Bandung, Kompas - Minat baca masyarakat terhadap buku berbahasa daerah, termasuk bahasa Sunda, masih sangat minim. Hal itu rentan menurunkan produktivitas pembuatan karya sastra hingga menghambat pelestarian karya sastra berbahasa daerah.
”Buku fiksi berbahasa Sunda sepertinya semakin kehilangan peminat. Kini, penerbit buku berbahasa Sunda lebih banyak diselamatkan kewajiban pembuatan buku bahasa Sunda untuk muatan lokal pelajaran di sekolah,” kata Direktur CV Geger Sunten Taufik Faturochman di Bandung, Sabtu (12/2).
Taufik khawatir dengan minat membaca buku bahasa daerah yang semakin rendah akan berdampak lebih besar, seperti hilangnya minat penulis membuat karya sastra berbahasa Sunda atau semakin minimnya penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Bila kekhawatiran itu terjadi, Taufik yakin hal itu adalah kerugian besar.
”Penulis pasti akan kehilangan semangat karena bekerja sebatas panggilan hidup tanpa keuntungan. Saat ini, rata-rata penerbit hanya mencetak 5-10 judul buku berbahasa daerah per tahun. Untuk satu buku dengan cetak awal sebanyak 2.000 eksemplar, biasanya baru terjual habis setelah empat tahun,” kata Taufik.
Akan tetapi, Taufik mengakui terbantu proyek pembuatan buku pelajaran bahasa daerah pemerintah daerah Jabar tahun 2010 untuk muatan lokal di sekolah. Pemda Jabar menganggarkan proyek pembuatan buku pelajaran berbahasa Sunda dengan dana Rp 5 miliar per tahun. Proyek itu disebarkan pada 30 penerbit dengan masing-masing berkewajiban mencetak 4.400 eksemplar.
”Namun, kami tidak bisa memprediksikan apakah hal itu akan terus terjadi atau tidak meski sejak awal kami sadar berkecimpung dalam penerbitan bahasa Sunda adalah panggilan hidup dan bukan tempat mencari uang,” katanya.
Sarat pesan
Penulis buku berbahasa Sunda, Dhipa Galuh Purba, prihatin dengan masa depan buku dan karya sastra Sunda ini. Alasannya, banyak buku berbahasa Sunda tidak sekadar memperkenalkan penggunaan tata bahasa Sunda, tetapi sarat pesan menjaga lingkungan sekitar hingga tatanan perilaku. Oleh karena itu, bila minat baca semakin rendah, maka media sosialisasi bagi masyarakat menggunakan buku akan berkurang.
”Menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua bagaimana caranya meningkatkan minat baca pada buku berbahasa Sunda. Di antaranya metode bahasa yang lebih sederhana dan ide cerita yang mudah dicerna para pembaca.
Menurut Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) Etti RS, usaha penerbitan buku berbahasa Sunda harus ditingkatkan. Alasannya, minat dan bakat para pengarang Sunda sebenarnya masih tinggi. Mayoritas masih berusaha mempertahankan semangatnya meski pendapatan atau royalti yang mereka dapatkan terbilang sangat minim.
Ia mencontohkan jumlah pengarang Sunda yang bergabung bersama PPSS sekitar 100 orang. Ia memperkirakan, masing-masing masih memiliki naskah fiksi atau nonfiksi berbahasa Sunda yang menunggu untuk diterbitkan. (CHE)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Februari 2011
No comments:
Post a Comment