Monday, February 21, 2011

Diskusi: Kemiskinan, "Ujung Pipa" Korupsi Sistemis

TUJUH tahun telah berlalu. Kehidupan Dewi dan empat anaknya telah kembali tertata setelah suaminya, seorang sopir bajaj, memilih istri mudanya. Dewi menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai buruh cuci.

Penghasilan Dewi kira-kira Rp 20.000 sehari. Untuk membayar sewa rumah sebesar Rp 200.000 per bulan atau Rp 6.600 per hari. ”Yang penting anak-anak bisa sekolah,” ujar Dewi beberapa waktu lalu. ”Makan nasi sama kerupuk enggak soal.”

Rumah itu berukuran 1,5 meter x 3 meter, berdinding kayu bekas. Dua pertiga ruangan disangga konstruksi bambu, menjorok ke Sungai Ciliwung, serta dihubungkan tangga kayu dengan kemiringan hampir 90 derajat dan ketinggian 3 meter dari tanah. Kalau banjir besar, rumah tenggelam sampai atap. Kawasan itu juga rawan digusur.

Dewi dan anak-anaknya adalah wajah feminisasi kemiskinan, meminjam istilah Bank Dunia untuk memperlihatkan dampak kemiskinan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki.

Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses pada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, lahan, rumah layak huni, benih (bagi petani), alat kerja (nelayan), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, lingkungan yang sehat, dan lapangan kerja.

Dengan demikian, alangkah sempitnya mereduksi kemiskinan dengan standar Badan Pusat Statistik (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi 2.100 kalori per hari, setara dengan Rp 155.615 per bulan per orang.

Kerentanan

Bank Dunia mencatat, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan miskin akibat krisis ekonomi. Tingkat kerentanan di kota sekitar 29 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan pedesaan yang 59 persen.

Data itu juga menjelaskan tingkat urbanisasi yang tinggi dan ketimpangan pembangunan antarkawasan, antarwilayah, dan antardaerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan turun dari 14,2 persen (2009) menjadi 13,3 persen (2010) atau 31,02 juta jiwa dari 32 juta jiwa sebelumnya. Sekitar 60 persennya berada di pedesaan.

Angka itu sebenarnya membingungkan karena penerima jatah beras untuk rakyat miskin sekitar 17,5 juta keluarga atau sekitar 70 juta jiwa kalau ada empat orang dalam satu keluarga. Angka itu juga tak mencerminkan 28 persen anak dengan berat badan kurang dan 44 persennya terancam cebol karena terhambat pertumbuhannya.

Pemerintah bangga meng- umumkan turunnya angka kemiskinan, tetapi enggan menguak melebarnya jurang kesenjangan sosial. Kemiskinan tak bisa disederhanakan sebagai kemiskinan ekonomi. Lebih dari itu adalah pelanggaran hak-hak warga negara karena ketiadaan rasa aman dalam arti luas.

Isu kemiskinan dan kesenjangan sosial paling mudah dimainkan demi kekuasaan, dipadu isu yang sangat peka di negeri yang sangat plural ini, yaitu agama dan etnis. Kekerasan yang dihasilkan menutup ruang kemanusiaan dan mengubur martabat manusia.

Sistemis

Dalam pertemuan di Hongkong pada 2009, Wakil Presiden Transparency International Akere T Muna menyatakan, kemiskinan hanya bisa dihapus kalau toleransi terhadap korupsi nol.

Program-program penghapusan kemiskinan tak akan efektif—apalagi kalau dananya didapat dari utang—selama korupsi tak ditindak sampai akarnya. Selalu ada kisi-kisi untuk korupsi dalam kebijakan pembangunan yang cenderung memiskinkan dan memicu konflik, seperti terlihat dalam kebijakan terkait dengan eksploitasi sumber daya alam.

Korupsi selalu dihubungkan dengan praktik feodalisme pada masa lalu dan terus bermetamorfosis dalam praktik-praktik paling canggih. Meski ada upaya pemberantasan korupsi, ketidakseriusan menanggapi kasus- kasus korupsi juga terlihat jelas, di antaranya pelantikan Wali Kota Tomohon Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar oleh Kementerian Dalam Negeri, padahal ia menyandang status tersangka korupsi APBD Kota Tomohon.

Indonesia Corruption Watch mencatat, pada 2004-2010, setidaknya 18 gubernur, 1 wakil gubernur, 17 wali kota, 8 wakil wali kota, 84 bupati, dan 19 wakil bupati tersandung kasus korupsi. Penelitian oleh organisasi independen di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (2006) menunjukkan penggunaan formalisasi agama dalam kebijakan publik untuk kompetisi politik dan menutupi isu korupsi.

Semua membayar

Sampai paruh pertama 2010, sedikitnya 1.800 kasus korupsi terungkap dan 1.243 anggota DPRD terlibat kasus korupsi pada 2004-2009. Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mencatat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Selama 10 tahun, lahir 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Tak mengejutkan kalau Laporan Political and Economic Risk Consultancy 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik.

Wacana soal korupsi tak bisa dibatasi sebagai hitungan angka. Dampak korupsi jauh lebih dalam daripada pencurian uang. Korupsi di tingkat struktural, kelembagaan, dan individual telah mengabaikan keselamatan manusia dan ruang hidupnya dari kepengurusan publik.

Kemiskinan adalah masalah ”di ujung pipa” korupsi sistemis; biang keladi semua pelanggaran hak-hak asasi manusia yang harus dibayar oleh setiap warga negara, termasuk bayi baru lahir. Mengutip Cicero, O tempora o mores….

(MARIA HARTININGSIH)


Sumber: Kompas, Senin, 21 Februari 2011

No comments: