Sunday, February 27, 2011

Tari: Dari Mitos ke Kehidupan Urban

-- Putu Fajar Arcana

PERJALANAN dari mitos Sawerigading yang ada dalam teks ”I La Galigo” sampai kebudayaan urban perlu berabad-abad. Transformasi dari memori tubuh ”primitif” suku Papua sampai pada bentuk tari kontemporer juga bisa sangat panjang. Tetapi, semuanya bisa bertemu dalam panggung IDE (Indonesia Dance Expression), Selasa (22/2) di GoetheHaus Jakarta.

Yola Yulfianti dan sesama seniman IKJ (Institut Kesenian Jakarta), yang menggagas IDE untuk mewadahi gelegak kreativitas koreografer muda, bisa jadi tanpa sadar telah memasuki satu gugusan wilayah yang maha-luas. Ajang ini menampilkan empat karya koreografer muda berjudul Jejak Sawerigading (Sabilul Razak), Koteka (Boogie Papeda), Almost Can’t Breath (Yola Yulfianti), dan Me, Myself, and I (Rizki Suharlin Putri).

Pemilihan materi ini saja sudah mengandung beberapa aspek yang mencengangkan. Orang- orang muda seperti Sabilul dan Boogie, meskipun belajar di Jakarta, tetap saja membawa serta memori tentang hamparan kultural yang membentang dalam peta kesehariannya. Teks kuno seperti I La Galigo, yang disebut-sebut sebagai narasi sastra terpanjang di dunia, tetap menjadi sumber kreativitas yang menyediakan celah-celah interpretasi. Sabilul memilih episode ketika tokoh Sawerigading mengembara ke China untuk mencari We Cudai, gadis cantik yang mirip adik kandungnya, We Tenri Abeng. Pemilihan episode itu membuat Sabilul leluasa memasukkan artefak kebudayaan China seperti Liong-liong dan lampion.

Sayangnya, artefak kultural ini dalam kehidupan kontemporer telah dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan profan seperti dagang. Oleh sebab itu, Sabilul harus bekerja keras membersihkan atribut dagang, jika ingin artefak itu menyatu ke dalam tubuh Sawerigading yang hidup dalam ranah mitologis. Apa yang dilakukan Boogie sebenarnya tak jauh-jauh dari kesan serupa. Anak Papua ini sedikit frustrasi untuk memberikan ”penjelasan” bahwa koteka itu tidak primitif dan jorok. Itulah sebabnya, ia menggeletakkan koteka besar sebagai setting panggungnya.

Koteka bukan bahan tertawaan apalagi lelucon, melainkan ini adalah identitas suku Papua, begitu tulis Boogie dalam leaflet sederhana pengantar pentas ini. Betapa pun itu lantang diucapkan, anak muda ini tampak kehilangan kepercayaan diri ketika memasukkan unsur-unsur tari Jawa dalam karyanya. Dengan mengangkat gerak ritmis tari Jawa sebagai simbol modernitas, ia justru makin memerosokkan dirinya dalam pengakuan bahwa Papua itu berada di kutub lainnya.

Kedua anak muda ini memang harus terus diberi panggung untuk melakukan pelatihan olah gagasan dan mengatakannya secara benar di atas sendi-sendi gerak tubuh.

Masalah kota

Yola dan Rizki seolah ingin menarik garis batas yang tegas dengan Sabilul dan Boogie. Keduanya menghadirkan karya yang boleh jadi merupakan risiko hidup di kota besar seperti Jakarta. Yola mencoba membagi pengalaman kesehariannya yang harus menerobos pekatnya asap knalpot di jalan-jalan kota ketika ia mengendarai sepeda motor. Risiko terbesar baginya, bukan saja kecelakaan, tetapi racun gas karbon dioksida. Maka, dalam Almost Can’t Breath, tidak cukup mulut yang ditutup masker, tetapi seluruh tubuh kita. Bila perlu kepala, lutut, pundak, dan kaki penuh dengan masker. Paranoid? Itu memang karakter paling kentara dari masyarakat kota.

Nomor ini hadir menjadi ironi hidup di kota besar, jika dikaitkan dengan apa yang digelar Rizki dalam Me, Myself, and I. Kesumpekan hidup itu digambarkan dengan kepadatan ruang, orang-orang harus berebut, saling sikut, saling salip, saling jotos pun tak bisa dihindari. Kenyataan hidup yang pahit itu juga terjadi di jalan raya. Dan kita semua setiap hari seperti dikejar oleh risiko.

Panggung GoetheHaus Jakarta malam itu seperti riuh rendah diisi oleh sekelompok anak muda yang mencoba mempersempit jarak antara bentangan mitos, yang barangkali hanya hidup dalam memori purba mereka, menuju kehidupan urban yang warna-warni tetapi berisiko. Apa pilihan kita? Hidup di masa lalu dengan mitos yang susah payah juga kita bangkitkan dari kubur atau menerima kenyataan hidup di kota dengan segala risikonya?

Inilah realitas hidup yang sesungguhnya di negeri ini. Memori selalu memberi peluang untuk dihidupkan, sementara kenyataan dengan lapang dada bisa dikritik. Dan semuanya memberi ruang yang begitu kaya bagi kreativitas kesenian. Begitu bukan? Empat anak muda ini sudah memulainya secara baik. Jangan patahkan mereka!

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

No comments: