran tunggal. Dunia novel, sebagai bagian dari sastra tentu saja menganut kebenaran relatif, yang memberikan peluang bagi pembaca untuk merebut makna.***

I Nyoman Tingkat
, guru SMA N 2 Kuta, Bali.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 13 Februari 2011

No comments: