REVOLUSI Biru. Semangatnya bisa dianalogikan dengan Revolusi Hijau yang mengangkat Indonesia di mata dunia dan Pak Harto, Presiden Indonesia waktu itu, mendapatkan penghargaan PBB karena swasembada pangannya.
Jika suatu ketika nanti Revolusi Biru bergaung di tingkat global hingga mendapat penghargaan di tingkat PBB, diandaikan kaum nelayan sudah hidup sejahtera, mampu membiayai pendidikan anak-anaknya, dan kebutuhan gizi mereka terpenuhi. Dan, tak ada lagi nelayan yang ditangkap oleh petugas keamanan negara tetangga.
Kelautan akan dijadikan panglima pembangunan. Pembangunan yang selama ini bias darat harus segera diubah. Perkara ini tidak mudah karena masalah kelautan terkait erat dengan berbagai aspek lain, seperti politik, budaya, dan ekonomi.
Nelayan terus terang merupakan masyarakat marjinal yang amat subsisten. Tanpa intervensi yang memadai selama ini akibat paradigma pembangunan yang bias darat, nasib mereka tak beranjak ke atas.
Belum juga nasib nelayan berubah, kini dalam dua-tiga tahun terakhir muncul ancaman baru yang bersifat global, yaitu perubahan iklim yang membawa dampak yang bersifat multiplier (berganda).
Perubahan iklim akan mengakibatkan memanasnya suhu air laut, yang akan berdampak pada terumbu karang dan pada akhirnya akan membuat jumlah ikan menyusut. Sebab, terumbu karang merupakan salah satu lokasi pemijahan ikan.
Kekayaan sumber daya alam kelautan Indonesia bisa dikatakan berlimpah. Sebagian wilayah perairannya adalah pertemuan dari arus Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik sehingga menghasilkan laut yang subur dengan keanekaragaman hayati yang juga melimpah. Kekayaan ini terbukti dari hasil perikanan laut Indonesia.
Menurut catatan sejumlah peserta diskusi, Indonesia berada di posisi ketiga perikanan tangkap pada tahun 2008 dan 2010 dan di urutan ke-10 pada produksi akuakultur tahun 2008.
Kekayaan melimpah juga didukung oleh luasnya wilayah perairan Indonesia yang mencakup dua pertiga dari wilayah Indonesia seluruhnya. Sementara panjang garis pantai seluruh Indonesia sekitar 81.000 kilometer. Berdasarkan data dari BPS tahun 2008, terdapat 10.666 desa pesisir yang didiami nelayan tradisional.
Sementara Fadel Muhammad mengungkapkan, sekitar 2.250 desa rawan bencana rob, di mana air laut menggenangi wilayah daratan. Daerah pesisir merupakan daerah yang rawan terhadap dampak perubahan iklim.
Di luar itu, dampak berupa gelombang besar telah mengurangi hari melaut nelayan tradisional. Frekuensi melaut nelayan tradisional dengan kapal berbobot mati di bawah 5 ton dari biasanya 240-300 hari menjadi hanya 160-180 hari per tahun. Pendapatan nelayan tradisional turun 50-70 persen, hanya mendapatkan Rp 0-Rp 40.000.
Data Kiara mencatat, kerugian di sektor perikanan tradisional antara Rp 56 triliun dan Rp 73 triliun (total nelayan tangkap tradisional pada 2009 adalah 2.752.490 jiwa). Dari pemberitaan Kompas, dalam tiga minggu pertama tahun 2011 setidaknya sudah 20 nelayan tak tentu rimbanya. Sedikitnya 68 nelayan tradisional dinyatakan hilang dan meninggal dunia pada Januari 2010-September 2010.
Subroto mengomentari pendek situasi ini, ”Saudara-saudara kita yang di pinggir laut sekarang ini susah lagi karena lautnya sangat tidak menyenangkan. Mereka tidak bisa bekerja.” ”Praktis memang cuaca ekstrem menjadi hambatan yang sangat fundamental hari ini,” ujar Riza Damanik.
Dia tidak mengada-ada ketika dengan tegas mempertanyakan kesungguhan pemerintah untuk mendongkrak kondisi ekonomi masyarakat nelayan dengan meningkatkan produksi, seperti dicanangkan oleh Fadel Muhammad, jika tak ada upaya mereferensikan cuaca ekstrem sebagai satu ancaman yang laten hari ini.
Pusat pertumbuhan
Persoalan cuaca ekstrem sebagai dampak dari pemanasan global berdampak semakin parah pada wilayah pesisir karena sebenarnya pangkal persoalannya terletak pada mobilisasi pertumbuhan di wilayah pesisir, semakin pesatnya pusat-pusat pertumbuhan di wilayah pesisir yang merupakan perluasan dari ruang-ruang yang semakin sempit.
”Teluk Jakarta adalah contoh yang paling menarik bagaimana kota ini semakin rakus dengan mereklamasi dan seterusnya sehingga pusat-pusat pertumbuhan semakin menjorok ke laut,” tutur Riza. Pertumbuhan di pesisir yang pesat tersebut juga telah memakan mangrove, yang kemudian dihilangkan.
Contoh nyata adalah sepanjang perumahan di pinggir jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta. Ketika mangrove lenyap, wilayah pesisir semakin rentan terhadap bencana, terutama tsunami dan lainnya adalah abrasi pantai.
Berbeda dengan Subroto yang memandang wilayah kelautan di Indonesia belum tersentuh, sebenarnya perairan laut di Indonesia telah tersentuh. Secara tidak langsung bahkan laut kita telah tersentuh oleh berbagai sampah berbahaya, terutama sampah pertambangan. Pencemaran akibat kegiatan pertambangan ini terjadi, terutama, di pulau-pulau di Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Sulawesi di Teluk Manado. Sementara Teluk Jakarta juga mengalami pencemaran berat karena 13 sungai di Jakarta bermuara di sana!
Dampak ikutan lain dari pemanasan global dan perubahan iklim adalah meningkatnya suhu air laut yang menyebabkan ikan ”lari” ke daerah subtropis, yang berarti nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Artinya, butuh bahan bakar lebih banyak, biaya operasional meningkat. Ketika suhu permukaan laut meningkat, kecepatan angin pun akan meningkat. Hal ini mengakibatkan munculnya gelombang tinggi, yang pada tingkat ekstrem akan menghalangi nelayan melaut karena melaut berubah menjadi urusan hidup mati. Ketika angin semakin kencang, curah hujan juga cenderung meningkat.
Yang perlu menjadi catatan dalam kaitannya dengan cuaca ekstrem akibat pemanasan global adalah kenaikan paras muka air laut. Kenaikan paras muka air laut ini akan berdampak luas, yaitu pada migrasi penduduk ke daerah yang lebih tinggi. Migrasi tersebut jika terjadi di daerah yang padat akan rentan terhadap konflik sosial atau konflik horizontal.
Riza menyebutkan secara tegas betapa para nelayan selama ini seakan dibiarkan sendirian untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi di lautan. Menurut Riza, yang dibutuhkan saat ini adalah komunikasi dan informasi mengenai keadaan cuaca sehari-hari yang langsung dihadapi oleh masyarakat nelayan. ”Ketika mereka mendapatkan informasi meteorologi, mereka tidak tahu informasi itu harus diapakan dan mereka tidak tahu harus bagaimana,” kata Riza.
Saat ini, ketika cuaca ekstrem semakin sering terjadi, kearifan lokal yang dulu dijadikan sandaran bagi para nelayan tradisional untuk menjalankan praktik melautnya kini sudah tidak memadai. Yang dbutuhkan sekarang adalah informasi pelengkap lain dari pemerintah, misalnya tentang cuaca, lokasi penangkapan, serta pengetahuan akan prinsip-prinsip keamanan melaut.
Para nelayan tradisional memerlukan akses informasi dari dan ke komunitas mereka dari pemerintah. Dari laporan Kiara, biaya yang dibutuhkan untuk itu kurang dari Rp 5 miliar atau kurang dari 0,2 persen dari total anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010. Biaya ini untuk pengadaan akses informasi ke seluruh desa pesisir di Indonesia.
Untuk optimalisasi diseminasi informasi, bisa didayagunakan semua rumah ibadah, misalnya masjid, gereja, atau apa pun. Rumah ibadah di pedesaan memiliki fungsi ruang publik di mana pertukaran informasi menjadi amat efektif.
Sejauh ini, terkait dengan adaptasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan baru membuat sejumlah percontohan yang replikasinya sulit diwujudkan karena masyarakat pesisir selama ini belum mampu memberdayakan diri.
Percontohan yang telah dilakukan, di antaranya, adalah membangun rumah ramah bencana yang berjumlah 2.733 unit. Pembangunannya tersebar di berbagai daerah, di antaranya di Jawa Tengah. Rumah ramah bencana ini lebih ditujukan untuk mengantisipasi ancaman bencana tsunami.
Selain itu, juga dibuat percontohan untuk sabuk hijau (green belt) berupa tanaman cemara laut sepanjang 1 kilometer. Segala proyek percontohan tersebut tidak secara sistemis dimasyarakatkan agar seluruh kawasan pesisir—sesuai dengan ancaman di daerahnya masing-masing—mampu secara swadaya membangun kawasan yang ramah bencana. Entah dari ancaman tsunami atau ancaman dampak perubahan iklim berupa gelombang tinggi yang abrasif atau kenaikan paras muka air laut.
Asuransi iklim
Ketika keselamatan jiwa para nelayan menjadi taruhan saat mereka melaut, juga diajukan usulan untuk pengadaan asuransi jiwa bagi nelayan. Dari perhitungan yang dilakukan Kiara, dibutuhkan sekitar Rp 350 miliar atau kurang dari 0,035 persen nilai total APBN untuk menyelenggarakan asuransi kecelakaan kerja dan kematian bagi seluruh nelayan tradisional di Indonesia.
Ironi yang muncul di tengah kemiskinan nelayan tradisional adalah tidak berfungsinya koperasi bahari. Hal ini terjadi di banyak tempat. Sebagai penggantinya, Kiara mengusulkan pemerintah bisa menyedia- kan bantuan permodalan dengan bunga rendah, yaitu di bawah 5 persen. Bantuan modal dengan bunga rendah juga dilakukan oleh sejumlah negara di Asia. Pemberian asuransi dan permodalan ini sangat bermanfaat bagi nelayan tradisional karena pada umumnya mereka terlibat utang kepada rentenir. Persoalan perekonomian nelayan yang subsisten ini analog dengan persoalan ekonomi yang dihadapi para petani gurem yang rata-rata luas tanahnya hanya 0,2 hektar.
Dari semua narasi tentang nelayan tradisional yang membuat miris, terutama ketika mereka amat rentan terhadap perubahan iklim, catatan terpenting yang ada di pengujung kertas Menteri Kelautan dan Perikanan adalah berilah respons yang memadai terhadap ancaman dampak perubahan iklim. Rancangan pembangunan dengan menitikberatkan pada adaptasi di sektor kelautan penting dan perlu diprioritaskan untuk segera digarap.
Menurut ahli kelautan Alan F Koropitan, Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang menyusun laporan tahunan bagi Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), kerentanan suatu ekosistem terhadap perubahan iklim tidak hanya tergantung pada sensitivitasnya, tetapi juga pada kemampuannya beradaptasi dengan kondisi iklim yang baru.
Kebijakan pemerintah terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim ini hingga sekarang belum jelas.
Tanpa merespons secara serius persoalan ini, jangan heran jika di masa depan bukan hanya persoalan ekonomi yang muncul, melainkan juga persoalan tata ruang dan persoalan sosial yang potensial meluas. Adaptasi menjadi salah satu kata kunci.
Nelayan harus bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim, di antaranya dengan mendapatkan informasi yang sifatnya operasional di lapangan, sehingga mereka tak merasa dibiarkan sendirian menghadapi gelombang besar di samudra dan gelombang kehidupan ekonomi yang tak menentu. Informasi operasional itu yang dibutuhkan para nelayan. Jangan biarkan mereka terombang-ambing sendirian….
Sumber: Kompas, Selasa, 08 Februari 2011
No comments:
Post a Comment