MAKASSAR, KOMPAS - Penerbitan karya sastra I La Galigo yang merupakan epik masyarakat Sulawesi Selatan abad ke-13 hingga ke-15 terkendala. Padahal, karya sastra yang ditulis pada daun lontar ini menarik perhatian dunia karena isinya cukup beragam dan sangat panjang.
I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang naskah aslinya setebal 6.000 halaman kini berada di Leiden, Belanda. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan M Salim, dosen Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar.
Salim membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan, yakni sejak 1988 hingga 1993, untuk menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Penerbitan pertama 17 tahun lalu (1994). Penerbitan jilid kedua tahun 2003.
”Setelah itu, tidak ada lagi penerbitan naskah terjemahan karena tidak ada dana,” kata M Salim, akhir pekan lalu. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak mengucurkan dana untuk menerbitkan naskah yang bisa jadi lebih tua dari epik Mahabarata dari India tersebut.
Padahal, I La Galigo merupakan peninggalan tertulis yang sangat berharga karena mengungkap kekayaan budaya Sulawesi Selatan sebelum abad ke-14. Di sisi lain, kini sangat sedikit orang di Sulawesi Selatan yang bisa memahami I La Galigo.
Hikayat I La Galigo menjadi terkenal secara internasional setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater oleh sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson, tahun 2004. Menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan Jakarta pada 2005.
Pentas di Sulawesi Selatan
Setelah tampil di banyak negara, I La Galigo menurut rencana akan tampil di Makassar, 23-24 April 2011. Pementasan itu atas prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar, dan Change Performing Arts (Italia).
Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi 2-2,5 jam. Setidaknya 100 pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.
Penyelenggara saat ini masih menyurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Geladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.
Sempat timbul kekhawatiran I La Galigo akan kehilangan rohnya setelah penari Coppong Daeng Rannu meninggal tahun lalu. ”Kami juga masih mencari penari di Gowa, Bone, dan seluruh wilayah,” ujar Restu Kusumaningrum, produser I La Galigo. (SIN)
Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011
No comments:
Post a Comment