-- Bandung Mawardi
CIPTO Mangunkusumo dengan gairah melafalkan petikan puisi dari F Van Eeden: Semua manusia punya nama / tetapi semua bernama satu / Semua bernama ”aku”.... Aku adalah semua manusia.
Puisi itu dibacakan Cipto ketika dibuang ke negeri Belanda. Di sana, ia terus mengabarkan dan mengobarkan nasionalisme bersama Indische Vereeniging. Ia dijuluki Mirabeau.
Banyak julukannya di Hindia Belanda, antara lain een begaafd leerling (si anak berbakat), anak si kromo, dokter Jawa berbendi, si Jawa kurang ajar, manusia tanpa tedeng aling-aling, sado-koetsier (tukang sado), ksatria, dan demokrat sejati.
Nama menentukan nasib seseorang atau bangsa. Cipto adalah bukti dari pengakuan diri sebagai manusia dan penghormatan terhadap idealisme politik dan kultural. Haluan politik dan pengetahuannya kerap berkiblat Barat, tetapi dalam dirinya masih tertanam spirit Jawa klasik.
Cipto mengaku mengambil hikmah dari teks sastra klasik Nitisastra: ”Tugas hidup adalah menjadi manusia utama”. Itu diterjemahkannya dalam politik, kesehatan, sosial, dan kultural.
Kejanggalan politik
Cipto contoh satir politik dan heroisme. Bintang penghargaan dari kolonial untuk jasa mengatasi wabah pes ditaruhnya di pantat celana. Kesempatan menjadi pimpinan atau kunci dalam pergerakan tak diambil dalam pamrih pragmatis. Ia memilih menempuh jalan minor meski menanggung risiko politik.
Etos menjadi manusia itu susah ditemukan lagi pada politik mutakhir. Orang berpolitik menjual nama. Penghargaan dan gelar dilekatkan berderet. Politik jadi jalan aib. Sementara Cipto memahami politik sebagai jalan penyadaran menjadi manusia.
Ia menolak memakai pakaian dokter Jawa resmi versi kolonial. Ia memilih lurik dan belangkon. Penampilan itu tipikal rakyat Jawa kebanyakan. Jenis pakaian menentukan martabat tanpa harus meninggikan diri secara artifisial dan angkuh.
Hari ini, para politikus justru memamerkan pakaian sebagai perayaan pragmatisme politik. Panggung politik sesak persaingan identitas tetapi lupa martabat. Cipto tak mungkin bisa hidup dalam lakon politik mutakhir karena keganjilan dan keeksentrikan susah diterima sebagai sisi lain pementasan teater politik. Savitri Prastiti Scherer (1985) dengan pas menyebutkan Cipto berada dalam ketegangan keselarasan dan kejanggalan.
Anak rakyat (kromo)
Cipto kerap memproklamirkan diri: ”Aku adalah anak dari rakyat. Anak si kromo.” Sekarang, orang-orang mengakui diri melenggang ke jalan politik karena menjadi anak ”si anu”, para pejabat dan aktor-aktor politik. Pengakuan itu bisa saja normatif, tetapi mungkin menimbulkan prasangka politik. Mereka bermukim di parlemen tanpa susah. Apa proklamasi Cipto masih mungkin berlaku?
Episode kehidupan Cipto di Solo jadi momentum kemanusiaan dengan membuka praktik pengobatan. Ia berbaur dengan rakyat secara egaliter dan laku memberi. Keintiman dengan rakyat diekspresikan mengejek simbol kekuasaan Jawa.
Ia melarikan bendi di alun-alun, yang berarti pelanggaran berat karena tempat itu milik keraton. Cipto dijatuhi hukuman. Kini, para politisi pamer mobil di jalanan dengan angkuh, minta dihormati dan dilayani. Mobil jadi penanda kekuasaan dan praktik korupsi. Ironis!
Cipto menjalani hidup dengan getir. Pernikahan dengan perempuan peranakan Belanda di Solo pada 1916 membuat orang-orang sinis sekaligus kagum. Pemikiran progresif nasionalisme Hindia Belanda disempurnakan oleh alienasi dan sepi. Penyakit asma menghentikan hidupnya. Prasangka ideologi dan politik membuatnya susah diterima dalam pergerakan.
Ia bergaul intensif dengan tokoh-tokoh kunci pergerakan tanpa harus jadi hero. Soejitno menulis surat pembelaan kepada E Du Perron, 22 Maret 1940. ”Dia bukan komunis, tidak juga fasis dan kalau dia demokrat, maka ini lebih banyak disebabkan oleh soal-soal kemanusiaan daripada politik.”
Petikan surat itu mengandung penyadaran politik, meski untuk hari ini susah direalisasikan. Aktor-aktor politik justru vulgar memuja partai, arogan dengan ideologi, angkuh dalam politik, dan abai terhadap fondasi humanisme. Cipto mengajarkan garis politik dengan humanisme.
Pelajaran itu mungkin masuk keranjang sampah di negeri ini. Politik nyaris tak mengenal lagi misi kemanusiaan dan cenderung jadi buldoser. Biografi politik negeri ini telah kehilangan etika dan kesadaran terhadap proyek demokrasi manusiawi.
Cipto mewariskan pelajaran politik meski hampir tak ditekuni para politisi. Soetomo (1935) dengan agak sinis menganggap pelajaran-pelajaran Cipto bisa dihargai hanya dari jauh. Cipto meninggal 8 Maret 1943 dalam sepi dan getir. Ia cuma mewariskan buku-buku termakan rayap. Warisan Cipto tekun dipelajari oleh rayap tapi bukan rakyat negeri ini?
Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo, Redaktur Jurnal Kandang Esai, Koordinator Bale Sastra Kecapi Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Februari 2011
No comments:
Post a Comment