-- Warih Wisatsana
PARA perupa Bali kini bukan hanya menghadapi godaan globalisasi dengan ikon-ikon yang diandaikan kontemporer, melainkan pula harus kuasa mengkritisi eksotika tradisi yang sering dipandang adiluhung itu. Dalam ketegangan kreatif ini, yang mengemuka tidak semata persoalan identitas komunal, tetapi juga menjadi tantangan masing-masing kreator untuk meraih capaian eksistensi pribadi tersendiri.
Pameran Dunia Fantastik Ketut Budiana. (DOKUMENTASI BENTARA BUDAYA BALI)
Ketut Budiana (60), kelahiran Padangtegal, Ubud, melalui pameran tunggal ”Dunia Fantastik” di Bentara Budaya Bali (BBB), 28 Januari-7 Februari 2011, mengindikasikan problematik tersebut, serta menawarkan arah kreasi yang mungkin ditempuh. Ada 60 karya terpilih, mengekspresikan bagian diri Ketut Budiana yang komunal dan juga sisi lain yang individual.
Aneka wujud dalam kanvasnya adalah ikon-ikon yang akrab dalam keseharian masyarakat Hindu Bali, terlacak jejaknya hingga ke nilai filosofis paling hakiki. Yang membedakannya dengan karya-karya pelukis Bali lainnya, Ketut Budiana mampu mengolah wujud kosarupa tersebut menjadi suatu dunia yang fantastik. Wajah-wajah menyeramkan dan figur-figur yang merujuk pada wiracerita setempat, semisal rangda, barong, leak, dan lain-lain, tidak sekadar diinterpretasi ulang, tetapi diolah sebagai ekspresi pribadi. Hasilnya adalah kreasi yang boleh dikata modern, sarat dengan kekuatan ekspresi simbolisme kosmis, melampaui kebakuan bentuk lukisan Bali tradisional.
Transformasi
Sebagaimana diungkapkan Jean Couteau, kurator pameran, Ketut Budiana tidak mengidealkan Bali dalam karyanya, sekaligus tidak pula berpretensi menjadi saksi gelombang perubahan yang tengah dialami masyarakat. Yang dia tawarkan sesungguhnya adalah upaya transformasi, diterjemahkan dalam wujud garis dan warna, memanfaatkan bukan hanya ikonografi yang direvisi, tetapi juga suatu inovasi bersifat teknis dan stilistik. Orisinalitas karya tercapai justru karena garis grafisnya yang semakin bebas berikut kepiawaian Budiana mengeksplorasi kertas-kertas Jepang atau kertas olahannya sendiri.
Dalam upaya transformasi tersebut, Ketut Budiana secara sadar memilih teknik melukisnya berupa sapuan demi sapuan (laburan/wash), dengan tinta atau warna. Menariknya, grafis atau drawing tetap terjaga, bahkan menjadi satu kesatuan yang utuh dengan ikon-ikon dan kosarupa pilihannya, didukung oleh adanya unsur naratif serta irama visual yang terarah. Lukisannya yang berjudul Kelahiran, misalnya, secara filosofis menyuratkan nilai-nilai dualitas, lelaki dan perempuan, Dewa Siwa dengan Dewi Uma. Adapun secara bentuk, terbangun padu melalui wujud kosmis yang hidup dalam memori kultural masyarakat Bali, tetapi sekaligus bukan sesuatu yang klise dan artifisial.
Hal yang sama juga mengemuka dalam karya-karyanya yang lain, bernada spiritual dan mengekspresikan suatu yang simbolis filosofis. Simaklah Meditasi atau Linggam (simbolisme Dewa Siwa/purusha). Wujud rupa yang mengemuka adalah suatu yang bersifat khas Ketut Budiana, tetapi bernilai universal lantaran mewakili bentuk-bentuk yang dapat dijumpai dalam keseharian kita.
Dengan kata lain, Ketut Budiana berhasil mengolah keunikan akar kulturnya dengan keuniversalan pikiran serta emosinya sebagai sosok manusia yang individual. Pergulatan ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah mengingat betapa Pulau Bali hingga belakangan ini, tempat di mana ia lahir dan berkembang, terkait konteks sosio historisnya, kerap diwacanakan dan terkonstruksi secara ’ideal’ dengan citraan stereotip sebagai the last paradise, berikut eksotik turistik yang membayang-bayangi dan terbukti bisa menjadi tirani estetik tersendiri.
Memang, sejak awal kolonial, bahkan jauh sebelum itu, Bali boleh dikata telah mengalami globalisasi dengan berbagai ragam determinasinya. Pergulatan dan capaian Ketut Budiana merefleksikan proses lintas budaya (trans culture) serta silang budaya (cross culture) yang mempertautkan nilai-nilai warisan leluhurnya (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain. Pada sebagian karyanya, kita dapat meresapi suatu capaian yang bersifat asimilasi, mengandaikan adanya pertemuan berbagai kultural, menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh. Di sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya.
Jalan yang ditempuh Ketut Budiana, berikut simpang kemungkinannya, tentulah dialami juga oleh para perupa Bali lainnya, entah kemudian bersetia dengan ragam tradisi atau secara sadar memilih ekspresi modern/ kontemporer. Namun, sebagaimana capaian Gusti Nyoman Lempad, pembaru seni rupa Bali dari abad ke-19, diperlukan kesadaran dan intensitas yang teguh guna menghindari godaan-godaan penciptaan; sekadar terbawa arus mainstream seni ataupun tren tematik yang stereotip; seraya mampu berkelit dari kebanalan dunia pariwisata, penuh janji kemakmuran yang membuat kreator lekas tenteram dalam kemapanannya.
Warih Wisatsana, Penyair
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment