Sunday, February 13, 2011

Anak-anak Merah Putih

-- Arswendo Atmowiloto

ANIS, anak perempuan usia sekolah dasar, belum masuk sekolah. Pagi hari ketika teman seusia mengenakan seragam, ia masuk ke sungai mencari cacing sutra. Mengambil lumpur di dasar sungai, memisahkan, menyaring, untuk menemukan cacing halus yang bisa dijual untuk makanan ikan hias. Ia ingin sekolah, dan tahu syaratnya harus mempunyai akta kelahiran. Melalui pemulung yang dikenalnya ia meminta dicarikan akta kelahiran bekas agar nantinya bisa sekolah.

Zelda Maharani buta sejak lahir dan kurang suka menggunakan tongkat putih karena takut diolok-olok. Meskipun untuk itu ia pernah kecebur got dua kali dan dicakar kucing. Kini ia sibuk ngamen menyanyi untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli mata kaca untuk mata kanannya. Tuturnya, ”Saya tahu dengan mata kaca saya tetap tak bisa melihat, tapi saya tak ingin terlihat menakutkan atau menjijikkan. ”Yang dikhawatirkan sekarang ini adalah kalau harga mata kaca itu naik, sehingga tabungannya tetap tak menjangkau.

Darul yang tunarungu sejak kecil bekerja sebagai pemelihara burung merpati pos yang dititipi surat untuk ayah yang meninggalkannya sejak kecil. Fitri, gadis yang tidak sekolah dan memilih menjadi peladang, pedagang sayur keliling. Pilihan hobi, atau profesi aneh, di belantara Jakarta. Mereka, juga anak-anak lain yang berkekurangan secara ekonomi, dari keluarga yang pas-pasan dan berbuat sesuatu, adalah anak-anak yang benar-benar ada. Kisah mereka sungguh dialami. Juga ketika mereka—bersama keluarga, orang dekat, lingkungan—memerankan diri dalam program TV berjudul Anak-Anak Merah Putih (AAMP), yang disiarkan Trans 7 mulai pukul 17.30-18.00, mulai awal November lalu. Selama setengah jam dari Senin-Selasa ada wajah anak Indonesia yang berbeda, yang tetap wajah anak-anak kita juga.

”Reality TV”

Dari jenis dan pendekatan penggarapan, AAMP lebih bersifat dokumenter, atau bahasa sekarang semi dokumenter, atau bahasa TV adalah reality TV. Yang lebih menggambarkan kisah yang sesungguhnya, tanpa rekayasa dan atau kamera tersembunyi yang biasanya dipergunakan dalam jenis reality show. Untuk yang terakhir ini lebih menampilkan unsur ”show”, sehingga talent, atau pemeran nenek bisa dimainkan oleh remaja dengan rambut dicat putih, dan atau dramatisasi di luar alur cerita—akhir yang dibuat dengan resep sukses ala Hollywood atau bahkan Bollywood.

Pada AAMP, Anis tidak digambarkan menemukan akta lahir dan atau masuk sekolah karena realitas yang sebenarnya ia masih menunggu kesempatan itu. Dari segi jenisnya, reality TV yang benar-benar base on true story, di pertelevisian kita adalah baru. Dibandingkan dengan jenis yang ”termehek-mehek” yang lebih dulu populer. Tak ada yang salah dengan reality TV ataupun reality show, karena keduanya mewakili bentuk dan penggarapan yang, bisa, berbeda. Kedua bentuk ini mempunyai hak hidup yang sama, yang keberhasilannya untuk sekarang ini ditentukan oleh rating/sharing, dan juga pertimbangan—sedikit—citra positif dari program tersebut. Ini yang menentukan kelanjutan atau ketidaklanjutan program yang bersangkutan.

Dengan persaingan yang makin sengit, para programer dipaksa memelototi hasil sampai per menit. Sebelum akhirnya menemukan standar pencapaian, sebelum menemukan bentuk yang terkomunikasikan dengan pemirsa. Secara khusus untuk jenis yang realitas ini, bahkan BBC Knowledge yang mengetengahkan kisah sesungguhnya anak-anak yang menderita kelainan, harus bertabrakan dengan kisah kehidupan artis selebritas yang memperbesar payudara, dan atau jalan-jalan mencari pacar dengan segala kemewahan yang ditampilkan. Sedikit menguntungkan untuk pertelevisian di mancanegara karena warna dan keberadaan serta jenis pilihan programnya menjadi acuan utama, selain penilaian jumlah pemirsa. Sementara di negeri ini, yang terjadi adalah perebutan pemirsa secara bebas dan liar, dari jenis apa pun berada di pasar. Head to head berlangsung antara semua program dengan semua program, tak ada segmentasi untuk membandingkan yang sejenis, apple to apple.

Posisi stasiun siar

Gejala serupa melanda Amerika Serikat di tahun 70-80-an, mirip apa yang terjadi di negeri ini, saat ini. Sehingga secara keseluruhan bisa mudah dilihat, jika satu acara seperti realigi, atau hantu, atau jenis sinetron memelas, atau live music, atau apa pun yang berhasil segera diikuti secara persis—kalau perlu juga pemerannya atau pecahan dari pemeran yang tergabung di sana, atau wajah yang mirip. Industri pertelevisian di Amerika terjebak dalam wajah yang sama antara stasiun siar satu dengan lainnya: antara The Six Million Dollar Man dengan Bionic Woman; antara bad cops dengan good cops, sehingga tokoh utama serial selalu polisi. Sampai kemudian menemukan keseimbangan baru dengan jenis dan pendekatan baru. Gambaran serupa di Tanah Air, era 70-an itu—contoh dari majalah wanita—antara keberadaan majalah Femina dengan Kartini dan atau Sarinah. Gambaran serupa sampai saat ini dari jenis infotainment yang dihadirkan dengan cara yang sama, di mana pun stasiun siar. Gambaran yang sama bagaimana penyiar radio menggunakan bahasa gaul, baik disiarkan di ibu kota atau kota kecil.

Keseragaman ini menggeser ”kesetiaan” pemirsa atau pendengar atau pembaca, menjadi permasalahan, bukan pada stasiun siar. Diperparah lagi bagi stasiun siar, posisi keberadaannya, positioning-nya, sama-sama menggunakan jurus ”dewa mabuk”, ambil sana tiru sini.

Dari sejarah pertelevisian, penyeragaman dan kesamaan warna ini akan menempatkan pada jalan buntu. Sehingga kalau satu jenis program ditinggalkan masyarakatnya, akan juga tanggal dari stasiun siar mana pun. Sampai kemudian menengok kembali ke program khas yang digarap dan dipertahankan dari sebuah stasiun siar.

Menurut saya dengan mengaca apa yang terjadi di negeri lain, itulah yang akan terjadi. Keberadaan yang bisa dibedakan, menjadi salah satu kelangsungannya. Pada saat yang sama, standar pencapaian sinematografis, penggarapan ide, akan menemukan bentuknya secara keseluruhan. Sukses ”sinema Korea”, dengan jenis sinetron, atau seri, membuktikan ini. Agak berlebihan—walau sedikit, mungkin karena subyektivitas saya ikut menuliskan—AAMP bisa menjadi embrio alternatif itu. Dan bukan hanya jenis ini, karena demikian banyak jenis yang bisa dieksploitasi dari program televisi. Agak berlebihan, tapi saya melihat secara keseluruhan, pendekatan visual untuk laporan perjalanan, laporan yang bersifat dokumentatif atau laporan investigatif menunjukkan kualitas lebih prima, bahkan dari lima tahun sebelumnya. Ada kesadaran yang berubah untuk tampilan dengan memperhitungkan unsur artistik, dan bukan sekadar asal terang lampunya dan suaranya berisik dengan tangisan atau jeritan.

Tampilan beda itu ada pada Silvi, seorang anak pembantu yang mengorganisir arisan anak-anak, yang ikut arisan ibu-ibu dan belanja kebutuhan tetangga, atau seorang Yaman yang kehilangan ladang tempat mencari rumput yang dijadikan bangunan, dan tetap ingin menjadi kusir delman.

Mereka ini wajah kita juga.

Arswendo Atmowiloto
, Novelis dan Penulis Skenario

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Februari 2011

No comments: